Mongabay.co.id

Menyoal Penanganan Limbah Medis

Limbah rumah tangga yang bercampur dengan limbah medis. Sampah dan limbah potensial sebagai pembawa infeksi

 

 

 

 

Indonesia, bahkan dunia masih menghadapi krisis kesehatan karena pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Krisis yang disebabkan zoonosis ini seharusnya menyadarkan manusia mengubah pola dengan hidup makin ramah lingkungan hidup. Kenyataan, malah kebalikan, pandemi justru menghadirkan masalah lingkungan hidup makin berat, antara lain, sampah plastik dan imbah medis makin banyak.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sampai 14 Desember lalu, dari laporan berbagai daerah, volume limbah COVID-19 sekitar 1.986,86 ton.

Sebelum ada pandemi saja, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, ada 296 ton limbah medis per hari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik.

Baca juga: Buruknya Penanganan Sampah Medis Bisa Perparah Pandemi

Limbah medis yang lepas ke lingkungan, sebagian bermuara ke lautan. Terbaru, Guru Besar Universitas IPB dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Etty Riani beserta tim peneliti gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Terbuka menemukan kebocoran sampah medis di Teluk Jakarta.

“Sebelumnya tidak pernah ditemukan, sekarang terjadi peningkatan. Estimasi kami peningkatan mencapai 15-16%,” katanya, dalam laman IPB.

Sampah medis yang ditemukan para peneliti itu merupakan alat pelindung diri seperti masker dan face shield. Etty bilang, konsumsi alat pelindung diri tinggi di masyarakat saat pandemi jadi faktor pemicu banyak sampah medis ini di lingkungan.

Selain itu, limbah medis pun ada di beberapa lokasi seperti di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang di Tangerang Selatan, Banten serta TPA Sumur Batu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kondisi ini menunjukkan ada kelalaian dalam penanganan limbah medis.

KLHK sudah mengeluarkan surat edaran Menteri Lingkungan Hidup soal pengelolaan limbah infeksius (B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan virus corona. Surat edaran yang keluar 24 Maret 2020 ini memprioritaskan pemusnahan segera limbah infeksius COVID-19 dengan tetap memenuhi kaidah-kaidah teknis keamanan.

“Kami melarang keras limbah B3 dari fasilitas pelayanan kesehatan atau limbah medis dibuang di TPA sampah rumah tangga atau sejenis sampah rumah tangga,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), KLHK dalam keterangan tertulis kepada Mongabay.

Untuk itu, katanya, gubernur, bupati dan walikota harus memastikan limbah B3 dari Fasyankes di masa pandemi terdata. Mereka, katanya, harus melaporkan pengelolaan kepada Dirjen PSLB3 KLHK dan sudah tertuang dalam surat KLHK pada 27 Oktober lalu kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota di Indonesia.

 

Perbandingan jenis limbah medis di Indonesia dan global. Foto: tangkapan layar webinar

 

Masalah menahun

Yuyun Ismawati Drwiega, Founder Nexus3 Foundation, menyebut, pandemi makin memperlihatkan karut-marut koordinasi dan penanganan limbah medis.

Padahal, katanya, regulasi yang mengatur pengelolaan limbah medis sebenarnya sudah ada sejak 2015 dalam Permen LHK Nomor 56 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Baca juga: Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [1]

Peraturan ini, sebenarnya mewajibkan sampah medis dikelompokkan dalam empat kantong berwarna, merah, kuning, ungu dan cokelat. Para praktiknya, rumah sakit kerapkali mencampurkan menjadi satu kantong warna kuning.

Tidak hanya dipilah, pengolahan limbah B3 pun sebenarnya harus secara termal dengan mengandalkan peralatan autoklaf, gelombang mikro, iradiasi frekuensi radio atau insinerator. Hanya saja, tidak semua rumah sakit memiliki teknologi-teknologi itu dan harus menyerahkan pada pengolah limbah B3 yang memiliki izin dari KLHK.

“Ini juga masalah, karena kalau dibawa keluar rumah sakit, hanya ada sekitar 16 pengolah dan 14 berada di Jawa,” katanya pada Mongabay.

Buntutnya, beberapa rumah sakit di luar Jawa harus memanggil pengolah dari Jawa dan pengangkutan sebulan sekali sambil menunggu kuota kendaraan pengangkut terisi sepenuhnya. Keadaan ini jelas berbahaya karena dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi dari sampah itu.

Sayangnya, tidak ada evaluasi soal kinerja perusahaan pengolah limbah ini. Dalam berbagai investigasi, seperti yang dilakukan Mongabay di Mojokerto terhadap dua perusahaan pengolah limbah B3, terjadi pencemaran lingkungan baik di jalan karena ceceran limbah medis hingga limbah medis meresap ke air tanah.

Contoh lain, kata Yuyun, rumah sakit di Sulawesi Selatan menyebut kalau limbah mereka diserahkan ke PT PPLI dengan biaya hanya Rp250.000. Padahal, kalau mengacu pada biaya pengolahan limbah medis menggunakan insinerator di luar negeri, perlu USD$1.500 per ton limbah medis.

“Dengan uang hanya sebesar itu menimbulkan pertanyaan besar seperti apa pengolahannya? Bukan tidak mungkin limbah dibuang di perjalanan?”

Untuk limbah medis seperti masker atau face shield dari individu pun, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri LHK tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID19). Dalam SE disebutkan kalau masker harus dirobek, dipotong atau digunting setelah dipakai.

“Setelah itu bagaimana penanganannya? Yang kita lihat bekas masker itu malah berujung ke landfill. Ada yang mencemari lingkungan,” kata Yuyun.

