Mongabay.co.id

Pendokumentasian sebagai Upaya Memperkuat Komunitas Adat

 

Kening Sewan berkerut melihat tampilan formulir di layar laptop. Bersama beberapa kawannya ia kemudian mendiskusikan bagian-bagian yang kurang dipahami dalam formulir tersebut. Ada bagian-bagian isian yang harus disepakati bersama, karena mereka berasal dari latar belakang komunitas dan budaya yang berbeda.

Sewan sendiri adalah salah satu generasi muda dari komunitas adat Batu Bassi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bersama 11 orang lainnya dari komunitas adat yang berbeda di Sulsel dan Sulbar, ia mengikuti pelatihan pendokumentasian data komunitas adat, yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel.

Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, 3-4 Januari 2021, di Arangangia wilayah komunitas adat Pattalassang, tepatnya di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dilakukan di ruang terbuka dan mematuhi protokol kesehatan.

Menurut Syafruddin, pengurus AMAN Sulsel, kegiatan ini sangat penting karena terkait dengan pengakuan komunitas adat oleh negara, dimana setiap komunitas dituntut untuk bisa membuktikan keberadaan komunitas melalui sejumlah syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.

“Kegiatan pendokumentasian ini bukan pertama kali kami lakukan, namun sudah sering baik secara nasional maupun di level wilayah dan beberapa pengurus daerah juga sudah pernah melakukan kegiatan yang sama. Ini penting sebagai bagian dari upaya memperkuat masyarakat adat,” katanya.

baca : 75 Tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Menanti Perlindungan Hak

 

Pelatihan pendokumentasian melibatkan generasi muda dan perempuan adat diharapkan di Arangangia, Kabupaten Gowa, Sulsel. Upaya pendokumentasian diharapkan bisa memperkuat komunitas adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, dari kegiatan ini masing-masing peserta nantinya dapat mendokumentasikan komunitasnya, atau adat yang diwakilinya. Dalam hal ini pendokumentasian dilakukan oleh masyarakat adat sendiri.

“Kerja kita bukan sekedar hadir berdiskusi di sini tapi nanti akan melakukan pendokumentasian di komunitas masing-masing. Diharapkan yang hadir di sini nantinya bisa melatih teman-teman di daerahnya atau komunitas tetangga.”

Menurut Syafruddin, kegiatan pendokumentasian ini penting sebagai alat perjuangan masyarakat adat sekaligus sebagai upaya melestarikan kebudayaan dan eksistensi masyarakat adat agar tetap terjaga dan tak terlupakan.

“Sebagian besar budaya kita adalah budaya tutur dimana seluruh aspek kesejarahan, budaya, hukum adat dan ritual-ritual yang ada disampaikan secara lisan dan tersimpan dalam ingatan para tetua adat. Inilah yang harus digali kembali dan dituliskan secara lengkap bersumber dari masyarakat adat itu sendiri,” jelasnya.

Pendokumentasian ini juga penting juga untuk melestarikan pesan-pesan leluhur agar tetap terjaga dan tersimpan untuk diketahui dan dipahami oleh generasi sekarang dan mendatang. Dalam banyak komunitas adat, banyak pesan-pesan leluhur terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya di komunitas adat Kajang di Kabupaten Bulukumba yang memiliki pappasang.

“Tak kalah pentingnya dari upaya pendokumentasian ini adalah secara teknis adalah syarat pengakuan masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,“ tambahnya.

Di dalam Permendagri ini disebutkan 5 syarat utama pengakuan sebuah komunitas adat antara lain terkait aspek kesejarahan, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

“Paling berat mungkin terkait penetapan wilayah adat yang harus melalui proses pemetaan partisipatif melibatkan masyarakat adat itu sendiri karena mereka yang paham dengan batas-batas wilayahnya. Hasil pemetaan ini nanti akan berlaku setelah mendapat verifikasi dari pemerintah.”

baca juga : Equator Prize 2020, Penghargaan untuk Kegigihan Masyarakat Adat Kayan Mentarang

 

Diskusi dan belajar bersama metode dan teknik wawancara dalam upaya pendokumentasian. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dari hasil diskusi ini diketahui beberapa tantangan yang mungkin dihadapi dalam pendokumentasian. Misalnya terkait penentuan narasumber representatif menjelaskan segala aspek komunitas. Apalagi sebagian besar informasi bersumber dari ingatan tetua komunitas yang berusia lanjut.

Tantangan lainnya adalah menggali informasi-informasi yang bersifat sensitif dan membutuhkan ritual khusus untuk mengungkapkannya. Bahkan ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan secara terbuka dan dikhawatirkan bisa menimbulkan konsekuensi ketika diungkap secara terbuka kepada publik.

