Mongabay.co.id

Panglima Laot, Hukum Adat dan Perannya Dalam Menjaga Pesisir Aceh

 

Belasan orang berdiri di bibir pantai. Tak lama berselang, dari arah barat sebuah perahu kayu berwarna merah memberi aba-aba. Para pria langsung bersiap sedia dengan berdiri berderetan.

Salah seorang dari mereka adalah Nurdin, yang dikenal di Lhok Pasie Lamnga, Kabupaten Aceh Besar sebagai Panglima Laot. Dia berdiri di depan kerumunan itu.

“Satu, dua, tiga, tarik!,” serunya. Di belakangnya, selusin pemuda berbadan tegap menarik pukat mengikuti arahan Nurdin.

Pukat itu perlahan tertarik ke arah pantai. Sembari sedikit mengulurkan jaringnya, dengan penuh semangat dia kembali memberi perintah. “Tarik lagi,” teriaknya.

Jaring pukat itu mulai tampak terlihat. Di Lhok Pasie mereka gunakan jaring pukat yang dapat menjangkau hingga 500 meter dari bibir pantau, membentuk setengah lingkaran dengan kedua ujung talinya berada di pantai. Ikan-ikan yang berada di dasar laut pun terperangkap di tengahnya.

Tradisi lokal ini dikenal sebagai Tarek Pukat dan sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh.

“Bisnis berjalan, budaya terawat,” kata Nurdin sambil tersenyum. Dia saya jumpai sesaat setelah dia selesai beraktifitas.

Nurdin sudah 15 tahun menjadi Panglima Laot. Wilayahnya meliputi lima gampong, yaitu Lamnga, Neuheun, Durung, Ujong Kareung, hingga Ladong.

Pada awalnya, Nurdin menyebut dirinya bukan sosok yang akrab dengan laut, hanya pria yang menggantungkan hidupnya pada tambak udang. Namun, karena perawatan tambak udang sulit, Nurdin banting setir menjadi nelayan. Di tahun 1987 pertama kali dia membeli perahu dan jaring pukat.

Cerita sama disampaikan Syafaat, Panglima Laot Lhok Kuala Cangkoi, Banda Aceh. Dia sudah melaut sejak 25 Tahun yang lalu. Tepatnya saat duduk di bangku sekolah menengah.

Sebagai Panglima Laot, tugasnya tak jauh beda dengan Nurdin. Hanya cakupan daerah dan gampong-nya saja yang berbeda. Menurutnya, ketertarikan dengan laut tumbuh dengan alami sebagai orang pesisir.

“Anak pesisir terbiasa membantu nelayan yang pulang melaut, cuci kapal, bantu beli sembako nelayan, dan hal lainnya,” ungkapnya.  “Saya melihat anak-anak muda sekarang makin antusias jadi pelaut.”

Baik Nurdin maupun Syafaat punya pendapat yang sama soal tradisi dan kelestarian laut. Juga soal solidaritas sesama nelayan.

“Kalau melaut sama-sama dan ada yang tidak dapat ikan, biasanya akan dibagi untuk disantap bersama,” ungkap Nurdin.

Nurdin lalu meyebut Hukom Adat Laot dan masyarakat pesisir Aceh tidak bisa dipisahkan. Dengan hukum adat membantu mereka untuk tetap berkecupan menjalani kehidupan hariannya.

Baca juga: Melihat Masa Depan Panglima Laot di Aceh

 

Para nelayan sedang melaukan Tarek Pukat di Lhok Pasie Lamnga, Kabupaten Aceh Besar. Foto: Harisul Amal

 

 

Amanat Menjaga Hukum Adat di Pesisir Aceh

Dirunut sejarahnya, eksistensi Panglima Laot sudah ada sejak abad ke-16 di era Kerajaan Aceh Darusasalam masih berjaya. Saat itu, Panglima Laot mempunyai peran sentral sebagai tangan kanan raja yang mengatur dan memimpin angkatan perang.

“Terlebih karena banyak perang menggunakan kapal untuk mengarungi Selat Malaka. Jadi selain kapal megah milik sultan, juga berjejer ribuan kapal nelayan yang ikut bertempur,” tutur Ketua Majelis Adat Aceh, Prof Farid Wajdi.

Di era Sultan Iskandar Muda, selain memimpin perperangan Panglima Laot juga punya peran mengatur hubungan diplomatik dan memungut cukai dari kapal-kapal yang singgah di pelabuhan.

Pasca lebur ke dalam Republik Indonesia, peran Panglima Laot di Aceh perlahan bergeser, yaitu menjadi pemimpin adat di desa-desa pesisir. Termasuk di dalam perannya, adalah mengatur cara penangkapan ikan, hingga jadi penengah jika ada sengketa diantara nelayan.

Ketika Aceh menjadi daerah otonomi khusus, perihal Panglima Laot masuk diatur di dalam

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat. Secara garis besar, Panglima Laot mempunyai peran untuk menjaga Hukom Adat Laot. Salah satu tugasnya menentukan hari pantang melaut bagi para nelayan.

