Mongabay.co.id

Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan

Saat ini sulit mendapatkan anak muda yang mau menjadi petani di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

 

Sumatera Selatan [Sumsel] yang luasnya sekitar 9,15 juta hektar dengan jumlah penduduk sekitar 8,4 juta jiwa, merupakan provinsi di Indonesia yang terdampak persoalan lingkungan hidup, baik yang dirasakan manusia maupun flora dan fauna. Apakah Sumatera Selatan mengalami ekosida?

Istilah ecocide atau ekosida, sebagaimana dijelaskan dalam buku “Ecocide, Memutus Impunitas Korporasi” terbitan Wahana Lingkungan Hidup [Mei 2019], pertama kali diwacanakan untuk mengkategorikan kerusakan lingkungan hidup yang luas dalam konteks perang.

Perang yang dilakukan dengan menggunakan bahan kimia untuk suatu tujuan serangan terhadap pasukan, yang berdampak pada penduduk sipil dan kerusakan ekologi. Juga, berdampak pada penyimpangan pertumbuhan biologi manusia dalam waktu sangat panjang. Istilah ecocide diilhami dari frasa “Perang Ekologi” yakni penggunaan bahan kimia dalam perang Vietnam pada tahun 1968.

Kata ecocide sudah tercatat pada Konferensi Perang dan Tanggung Jawab Nasional di Washington tahun 1970. Istilah ecocide, secara politis digunakan tahun 1972 di Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] pada Konferensi Lingkungan hidup di Stockholm-Swedia.

Baca: Riset Walhi: Anak Muda Makin Peduli Masalah Ekosida dan Kejahatan Lingkungan

 

Saat ini sulit mendapatkan anak muda yang mau menjadi petani di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan kajian Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, yang disampaikan Puspita Indah Sari Sitompul [Manager Kampanye] dalam Webinar “Membaca Kejahatan Ekosida 2021 Sumatera Selatan” yang digelar Walhi Sumsel, Rabu [13/01/2021], pokok persoalan lingkungan hidup di wilayah ini dimulai dari besarnya penguasaan lahan oleh korporasi.

Korporasi diperkirakan menguasai lahan seluas 3.553.417 hektar, sementara negara hanya 1.700.104 hektar. Untuk rakyat, seluas 3.906.162 hektar.

Lahan korporasi ini terdiri dari kebun kayu [HTI] seluas 1.564.493 hektar, perkebunan [sawit, karet, tebu, dan lainnya] sekitar 1.313.094 hektar, serta pertambangan [675.830 hektar].

“Penguasaan lahan di Sumsel memang terbesar atas nama rakyat. Tapi, jika dibagi dengan jumlah penduduk, jumlahnya hanya 0,4 hektar untuk setiap jiwa. Bandingkan dengan korporasi yang sebenarnya dimiliki segelintir invividu,” kata Puspita.

Dampak penguasaan lahan oleh perusahaan yang dirasakan masyarakat Sumsel adalah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Meskipun, kebakaran tersebut bukan hanya terjadi di lahan kelola perusahaan, melainkan juga di kawasan konservasi dan kelola masyarakat. Tercatat, pada 2015 lahan terbakar seluas 646.298,80 ribu hektar, 2016 [8.784,91 hektar], 2017 [3.625,66 hektar], 2018 [16.226,60 hektar], 2019 [336.798 hektar], dan 2020 [950 hektar].

“Kebakaran ini tentu saja berdampak bagi masyarakat. Sebanyak 291.807 jiwa terdampak penyakit ISPA, serta tercatat satu balita meninggal dunia. Itu yang termonitor,” katanya.

Baca: Pandemi Corona dan Ekosida

 

Pilut [63], warga Desa Terusan Menang, Kecamatan Kayuagung, Kabupaten OKI, yang sawahnya seluas 1,5 hektar tidak dapat ditanam lagi karena tergenang air sepanjang tahun. Dia kini memelihara kambing dan mencari ikan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Selanjutnya konflik lahan. Terjadi puluhan konflik antara masyarakat dengan korporasi. Walhi Sumsel saat ini mendampingi sejumlah kasus, misalnya antara warga Dusun Cawang Gumilir dengan PT. Musi Hutan Persada [MHP], serta Desa Belanti dengan enam perusahaan sawit yang menyebabkan ribuan hektar sawah terendam selama 11 tahun terakhir.