 

Seorang petugas sedang membuang limbah medis. Foto : waste for change

 

Masalah baru

Pencemaran limbah medis tidak hanya dari segi infeksius saja. Lama kelamaan limbah medis akan menjadi tumpukan sampah plastik yang juga mencemari lingkungan hidup dan kesehatan.

“Limbah COVID-19 ini akan selesai dalam dua hari, karena virus hanya bertahan selama itu dan tidak akan menempel lagi. Tapi kandungan limbah ini beberapa dari plastik, nah ini jadi isu baru lagi,” katanya.

Perempuan yang kerap mengadvokasi pencemaran bahan-bahan berbahaya itu menyebut, kalau beberapa masker menggunakan bahan kimia bersifat karsinogenik, bahan aditif tahan air hingga UV Stabilizer. Seluruh bahan-bahan ini, katanya, berbahaya kalau terpapar ke lingkungan hidup.

“Ini akan jadi sampah awet di lingkungan dan lama terurainya.”

Persoalan sampah plastik kala pandemi ini cukup mengkhawatirkan. Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK saat dihubungi Mongabay menyebut kalau kenaikan komposisi sampah plastik meningkat signifikan pada 2020.

“Saya belum hitung rata-rata secara nasional, tapi kalau dilihat di kota-kota besar seperti Surabaya, dari 13% sampah plastik tahun 2017 jadi 22% pada Juni 2020,” katanya. Kota-kota besar yang jadi pusat perkantoran seperti Jakarta dan Surabaya, mengalami kenaikan timbunan sampah hingga 10%-15% selama pandemi COVID-19.

Bekerja dari rumah atau working from home (WFH) antara lain jadi faktor pemicu fenomena ini. Satu sisi tidak beroperasi kantor-kantor di kota besar membuat tumpukan sampah berkurang, tetapi sisi lain, WFH menstimulasi perilaku belanja daring hingga sampah plastik kemasan pun membludak.

Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI bahkan mencatat kenaikan belanja dari mayoritas warga Jabodetabek naik hingga dua kali lipat selama pandemi. Kalau awalnya masyarakat hanya belanja daring 1-5 kali dalam sebulan, selama pandemi kebiasaan ini jadi 1-10 kali per bulan. Begitu juga dengan layanan pesan antar (delivery service) makanan lewat jasa transportasi online juga meningkat.

“Ini seperti tsunami. Kita sebenarnya sudah coba antisipasi sampah dari belanja online dan delivery service dengan meminta para penyedia jasa mengurangi plastik dan gunakan bahan alternatif,” kata Novrizal.

Karena tidak semua daerah memiliki insinerator, sampah plastik yang masuk ke TPA malah jadi tumpukan baru tanpa bisa penanganan apapun. “Maka harus dicegah supaya tidak masuk ke lingkungan, apalagi perairan.”

 

PT. PRIA yang berada di kanan dan kiri jalan dengan posisi saling berhadapan. Perusahaan ini mengolah limbah medis bukan hanya dari seluruh wilayah Jatim. Tapi juga keseluruhan. Foto: A. Asnawi

 

Berbenah 2021

Belajar dari 2020, KLHK menyebut kalau penanganan limbah medis terus dilakukan bersama dengan Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah dan fasyankes. Satu hal coba didorong mulai 2021, adalah peningkatan kapasitas pengolahan limbah medis.

Saat ini, Novrizal bilang, dibangun lima insinerator limbah B3 dari fasyankes di Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, NTB dan NTT. Dalam 2021-2024, akan dibangun insinerator pada 27 lokasi lain.

“Harapannya, pengelolaan limbah medis oleh fasyankes tidak terhambat aspek jarak dan biaya pengolahan hingga dapat menerapkan prinsip pengelolaan limbah dekat dengan sumber,” kata Vivien.

Yuyun meminta, pemerintah juga menyediakan laboratorium dioksin untuk memantau senyawa ini dalam abu dan emisi hasil pembakaran limbah medis. Pasalnya, hingga kini belum ada laboratorium yang berkapasitas untuk menghitung dioksin di Indonesia.

“Dioksin ini sangat beracun. Jangan sampai karena tidak kita hitung dan berhati-hati malah menimbulkan pencemaran lain.”

Dia juga mendorong pemerintah memberikan keringanan pinjaman kepada rumah sakit dan fasyankes lain untuk membeli alat atau teknologi pengolah limbah medis. Investasi untuk membangun fasilitas ini tergolong besar.

Dengan demikian, katanya, tidak perlu lagi menyerahkan pengelolaan pada pihak ketiga yang terkadang malah menimbulkan masalah baru.

Mengenai sampah plastik, Novrizal menyebut produsen dan e-commerce sudah siap mengedukasi mitra dan konsumen mereka untuk mengurangi sampah plastik kemasan. Beberapa produsen bahkan siap menjalankan waste management sesuai konsep extended producer responsibility (EPR). Hal ini tercantum dalam Permen LHK Nomor 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Dalam peta jalan ini, katanya, disebutkan pada 2021 produsen akan membangun fasilitas penarikan kembali sampah atau membuat kerjasama dengan bank sampah, TPS 3R atau badan usaha berizin.

“Per 1 Januari 2022 akan full implementasi, akan jadi mandatoi dan ada sanksi administrasi bagi produsen yang melanggar,” kata Novrizal.

 

 

****** Keterangan foto utama: Limbah rumah tangga yang bercampur dengan limbah medis. Sampah dan limbah potensial sebagai pembawa infeksi. Foto: Adi Renaldi

Exit mobile version