Mongabay.co.id

Masukan Para Pihak atas RUU Energi Terbarukan

Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

 

 

 

 

Rancangan Undang-undang Energi Terbarukan—sementara ini jadi Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) –masuk lagi sebagai satu dari 24 program legislasi nasional jangka menengah 2020-2024. Masyarakat sipil perlu mengawal, mendampingi dan mengawasi proses dan beri masukan atas isi RUU ini.

RUU lain terkait sektor energi dan tak masuk prolegnas yakni RUU perubahan atas UU No 30 tahun 2007 tentang Energi, RUU Migas, RUU tentang Pemanfaatan Tenaga Surya dan RUU atas perubahan UU No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

“Ini berpotensi menyebabkan RUU EBT tak harmonis dengan UU lain, tumpang tindih atau bahkan tertunda di tengah jalan. Sebaiknya, DPR tetap memberi ruang bagi komisi untuk menyusun RUU secara bersamaan,” kata Arbain, peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Baca juga: DPR Mulai Bahas RUU Energi Terbarukan, Berikut Masukan Mereka

Catatan IPC selama September-Oktober 2020, Komisi VII DPR yang membidangi urusan energi sudah rapat dengar pendapat dengan beberapa pihak, antara lain, Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia (Apronuki), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI). Juga Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Tropical Landscape Finance Facility (TLFF), PT Sarana Multi Infratsruktur (SMI), dan Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI).

Lalu, Asean Center for Energy (ACE), Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HMNI), Women in Nuclear Indonesia, ThorCon International. Kemudian, Komisi Teknis Energi DRN, Dewan Ketahanan Nasional, Nippon Advance Jepang, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan beberapa pusat kajian energi berbagai universitas.

Ke depan, kata Arbain, DPR perlu memastikan pihak yang diundang mencakup berbagai aspek baik substansi maupun aspek lingkungan pendukung dan terdampak seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan lembaga sejenisnya,

“Ini terkait kehawatiran terhadap pembangunan energi nuklir. Untuk isu kontroversi ini DPR perlu menghadirkan pihak yang pro dan kontra secara berimbang agar mendapatkan pemahaman substantif mendalam,” katanya.

Hal lain yang disoroti IPC adalah transparansi baik kegiatan maupun dokumen karena beberapa rapat tak memiliki dokumen risalah yang seharusnya dalam Peraturan DPR No 1/2020 tentang Tata Tertib.

“Meski secara substansi sulit menghasilkan RUU yang memuaskan semua stakeholder, namun transparansi, partisipasi dan akuntabilitas seharusnya tak bisa ditawar oleh pembentuk Undang-undang.”

 

Beralih dari PLTU batubara, bukan berarti ke energi nuklir. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Perlu banyak masukan

Saat ini, Badan Keahlian Komisi VII DPR RI masih menggodok naskah akademik landasan RUU EBT. RUU ini perlu banyak masukan dari masyarakat untuk mendudukkan beberapa konsep yang masih kontroversial.

“Ini UU yang gampang-gampang susah. Walaupun kita sudah fokus dengan isu ini beberapa tahun, tapi belum menemukan bentuknya,” kata Syaikhul Islam, anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dia bilang, baik DPR maupun pemerintah sepakat RUU ini penting mengingat ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, terutama batubara, sudah sangat akut.

“Ibarat kanker stadium 4,” katanya.

Karena itu, setidaknya ada dua pekerjaan rumah besar harus selesai. Pertama, mengurangi porsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, kedua, menyelesaikan masalah fiskal akibat kebijakan ini mengingat selain untuk pembangkit, batubara juga ekspor.

Meskipun secara politik Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris, kata Syaikhul, kalau melihat bauran energi saat ini, sulit mencapai target 23% energi terbarukan pada 2023. Landasan rencana umum energi nasional (RUEN) saat ini hanya berlandaskan peraturan pemerintah, dia nilai kurang kuat. Jadi, RUU ini urgen untuk mencapai target bauran energi.

Menurut dia, masih banyak kontroversi, terutama mengenai judul RUU yang memasukkan energi baru dan pro kontra soal perlu atau tidak energi nuklir dalam RUU ini mengingat Indonesia sudah punya UU Ketenaganukliran. Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan, nuklir adalah pilihan terakhir untuk pengadaan energi di Indonesia.

Syaikhul memahami, terminologi energi terbarukan mestinya hanya berisi energi terbarukan dari air, angin, matahari, arus laut. Sisi lain, katanya, Indonesia punya potensi energi baru jadi sayang tak dimanfaatkan, seperti thorium untuk nuklir, gasifikasi batubara dan batubara cair. Meski tak banyak, katanya, namun Indonesia punya cadangan energi baru lebih besar dibanding negara lain.

