Mongabay.co.id

Memilih Bisnis Ekologis Saat Rehat Pandemi

 

Pandemi COVID-19 masih berlanjut entah sampai kapan. Pelaku pariwisata di Bali akhirnya tak bisa memanen rejeki liburan Natal dan Tahun Baru 2021. Terlebih jelang akhir tahun ada regulasi kewajiban tes swab PCR jika ke Bali lewat bandar udara dan tes swab antigen jika lewat darat dan laut.

Namun, sejumlah praktisi pariwisata dan aktivis lingkungan memberikan siasat dan gambaran, bagaimana memilih bisnis yang berprinsip yang memperhatikan kesadaran pelestarian lingkungan atau ekologis. Tawaran yang dianggap lebih ajeg dan tahan banting, sekaligus berkelanjutan.

Mereka tak menunggu program dan strategi pemerintah yang tak kunjung muncul untuk jadi sumber penghidupan baru yang lebih berkelanjutan di masa depan. Untuk mengisi tahun pandemi yang menghantam Bali cukup dahsyat karena difokuskan ke devisa pariwisata.

Made Gunarta, Founder BaliSpirit Fest dan Yoga Barn Ubud meyakinkan, usaha menggabungkan konsep spiritualitas, lingkungan, dan kemanusiaan adalah masa depan. Ketika festival Bali Spirit yang populer dihadiri ribuan pengunjung sedang vakum akibat pandemi, ia mengembangkan kebun terintegrasi di Payangan, Gianyar.

Pada 2019, festival yoga ini memanfaatkan energi cahaya matahari untuk sumber listrik yang didesain seperti bunga matahari. Unik dan menarik. Dirangkai oleh praktisi energi surya di Bali, Gung Kayon.

baca : Jika Pariwisata Hidup Lagi, Apakah Pertanian Kembali Mati? (bagian 2)

 

Panorama Gunung Agung, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan promosi pariwisata pertama yang terorganisnir menurutnya sekitar tahun 1931. Saat itu diperkenalkan seni budaya, integrasi spiritualitas-kemanusiaan, dan lingkungan. “Lahir konsep pariwisata budaya namun didalam perkembangannya tak menyentuh budaya lokal seperti pertanian,” kisahnya dalam diskusi daring Kebangkitan Bali dari Inspirasi Lokal yang dihelat Warmadewa Research Center, akhir tahun lalu.

Ia menyayangkan, yang dibahas pemerintah hanya berapa yang disumbangkan sektor pariwisata, target income, kuantitatif. “Tak pernah ngomong dampak pariwisata dan biayanya. Akhirnya alih fungsi lahan,” sebut Gunarta.

Melalui Bali Spirit Festival ia menggunakan bahasa universal, manusia dan alamnya. Spiritual sebagai personal call. Bagaimana mengemas kehiduan spiritual dan kecintaan pada alam. Sajiannya adalah yoga, dance, mengelola sampah sendiri dengan pemilahan, pangan organik, dan lainnya. Sejak 2015 mulai penanaman pohon bambu gratis karena secara ekologis tumbuhan luar biasa sebagai sumber air, kerajinan, bahan bangunan, dan pertanian.

Festival yang dihelat sejak 2008 ini, tiap hari dihadiri sekitar 2000 orang selama 5 hari. Pariwisata sebagai penyumbang devisa terbesar dan penggerak ekonomi di Bali pun menurutnya belum memanfaatkan kemampuan lokal karena kebutuhan pangan masih banyak diimpor.

Pandemi atau bencana diyakini mengubah paradigma pariwisata. Mulai dari pasca peristiwa bom Bali, turis takut kerumunan besar. Pun saat pandemi. “Akan selektif, turis mau mengupayakan sesuatu. Harus ke quality tourism. Bhutan bisa membatasi turis yang datang. Dampaknya pada alam,” sebut Gunarta.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1]

 

Sejumlah wisatawa lokal menikmati panorama dari Bukit Tengah, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Catur Yudha Hariani juga melihat bisnis pariwisata massal berdampak pada produksi sampah yang tak terkelola. Di tengah pandemi ini, ia mendorong pengusaha pariwisata merencanakan pengelolaan sampah yang baik dan mandiri.

Karena ekosistem pengelolaan sampah publik juga belum terbangun dengan baik. Ia mencontohkan berjuang sejak 1997 mendampingi warga dan tempat pengelolaan sampah untuk membuat pupuk kompos, tapi hasilnya tak dibeli pemerintah.

“Akhirnya mendorong memilah sampah dari rumah, sehingga komposting berjalan. Jadi tak memikirkan pemerintah harus beli,” jelas pegiat PPLH Bali ini.

Di Kabupaten Bangli, Dwitra J. Ariana memulai bisnis pertaniannya dengan mengontrak lahan-lahan tak produktif di sekitar desanya. “Lahan dikontrakkan sangat murah, Rp12 juta satu sikut satu hektar puluhan tahun. Mereka menanam kayu keras. Tak bisa tanam pangan, malas bertani,” ceritanya.