Lalu, Desa Jerambah Rengas dan Desa Lebung Hitam dengan sebuah perusahaan perkebunan. Desa Pagar Batu dengan PT. Artha Prigel, yang menyebabkan dua petani meninggal dunia, dan dua terluka, ketika berkonflik dengan petugas keamanan perusahaan. Selanjutnya warga Desa Muara Megang dengan PT. Lonsum.

Akibat kebakaran dan pembukaan lahan baru, laju deforastasi di Sumsel pun terjadi. Tahun 2015-2016 tercatat 4.294,2 hektar, 2016-2017 [22.286,6 hektar], 2017-2018 [3.741 hektar], serta 2018-2019 [60.655,1 hektar].

Kebakaran dan kian terbukanya lahan tersebut, pada akhirnya menyebabkan hadirnya konflik manusia dengan satwa:

 

Dampak lainnya adalah bencana hidrometrologi seperti banjir dan longsor. Selama tahun 2020, BPBD Sumsel mencatat enam kali bencana hidrometrologi. Yakni pada dua kecamatan di Kabupaten Empat Lawang, 10 kecamatan di Kota Pagar Alam, serta lima kecamatan di Lahat. Bencana tersebut menyebabkan 12 jembatan rusak, delapan rumah warga hanyut, 45 rumah rusak berat, 702 rumah rusak ringan, serta 166 unit rumah terendam air.

Persoalan sampah juga harus mendapat perhatian. Misalnya di Palembang, masyarakat, rumah sakit, pertokoan, dan industri menghasilkan sampah sekitar 1.400 ton per hari. Upaya yang dilakukan Pemerintah Palembang baru berupa membangun PLTSa [Pembangkit Listrik Tenaga Sampah] berkapasitas 20 Megawatt yang dapat menampung 1.000 ton sampah per hari. PLTSa dibangun senilai Rp1,7 triliun, yang dimulai pertengahan 2020 lalu dan diperkirakan selesai pada 2022.

Baca: ‘Menghijaukan’ HAM dan Lompatan Hukum Lingkungan

 

Lahan gambut yang rusak di Desa Perigi Talangnangka, OKI, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Butuh kajian lanjutan

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, masih banyak dampak kerusakan lingkungan di Sumsel yang belum tercuat dalam webinar tersebut.

Kerusakan yang menyebabkan hilangnya ruang hidup manusia rawang, sejak berubahnya bentang alam rawa gambut, seperti disampaikan Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim [P3SEKPI], Badan Litbang dan Inovasi [KLHK].

Kemudian rusak atau hilangnya situs atau jejak sejarah pemukiman masyarakat Kedatuan Sriwijaya di wilayah pesisir. Lalu, perubahan bentang alam di Sumsel melahirkan “generasi kriminal” atau bekerja hingga ke luar negeri ikut kapal ikan asing hingga meregang nyawa. Serta, terancamnya tradisi dan budaya bahari dikarenakan rusaknya Sungai Musi dan anak-anaknya.

“Ya, kami terus melakukan kajian sosial, ekonomi, dan budaya yang disebabkan kerusakan atau kejahatan lingkungan ini,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumsel, Kamis [14/01/2021].

“Kami sadar kejahatan lingkungan yang terjadi di Sumsel bukan hanya dirasakan manusia di sini, juga di bagian lain, termasuk di dunia. Misalnya, bencana kebakaran hutan dan lahan,” lanjutnya.

Baca: Dulu Makmur, Perubahan Bentang Alam Membuat Warga Desa Ini Menjadi Miskin

 

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapatnya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kejahatan ekosida

M. Ridha Saleh, penulis buku Ecocide, mengatakan ekosida merupakan kejahatan moderen setara dengan kejahatan internasional lainya yang disebut dalam Statuta Roma. Ini dikarenakan tindakan, pelibatan, dan dampaknya terhadap esensi damai dan perdamaian penduduk, hak hidup dan tata kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan hidup masa kini dan akan datang.