Tantangan lain adalah menentukan secara pasti jumlah anggota komunitas karena selama ini tak ada pendataan khusus terkait jumlah warga di sebuah masyarakat adat. Belum lagi menghitung anggota komunitas yang sedang berada di daerah lain. Dari hasil diskusi disepakati upaya mengatasi ini dengan melakukan estimasi menggunakan data desa dan dusun dimana masyarakat adat itu bermukim.

Ada juga tantangan lain seperti ketika terjadi dualisme kepemimpinan adat sehingga menjadi keraguan siapa yang akan menjadi representasi dari komunitas adat tersebut.

Menurut Syafruddin, kalau menghadapi kondisi adanya dualisme maka sebenarnya ini menjadi salah satu harapan dari kegiatan pendokumentasian ini.

“Dengan pendokumentasian ini diharapkan bisa membuka ruang rekonsiliasi dengan mengajak pihak-pihak yang berkonflik untuk duduk bersama menyelesaikan konflik yang ada dan bersatu kembali,” katanya.

Kegiatan pendokumentasian ini sendiri menggunakan formulir disusun bersama oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Formulir ini sedikit berbeda dan lebih lengkap dibanding formulir komunitas adat dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang selama ini menjadi salah satu rujukan, dan lebih rinci dibanding yang diprasyaratkan Permendagri No.52/2014.

Misalnya di formulir ini juga mencantumkan keragaman hayati dan potensi ekonomi yang dimiliki komunitas. Formulir ini juga mencatat keberadaan penyandang disabilitas yang ada di komunitas.

perlu dibaca : RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas 2020, Berikut Masukan Para Pihak

 

Belajar mengetahui jenis-jenis tumbuhan herbal di komunitas masing-masing. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Keterlibatan Generasi Muda dan Perempuan

Ketua Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Gowa, Muhlis Paraja, menyambut baik keterlibatan generasi muda adat dan perempuan dalam kegiatan pendokumentasian ini, yang diharapkan bisa bersinergi dengan generasi tua.

“Semangat anak muda tanpa ditopang orang tua tak bisa berbuat apa-apa, karena orang tua bersifat mengimbangi. Perpaduan keduanya bisa mencapai apa yang diimpikan. Anak muda sangat semangat namun kadang punya efek lowbat, orang tua dengan pengalamannya bisa tahan dengan kondisi itu dan selalu bisa memotivasi,” katanya.

Ia berharap setelah kembali ke komunitas adat masing-masing para peserta bisa mendokumentasikan komunitasnya secara baik dan bertanggung jawab sebagai bagian dari tanggung jawab kepada komunitas dan leluhur.

“Dalam konteks masyarakat adat juga kadang masih dalam perdebatan siapakah masyarakat adat itu maka data ini akan memperkuat posisi masyarakat adat. Kita tak bisa berbicara panjang lebar jika tak ditunjang oleh data. Kegiatan ini juga sangat perlu untuk memahami jati diri masyarakat adat. Kalau data keliru maka akan salah perencanaan.”

Ia berharap upaya pendokumentasian ini dilakukan secara baik dan hati-hati dengan mempertimbangkan kondisi dan aturan adat di daerah masing-masing, misalnya ada informasi-informasi yang tak boleh terlalu diekspos.

 

Dalam kawasan Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, yang juga disebut ilalalng embayya, seluruh kehidupan dibalut dalam kesederhanaan, dimana semua yang berbau modern, seperti listrik, jalan aspal, dan produk modern lainnya tak diperkenankan hadir. Foto : Wahyu Chandra

 

Objektif dalam Penulisan

Menurut Wahyu Chandra, fasilitator dari Mongabay-Indonesia, tantangan dari pendokumentasian ini adalah pada tenaga etnografer agar tidak memasukkan persepsi atau opininya dalam tulisan.

“Mungkin ada hal yang dianggap kurang jelas atau tidak sesuai dengan keyakinan kita, namun bukan tugas etnografer untuk memberi penilaian apakah itu benar atau salah, namun menuliskan secara objektif apa yang diperoleh dari hasil penggalian data tersebut,” katanya.

Wahyu juga menyarankan agar etnografer memahami betul apa yang akan ditanyakan atau isi dari formulir tersebut sehingga memudahkan dalam penggalian data, tidak memberi opini atau berdebat dengan narasumber.

“Sangat penting untuk membuat narsum merasa nyaman dan bersikap terbuka serta meyakinkan informasi ini akan digunakan untuk kebaikan bersama,” katanya.

 

***

Foto utama: Dalam ritual andingingi ini semua orang diharuskan berpakaian hitam dan melepas alas kaki. Ada banyak makanan yang disajikan, yang diolah secara sederhana dan tradisional. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version