Alasan ini yang jadikan naskah akademik RUU sementara ini, menggunakan istilah energi baru dan terbarukan. Syaikhul bilang, hal ini untuk menjembatani, memberi ruang untuk energi baru sambil tetap mendorong energi terbarukan.

 

Aksi Greenpeace tolak PLTN, dan bersegera beralih ke energi terbarukan, Jumat pekan lalu di depan Gedung DPR Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Konservasi energi

Selain itu, katanya, masih banyak persoalan harus diselesaikan dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Salah satu, soal harga energi terbarukan masih termasuk mahal karena manufaktur terbatas di dalam negeri misal untuk turbin atau solar panel.

“Memenuhi TKDN (tingkat kompenen dalam negeri) saja susah. Kalau ini bisa dibuat di dalam negeri tentu harga akan lebih murah,” katanya.

Muhammad Ery Wijaya, analis Senior Climate Policy Initiatives dan anggota dewan pakar Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI) mengatakan, kontribusi sektor manufaktur Indonesia cukup besar bagi produk domestik bruto (PDB), namun tumbuh stagnan.

Selama ini, industri nasional didukung harga energi murah. “Meski terus bertransformasi dan didukung harga energi murah, sektor industri masih memiliki daya saing rendah, salah satunya karena boros energi dalam proses produksi,” katanya.

Menurut World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2019, Indonesia menempati rangking 50 dari 140 negara karena lemah dalam bidang inovasi dan penggunaan teknologi. Indonesia, juga dinilai rendah pakai teknologi dalam proses produksi hingga berada pada rangking 38 dari 150 negara dalam Competitive Industrial Performance (CIP) Index 2019 oleh United Nations Industrial Development Organizations (UNIDO).

Selama pandemi, sektor manufaktur terkena imbas signifikasn, kecuali sektor makanan dan minuman. Karena itu, kata Ery, konservasi energi satu pendorong pemulihan sektor manufaktur. Peraturan Pemerintah No 70/2009 tentang Konservasi Energi mengatur industri yang gunakan energi lebih besar atau sama dengan 6.000 barrels oil equivalent (BOE) wajib melaksanakan manajemen energi.

Banyak cara untuk konservasi energi, mulai pencegahan, dengan menghilangkan buangan energi, maupun pemulihan dengan mengurangi rugi energi. Bisa juga dengan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi yang memakan biaya menengah hingga tinggi.

“Banyak tantangan implementasi konservasi energi di Indonesia,” kata Ery.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Inisiatif sendiri

Perusahaan-perusahaan energi terbarukan mencoba menginisiasi solusi masalah yang ada. Sebuah perusahaan penyedia listrik tenaga surya, SUN Energy, misal, memberikan apa yang mereka sebut one stop solution pada perusahaan yang mau memasang PLTS.

Menurut CEO dan Co Founder SUN Energy, Ryan Putera Pratama Manafe, ada tiga model finansial yang bisa ditawarkan ke perusahaan klien. Pertama, solar purchase, di mana perusahaan pengguna membeli solar panel dan melihat penghematan yang didapatkan dari tagihan listrik. Kedua, sewa solar panel antara 3-6 tahun, dengan pembangkit menjadi milik klien setelah sewa berakhir. Ketiga, perfomance based renting (PBR) atau murni sewa antara 15-25 tahun.

Menurut Ryan, ada dua hal yang menjadi sorotan dalam mengembangkan PLTS di Indonesia, yakni, pendanaan dan regulasi. Ryan membenarkan, sulit mendapatkan pendanaan dalam negeri untuk membiayai proyek energi terbarukan termasuk PLTS. Kontrak Power Purchase Agreement (PPA) yang ditandatangani dengan PLN tak bisa menjadi jaminan di bank.

“Akhirnya, kita harus cari uang di luar. Di luar bertaburan green loan development fund,” katanya.

Meski pendanaan bisa diakali, masih ada problem regulasi yang menjadikan bisnis PLTS berada di wilayah tak jelas. Sebelum ada Peraturan Menteri ESDM No 49 /2018, pemasangan PLTS di beberapa wilayah menjadi perdebatan. Beberapa daerah bahkan menganggap kegiatan ini ilegal.

Setelah permen terbit, kata Ryan, jadi langkah awal untuk regulasi PLTS namun belum banyak melibatkan sektor swasta. Yang paling memberatkan bagi pengembang aturan soal capacity charge. Dalam implementasi aturan ini, katanya, bisa lebih besar dari penghematan. Kondisi berat ini berlangsung hingga satu tahun.

Pada 2019, pemerintah kembali mengeluarkan aturan yang tak lagi mengatur capacity charge, namun hanya memberikan kemudahan bagi pelanggan rumah tangga. Karena itu, PLTS atap tumbuh di kalangan rumah tangga.