Di Lhok Pasie Lamnga dan Lhok Kuala Cangkoi, hari pantang melaut misalnya ditetapkan setiap malam Jumat, yang terhitung sejak Kamis sore hingga Jumat siang.

Selain itu, pantang turun ke laut di hari-hari lain seperti kenduri laot, hari raya keagamaan dan hari peringatan tsunami. Bagi yang melanggar akan dapat sanksi, di-skors, berupa larangan melaut selama beberapa hari.

Terkait kenduri laot, Miftach Cut Adek Wasekjen Panglima Laot Aceh menjelaskan bahwa acara ini semacam “ungkapan syukur” para nelayan yang dilakukan minimal tiga tahun sekali.

Tujuannya mohon keselamatan dan mendoakan agar para nelayan dalam melakukan pekerjaannya di laut dapat terhindar dari bencana.

Dalam kenduri laot acara dimulai dengan likee (zikir), seulaweut (berselawat) kepada nabi, dan membaca ayat suci Al-Quran yang dipimpin seorang teungku (ulama) setempat.

Agenda selanjutnya memakan daging kerbau secara bersama-sama. Bagian kepala dan tulang kerbau kemudian dibungkus dan dilarung ke laut yang tak jauh dari bibir pantai.

Seiring perubahan pemahaman, beberapa kaum puritan menganggap praktik melarung kepala kerbau tidak sejalan dengan syariat Islam.

Terlepas dari perspektif tersebut, secara adat prosesi itu memiliki makna filosofis yang berbeda. Kerbau dipilih sebagai qurban karena dianggap sebagai hewan yang dingin. Harapannya dapat mendinginkan nelayan yang kerap melaut dalam keadaan panas dan mempunyai karakter yang keras, yang terbentuk dari sifat pekerjaan.

Sementara pelarungan kepala kerbau dan isi di dalam laut. Tujuannya memberi makan ikan-ikan yang selama ini menjadi sumber penghidupan nelayan. Setelah dagingnya habis disantap ikan, kepala kerbau dan tulang belulang akan menjadi rumah (rumpon) ikan.

Baca juga: Beginilah Hukum Adat Laut di Aceh

 

Perahu nelayan Aceh saat melaut mencari ikan. Foto: Junaidi Hanafiah?Mongabay Indonesia

 

 

Adat Laut dan Pelestarian Ekosistem

Dengan adanya berbagai kegiatan tidak turun ke laut, jika dikalkulasikan dalam setahun, maka libur melaut nelayan bisa mencapai dua bulan. Itu sudah termasuk dengan libur karena cuaca buruk.

Dari sisi kelestarian biota laut, waktu jeda tersebut amat penting dalam menjaga keberlangsungan ekosistem laut. Di saat jeda, ikan punya kesempatan berkembang biak. Bagi nelayan, mereka punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

“Dalam Hukom Adat Laot dilarang lempar bom ikan, pakai setrum listrik, juga tidak boleh menggunakan alat tangkap seperti trawl, itu haram,” jelas Miftach.

Kemudian juga tidak diperbolehkan mengambil ikan yang telah diberi tanda untuk penelitian, dan menangkap spesies dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan paus. Anggota yang melanggar akan dikenai sanksi. Kapalnya dapat ditahan hingga seminggu, serta semua hasil tangkapannya disita untuk lembaga adat.

Selain itu, Miftach menyebut sejak dulu para nelayan Aceh rajin menanam pohon kelapa, bakau dan pepohonan lainnya. Ini sesuai dengan peribahasa Koh bak kayee hanjeut, tanom bak kayee nyan geuyue (Menebang pohon itu tidak boleh, tetapi menanam diharuskan).

Nelayan percaya, saat banyak pohon-pohon ditanam di pesisir ikan-ikan akan merapat ke pinggir pantai. Hal itu di Aceh dikenal dengan istilah seumaloe.  

Namun saat ini, seumaloe sedang mengalami ancaman. Banyak ikan yang tidak lagi mudah di dapat di pesisir pantai.  Penyebabnya perubahan bentang lahan daratan yang terhubung dengan ekosistem pesisir melalui aliran air dan sungai.

“Sebagai contoh, di darat ada lahan sawit yang disemprot racun [pestisida]. Kalau sudah disemprot ketika hujan air mengalir ke hilir. Di hilir dimakan ikan, matilah ikan-ikan itu,” lanjut Miftach.

Selain soal lingkungan, Hukom Adat Laot juga mengamanatkan Panglima Laot untuk menjaga keamanan laut dan adat sosial. Sebagai contoh saat berjumpa perahu mogok atau orang hanyut, maka nelayan yang melihat wajib memberi pertolongan.

“Ketika di laut tetap harus saling membantu, setidaknya menawarkan bantuan.”

 

Sumber: Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008

 

 

Jika diketahui seorang nelayan menolak untuk menolong, maka dia dapat dikenakan sanksi adat. Sanksinya mulai administratif, dikeluarkan dari keanggotaan, hingga diusir dari wilayah tersebut.