Statuta Roma adalah traktat international yang mendirikan Mahkamah Pidana International pada 1998 dan diterapkan pada 2002. Statuta Roma menentukan empat kejahatan internasional yakni genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

“Ekosida merupakan kejahatan yang menggambarkan perang dan agresi ekonomi terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia secara terorganisir, sistimatis dan masif. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan dan degradasi esensi lingkungan hidup dan eksistensi kedamaian makhluk dan umat manusia,” kata mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM].

Kejahatan ekosida telah melanggar etika lingkungan, seperti keadilan lingkungan hidup, hak atas lingkungan hidup, keberlanjutan lingkungan hidup, serta kelestarian lingkungan hidup.

Akibat kejahatan ekosida tersebut, antara lain [1] terjadi kerusakan yang luas, [2] rusak atau hilangnya ekosistem dari suatu wilayah tertentu, [3] apakah oleh seorang atau institusi atau oleh penyebab lain, sedemikian rupa, [4] berkurang atau hilangnya kenikmatan damai penduduk di suatu wilayah.

Guna melawan kejahatan ekosida, kata Ridha, dibutuhkan gerakan lokal, nasional, dan internasional untuk penyelamatan bumi dari tindakan atas ketimpangan penguasaan, pengrusakan sumber-sumber kehidupan, dan kejahatan terhadap hak atas lingkungan hidup sebagai HAM.

“Selain memperkuat gerakan, dibutuhkan juga penguatan inisiatif dan wacana,” katanya.

Dr. Tarech Rasyid, praktisi HAM dan Rektor Universitas IBA Palembang menuturkan, ekosida merupakan anak dari kapitalisme global. “Untuk melawannya, gunakan berbagai teori kritis, seperti postmoderen.”

Tarech juga mendorong ekosida menjadi sebuah ilmu pengetahuan [ekosidalogi], sehingga dapat dipelajari dan dipahami di lembaga pendidikan. Dengan begitu, menjadi kesadaran bersama untuk melawan atau mengatasinya.

Terlebih, menurutnya, tantangan bangsa Indonesia ke depan menghadapi ancaman kejahatan ekosida kian besar, dikarenakan lahirnya UU Cipta Kerja yang menghilangkan sanksi pembekuan atau pencabutan izin lingkungan [izin diubah menjadi persetujuan lingkungan]. Juga, dihapusnya Strict Liability [tanggung jawab mutlak].

Baca juga: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

Kondisi cetak sawah di Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang hanya sebagian dapat dimanfaatkan karena terendam air. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dasar hukum

Mualimin Pardi Dahlan, praktisi hukum lingkungan, mengatakan saat ini tengah diupayakan ekosida sebagai kejahatan kemanusiaan setelah pelanggaran HAM dan genosida ke hukum international dan Indonesia.

Misalnya, mengamandemen UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Kita berjuang memasukan ekosida sebagai pelanggaran berat HAM yang dilakukan non-negara, selain kejahatan kemanusiaan dan genosida,” katanya.

Di Indonesia, mengadili kejahatan ekosida memiliki peluang hukum seperti Pasal 28H ayat [1] UUD 45, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [PPLH].

Selama ini, kata Mualimin yang akrab dipanggil “Apeng”, persoalan lingkungan hidup hanya mengatur sanksi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sebut saja, sanksi administratif berupa teguran, paksaan, pembekuan atau pencabutan izin [UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH].

Hak gugat perdata dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan atas ganti kerugian lingkungan serta pelestarian fungsi lingkungan. Untuk gugatan pidana dilakukan terhadap setiap orang, badan usaha, serta orang yang memberi perintah atau sengaja dan lalai.

Hasilnya, banyak rakyat [petani] yang dipidanakan, dan sejumlah kasus yang melibatkan korporasi dihentikan proses penyidikannya [SP3]. “Hingga 2018, ada tujuh gugatan dimenangkan KLHK dengan total ganti kerugian sekitar Rp17,5 triliun. Tapi, baru Rp32 miliar yang dibayarkan,” paparnya.

 

 

Exit mobile version