Padahal, katanya, potensi besar PLTS bisa dimanfaatkan untuk industri, pabrik tambang dan industri lain yang masih menggunakan bahan bakar diesel.

“Itu yang tidak difasilitasi.”

Ryan menekankan, penting legal framework jelas untuk mengembangkan energi terbarukan terutama PLTS karena selain tak memberatkan PLN, industri ini akan membantu mengurangi jejak karbon, menarik investor, menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

“Kita deal langsung dengan pengguna. Tak perlu subsidi PLN.”

 

PLTA Sipan Sihaporas yang berada di Tapanuli Tengah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dampak sosial dan lingkungan

Dalam pembahasan RUU Energi Terbarukan juga penting mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan hidup terutama proyek skala besar. Konsultan energi Yayasan WWF Indonesia, Chrisandini mengingatkan, beberapa potensi masalah sosial dari infrastruktur energi terbarukan skala besar.

Layaknya proyek skala besar lain, infrastruktur energi terbarukan berpotensi merelokasi masyarakat, memungkinkan muncul konflik, menurunkan kualitas hidup dan berdampak pada mata pencaharian warga terdampak.

Khusus PLTA, katanya, ada juga potensi terganggu pemanfaatan air di hilir bendungan yang biasa untuk pertanian dan perikanan. Masyarakat di hulu juga jadi lebih rentan terhadap banjir karena aliran sungai tertahan bendungan.

“Fungsi sungai juga terganggu dari sisi sosial dan budaya,” katanya.

Dari sisi peralatan dan teknologi, perlu analisis keseluruhan siklus dari proses pengambilan bahan baku hingga pengelohan limbah. Kalau melihat jejak emisi gas rumah kaca, pembangunan infrastruktur berpotensi membuka lahan yang praktis menghasilkan emisi.

Dia contohkan, pembangunan PLTA bisa menimbulkan penggenangan lahan dan energi untuk mengebor maupun memompa air pada pembangkit panas bumi bisa berdampak pada lingkungan hidup.

Untuk panel surya, yang menjadi sorotan limbah B3, bahan kimia untuk membersihkan dan memurnikan permukaan semikonduktor yang mengandung logam berat serta baterai untuk menyimpan listrik.

Dari dampak lingkungan lokal, proyek infrastruktur energi terbarukan skala besar yang menyebabkan alih fungsi lahan akan menghilangkan, mengurangi, memotong atau menurunkan kualitas habitat satwa liar.

Sistem PLTS skala besar menggunakan lahan antara 1,4-4 hektar per megawatt. Sementara kebun angin besar pakai antara 12-57 hektar per megawatt kapasitas terpasang. Putaran turbin PLTB juga dapat mengancam satwa liar terbang seperti burung dan kelelawar. Luas lahan untuk PLTA sangat tergantung pada teknologi yang dipakai. Bendungan memfragmentasi dan menurunkan kualitas habitat akuatik.

Jadi, katanya, untuk perencanaan PLTA berkelanjutan perlu kombinasi, tempat dan proyek yang tepat. Perlu membatasi PLTA dan menentukan lokasi seminim mungkin menimbulkan dampak negatif.

“Hindari membangun bendungan di tempat yang bernilai lingkungan atau sosial tinggi. Pembangunan PLTA hendaknya ke lokasi yang bisa tetap mempertahankan fungsi dan manfaat sungai,” katanya.

Ada beberapa panduan yang dalam pembangunan PLTA berkelanjutan antara lain, hydropower sustainability guidelines on good international industry practice (HGIIP), hydropwer sustainability assesment protocol (HSAP) dan hydropower sustainability ESG gap analysis tool (HESG).

Di Indonesia, HSAP pernah untuk kajian tahap awal bendungan Polsika di Sulawesi pada 2017. HESG dipakai pada tahap kajian operasional PLTA Koto Panjang, Riau 2020.

Bagaimana cara best practices perencanaan infrastruktur energi terbarukan masuk dalam peraturan perundangan?

Menurut Chrisandini, perlu ada kajian spasial untuk menentukan lokasi infrastruktur energi terbarukan yang memasukkan pertimbangan dampak lingkungan dan sosial. Juga perlu panduan penyusunan dokumen amdal termasuk RKL/RPL khusus jenis infrastruktur energi.

“Panduan itu mengadopsi praktik-praktik terbaik untuk menjadi safeguard kepentingan masyarakat, termasuk masyarakat adat dan lingkungan.”

Dia menekankan, tak kalah penting pengembangan kebijakan melibatkan forum multipihak untuk perumusan kebijakan energi terbarukan.

 

 

 

Exit mobile version