Mongabay.co.id

Bersiap Segera Antisipasi Kemungkinan Tsunami di Pantai Selatan Jawa

Pemukiman sekitar pantai di Banten, luluh lantak dihantam tsunami. Foto: BNPB

 

 

 

 

Pada 17 September 2020, sebuah riset kolaborasi lintas sektor menyebutkan, soal ada potensi gempa megatrust di laut selatan Jawa yang memicu tsunami dengan ketinggian hingga 20 meter. Jurnal ilmiah yang terbit di Nature ini setidaknya bisa menjadi acuan penelitian lebih lanjut guna memitigasi dampak bencana yang akan terjadi, bukan buat menakuti.

Kajian ilmiah ini hasil kolaborasi 11 peneliti dari berbagai institusi berbeda sejak lima tahun lalu. Para peneliti adalah S. Widiyantoro, E. Gunawan dan AD. Nugraha dari Global Geophysics Research Group ITB Bandung. Kemudian, A. Muhari (BNPB) dan N. Rawlinson dari Department of Earth Sciences, Bullard Labs, Univeritas Cambridge, dan J. Mori dari Disaster Prevention Research Institute, Universitas Kyoto. Ada juga NR. Hanifa dari National Center for Earthquake Studies, Bandung, S. Susilo (Badan Informasi Geospasial), P. Supendi (BMKG Bandung), HA. Shiddiqi (Department of Earth Science, University of Bergen Norwegia), serta HE Putra dari PT. Reasuransi Maipark.

Sebenarnya potensi tsunami di Pantai Selatan Jawa sampai ketinggian 20 meter dampak gempabumi megathrust sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu oleh beberapa peneliti. Mereka meriset potensi tsunami di Pantai Selatan Jawa dengan metode, pendekatan dan asumsi dalam tiap penelitian berbeda dengan hasil sama.

Baca juga: Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada

Penelitian ini antara lain oleh Widjo Kongko (2018), Ron Harris (2017 – 2019), yang terakhir oleh tim lintas lembaga yang dipimpin ITB didukung BMKG.

Adapun persebaran potensi gempa besar ada di selatan Jawa Barat, selatan Yogyakarta, selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tsunami 20 meter berpotensi terjadi di pesisir selatan Jawa Barat dan 12 meter di pesisir selatan Blitar, Jawa Timur. Skenario terburuk mengasumsikan kalau terjadi gempabumi bersamaan pada dua segmen megathrust di selatan Jawa bagian Barat dan Selatan Jawa bagian Timur, yang mengakibatkan tsunami dengan tinggi gelombang maksimum 20 meter di satu area selatan Banten dan mencapai pantai dalam waktu 20 menit sejak gempa.

Abdul Muhari, Direktur Pemetaan dan Evakusi Risiko Bencana BNPB mengatakan, berdasarkan riset BNPB dan ITB terdapat segmen di selatan Banten-Jawa Barat dengan potensi energi gempa bumi hingga magnitudo 8,8 SR.

“Sedangkan segmen Jateng-Jatim berpotensi memiliki energi magnitudo 8,9 yang kalau terlepas secara bersama akan menghasilkan potensi energi setara magnitudo 9,1,” katanya dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Tengah, 28 Desember lalu.

Baca juga: Tsunami dan Ketidakjelasan Mitigasi Bencana (Bagian 1)

Dalam model simulasi yang mereka lakukan, untuk wilayah timur, akan ada air surut terlebih dahulu disusul tsunami. Untuk wilayah Barat, tsunami tidak didahului air surut namun langsung pada gelombang air laut naik.

Sri Widiyantoro, Guru Besar bidang Seismologi ITB menyebutkan, tidak ada gempa besar dengan magnitudo 8 SR atau lebih dalam beberapa ratus tahun terakhir mengindikasikan ancaman gempa tsunamigenik dahsyat d sepanjang pantai selatan Pulau Jawa.

Adapun, kajian ilmiah yang dia pimpin itu menggunakan data gempa dari katalog BMKG dan katalog International Seismological Center (ISC) periode April 2009-November 2018.

“Namun bagaimana segmen yang barat dan timur pecah bersama, kita lihat di barat mencapai 20 meter, timur 12 meter namun rata-rata menjadi tinggi kira-kira di pantai selatan Jawa itu lima meter,” kata Widyantoro.

 

Sumber: riset yang publis di Nature.com

 

Menurut dia, perlu ada penelitian lebih lanjut terkait marine survey untuk mengetahui kondisi topografi di bawah laut, apakah ada gunung bawah laut atau potensi longsoran kalau gempa terjadi.

Penelitian ini memberikan kesimpulan, hasil pemodelan ini memiliki tujuan untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), terutama di Jawa yang padat penduduk.

Hasil penelitian ini juga mengingatkan, potensi gempabumi dan tsunami tidak hanya di selatan Jawa saja, namun di sepanjang pantai yang menghadap Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Juga pantai yang berdekatan dengan patahan aktif di laut (busur belakang atau back arc thrusting), ataupun membentang sampai ke laut, dengan berbagai potensi ketinggian gelombang tsunami.

 

Sabuk hijau

Abdul Muhari mengatakan, temuan ilmiah ini menjadi informasi penting dalam perencanaan kesiapsiagaan, terutama di daerah pesisir. BNPB telah mendesain upaya mitigasi terintegrasi, antara lain, pembangunan greenbelt akan dilakukan dalam waktu dekat.