Ia pun mengubah lansekap, mulai buat kebun rempah di perbukitan. Bagian bawahnya ditanami tanaman buah. Bertanam kayu untuk produksi menurutnya membuat lahan tak bisa ditanani komoditas lain, misal akarnya bisa 15 meter. Secara ekologi menurutnya terkesan bagus, tapi setelah kayu dipanen, akarnya busuk, akhirnya longsor. Beda jika kayu tak dipanen.

perlu dibaca : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Jeruk Siam mendominasi hasil pertanian buah-buahan di Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dwitra merasa tak pernah mengajak orang lain bertani, tapi kemudian makin banyak orang yang menginvestasikan uangnya di skema pertanian yang dipilihnya. Ia memulai 4 petak kebun dan kini sudah mengolah belasan petak. Ia memilih komoditas utama vanili, karena harganya jatuh.

Walau kawasan kebun sekitar desanya lebih banyak buat agrowisata kopi luwak, ia tak mau meniru karena komisi lebih besar ke guide. Ia berencana membuat farm stay, akomodasi pertanian.

I Nengah Sumerta, pengusaha pertanian muda lain punya bisnis pertanian yang berbeda. Ia terlibat dalam pengembangan sejumlah skema dari hulu ke hilir.

“Pandemi akan lama. Tapi masih bisa ekspor Manggis ke China, negara lain meminta sampel. Pasar besar. Perlu sinergitas. Pengelolaan kurang bagus,” tuturnya. Ekosistem pertanian organik perlu dibangun. Misalnya penyediaan pupuk organik.

Menurutnya petani masih kesulitan dapat pupuk organik. Ia sendiri harus beli Rp700/kg. Produksi pupuk belum berkelanjutan sementara permintaan makin tinggi seiring kesadaran pengurangan input kimia.

“Turisme tak keharusan, masyarakat lari ke kota Badung, Ubud, dan meninggalkan kegiatan leluhur mereka. Tanah tak terurus. Alih lahan, sekarang banya bukan hak milik tapi hak guna puluhan tahun,” ia bercerita pengalamannya dari desa ke desa untuk memproduktifkan lahan.

penting dibaca : Agama Dorong Pertanian Berkelanjutan, Caranya?

 

Pertanian dianggap sebagai salah satu penyebab alih fungsi lahan di kawasan Bedugul, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ia mengusulkan pemerintah fokus zonasi masalah, misal wilayah cukup, fokus pertanian. Untuk mengetahui komoditas unggulan, bersama rekannya di Petani Muda Keren ikut expo untuk peta pangan.

Fasilitasi sarana produksi seperti alat pengolahan lahan juga masih diperlukan. Misalnya traktor. Pemilik Buleleng Agro ini mengoptimalkan pengggunaan teknologi di lahan-lahan pertanian misalnya irigasi tetes, pemantauan lahan, panel surya, dan lainnya.

Kolaborasi bisnis pertanian yang diujicobakan dengan Desa Tembok di Buleleng menunjukkan hasil saat pandemi ini. Desa bisa menjual harga mangga seperti harga langsung ke konsumen yakni Rp15 ribu per kg. Panen mangga tahun 2020 menjanjikan dan mendorong sebagian warga kembali merawat kebun mangganya, dan tidak dijual per pohon lagi ke pengepul.

Hotel, restoran, catering, dan jasa lain saat pandemi COVID-19 ini tak bisa menyerap hasil tani, membuat pemasaran beberapa produk petani lokal Bali lebih sulit. Sehingga nilai tukar petani yang jadi ukuran kesejahteraan petani menjadi turun. Sebelum pandemi, nilai tukar petani di Bali 105, termasuk di atas rata-rata nasional, 103.

“Setelah Covid, oleh karena kesulitan pemasaran, kesulitan modal, di samping juga gangguan hama penyakit dan dampak perubahan iklim, nilai tukar petani sudah turun di bawah 100. itulah yang kita alami di sektor pertanian,” keluh Sumerta.

baca juga : Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Demplot kebun sayur yang dibuat selama pandemi, untuk kebutuhan pangan warga dan sumber penghasilan baru di Desa Tembok, Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Beberapa komoditi yang relatif sulit pemasarannya di tengah pandemi ini adalah sayuran dan buah-buahan. Karena sayuran dan buah-buahan tidak termasuk pangan pokok kebutuhan sehari-hari.

Karena itu, bahan pangan pokok yang menurutnya harus menjadi prioritas untuk digenjot adalah beras, gula, minyak goreng, ikan, telur, bumbu seperti bawang merah, bawang putih, dan cabai.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali menyebutkan wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Bali pada November 2020 tercatat hanya 65 kunjungan. Didominasi pelabuhan laut sebanyak 62 kunjungan dan bandara I Gusti Ngurah Rai hanya 3.

 

Exit mobile version