Greenbelt atau sabuk hijau ini merupakan gugusan tanaman yang mengkombinasikan dua jenis pohon, yakni mangrove dan palaka.

Baca juga: Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa

Mangrove ditanam menghadap ke laut dengan jenis pandanus atau jenis mangrove lain yang bisa tumbuh di substrat pasir. Tanaman ini berfungsi mereduksi energi tsunami. Sedangkan palaka, tanaman keras ini berfungsi sebagai lapisan pelindung di sisi belakang atau sisi darat.

Harapannya, ketebalan dan formasi penanaman vegetasi ini disesuaikan dengan penghitungan ilmiah agar penetrasi tsunami tidak terlalu jauh ke darat dan dapat meminimalisir korban dan kerusakan di daratan.

Berdasarkan data BNPB, masih banyak kabupaten belum memiliki dokumen perencanaan penanggulangan bencana antara lain, Kajian Risiko Bencana (KRB). Kajian ini bisa jadi langkah awal mengidentifikasi risiko bencana di seluruh kabupaten untuk menetapkan rencana aksi yang diperlukan.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat upaya pengurangan risiko bencana (PRB), seperti kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami. Kesiapsiagaan ini, katanya, dapat dengan memperkuat desa tangguh bencana, latihan kesiapsiagaan bersama pemerintah dan masyarakat terutama di daerah sepanjang selatan Jawa, minimal tiga kali dalam satu tahun.

Beberapa daerah teridentifikasi memiliki tempat evakuasi sementara (TES), namun tidak seluruhnya karena beberapa daerah terletak di dataran rendah.

“Untuk daerah-daerah di dataran rendah, TES dapat memanfaatkan sekolah atau bangunan-bangunan tinggi yang tahan gempa dan tsunami,” kata Abdul.

Baca juga: Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah

Selain itu, fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan juga dapat sebagai temporary vertical evacuation, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Fasilitas ini, katanya, harus didesain sedemikian mudah dijangkau masyarakat yang akan berlari untuk menyelamatkan diri.

 

Sumber: riset yang publis di Nature.com

 

Bersiap, tetapi tak perlu panik

Sebelumya, Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG meminta, masyarakat bersiap dan menyikapi hasil kajian dengan memperkuat upaya mitigasi bencana gempa dan tsunami.

“Informasi potensi gempa kuat di zona megathrust memang rentan memicu keresahan akibat salah pengertian, atau misleading,” katanya.

Informasi potensi gempa kuat di selatan Jawa menjadi pembahasan menarik di media. Sayangnya, masyarakat banyak lebih tertarik membahas kemungkinan dampak buruk daripada pesan mitigasi yang harus dilakukan.

“Para ahli dalam menciptakan model potensi bencana sebenarnya untuk acuan upaya mitigasi. Tetapi sebagian masyarakat memahami kurang tepat, seolah bencana terjadi dalam waktu dekat. Kapan terjadi belum dapat diprediksi.”

Dia pun mengimbaum masyarakat pesisir selatan Jawa tak resah dan tetap beraktivitas seperti biasa serta bersamaan membangun upaya mitigasi.

 

Penguatan mitigasi, tak cukup hanya peringatan dini

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, penelitian atau kajian gempabumi dan tsunami di Indonesia ini menjadi sebuah dukungan penguatan sistem mitigasi bencana.

“Hingga kita dapat mengurangi atau mencegah dampak bencana itu, baik jatuh korban jiwa maupun kerusakan bangunan dan lingkungan.”

Selain itu, perlu ada kesiapsiagaan masyarakat, pemerintah daerah dan seluruh pihak dalam upaya menindaklanjuti hasil penelitian ini.”

Pasalnya, kalau hanya melalui peringatan dini belum dapat menjamin keberhasilan upaya pencegahan korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami.

“Masih sangat diperlukan kesungguhan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama pemerintah pusat untuk melakukan berbagai langkah kesiapan pencegahan bencana.”

 

Air menggenang di lapangan depan Kantor Syahbandar Desa Teluk, Labuan, Pandeglang, Banten, tiga hari pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Langkah ini, katanya, harus berdasarkan pada edukasi masyarakat agar mampu melakukan perlindungan dan penyelamatan diri terhadap bencana gempabumi dan tsunami. “Juga merespon peringatan dini secara cepat dan tepat.”

Kesiapan pemerintah daerah, kata Dwikorita, menjadi sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasarana evakuasi, peta rawan bahaya gempabumi dan tsunami, jalur dan tempat evakuasi. Juga melaksanakan gladi evakuasi secara rutin, menerapkan building code standard tahan gempabumi dan tsunami, terutama untuk bangunan publik dan bangunan vital.

Kemudian, audit bangunan yang diikuti upaya memperkuat konstruksi bangunan agar benar-benar tahan terhadap gempabumi dan tsunami, serta menerapkan tata ruang berbasis mitigasi bencana. Tak kalah penting, katanya, menegakkan aturan ketat agar masyarakat dan seluruh pihak benar-benar mematuhi seluruh langkah upaya mitigasi ini.

 

***** Kerangan foto utama:  Dampak tsunami di Selat Sunda yang menewaskan lebih 200-an orang, Foto: BNPB

Exit mobile version