Dengan pentingnya peran Panglima Laot, maka kepatuhan nelayan terhadap hukum adat tergantung kepada sosok pribadi panglima. Panglima Laot biasanya dipilih dari orang yang punya tanggung jawab dan disiplin diri yang tinggi.

Tugas panglima memang tidak mudah. Semua bentuk sengketa di laut hingga 70 meter dari bibir pantai akan jadi tanggungjawabnya. Di luar jangkaua itu, baru jadi tanggung jawab keuchik atau kepala desa setempat.

Selain menegakkan kepatuhan nelayan terhadap hukum adat, Panglima Laot juga bertanggung jawab mengamankan kawasan laut dari ancaman pihak eksternal.

Wilayah Lhok Kuala Cangkoi yang dipimpin oleh Panglima Syafaat sering berurusan dengan hal ini, wilayah mereka kerap menjadi sasaran pencurian ikan nelayan luar wilayah.

Umumnya, yang sering jadi sasaran adalah rumpon milik komunitas nelayan setempat. Modus praktiknya biasanya dilakukan di malam hari. Caranya mengambil ikan langsung di rumpon atau lewat teknik dipanyot.

Dipanyot dilakukan dengan cara menyalakan lampu di atas rumpon, ikan akan keluar karena mengikuti cahaya, kemudian digiring ke tempat lain ke luar wilayah rumpon. Baru di situ ikan diangkut dengan jaring,” kata Syafaat.

Pencurian ikan ini tentu saja membuat para nelayan setempat marah, saat mereka susah payah membuat rumpon dan mengumpulkan ikan, hasilnya diambil orang lain.

Jika pelakunya tertangkap basah dan terbukti, biasanya Panglima Laot akan menggelar sidang adat. Sanksinya beragam mulai dari mulai teguran, sita hasil, penahanan kapal selama 3-7 hari, hingga sita kapal permanen.

“Kalau ada kapal yang disita, itu kita karamkan dan tidak boleh dipakai oleh siapapun. Kalau sampai merusak rumpon, diberi denda hingga Rp10 juta dan disita hasil tangkapannya.”

Baca juga: Pemerintah Klaim Omnibus Law Beri Manfaat Khusus untuk Petani dan Nelayan

 

Pasar ikan di Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Tantangan Akibat Aturan Hukum

Hadirnya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tak luput membawa tantangan baru bagi para nelayan kecil di Aceh.

Pemerintah pusat mengklaim UU Cipta Kerja hadir untuk memudahkan nelayan dari segi pelayanan dan mempermudah perizinan. Sebaliknya, UU baru ini juga dinilai meminggirkan peran dan perlindungan nelayan kecil yang menggerakkan ekonomi kolektif.

Pakar Hukum Adat Universitas Syiah Kuala Teuku Muttaqin Mansur menyebut, sedikitnya ada satu substansi yang paling berpotensi menjadi masalah yaitu perihal definisi nelayan kecil dan wilayah operasinya.

Pasalnya, UU ini menyamakan nelayan kecil dengan nelayan besar yang menggunakan kapal di atas 10 GT. Padahal sebelumnya, nelayan kecil telah diperlakukan secara khusus oleh UU Perikanan, karena mereka ramah lingkungan serta tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan.

Dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan kecil didefinisikan sebagai nelayan yang mempunyai kapasitas kapal 5 GT, dalam perkembangannya seperti tercantum pada UU Nomor 7 Tahun 2016 definisi nelayan kecil dinaikkan menjadi 10 GT. Juga dalam UU Cipta Kerja tidak tercantum detail definisi nelayan kecil dengan kapasitas muat ikan. Sehingga posisi mereka disejajarkan dengan nelayan kapal besar.

“Di UU Cipta Kerja ini tidak menyebutkan GT-nya lagi. Nah ini membingungkan, di Aceh kan ada wilayah bagi nelayan kecil, nanti pembatasannya dengan nelayan besar seperti apa?” ungkap Muttaqin saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (8/1/2021).

Apabila tidak kunjung diperjelas, dia menilai hal ini berpotensi memunculkan konflik di kemudian hari.

Terlebih Aceh telah memiliki qanun tentang batas wilayah. Dimana bagi nelayan kecil tradisional telah ada yang disebut Wilayah Kelola Masyarakat Adat Laot sejauh 4 mil dari garis pantai.

Aceh sebagai daerah otonomi khusus, juga telah memiliki peraturan tentang perikanan dan lembaga adat. Di antaranya UUPA Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Pasal 98 dan 99 serta Pasal 162 Ayat (2) Huruf e, lalu Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Selanjutnya ada Qanun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan.

“Terbaru, Aceh memiliki Qanun Nomor 1 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K),” lanjutnya.

Perubahan definisi nelayan kecil di dalam UU Cipta Kerja yang tidak lagi membatasi ukuran kapal, jelas Muttaqin akan mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil.

Dengan definisi yang kabur, nelayan-nelayan dengan kapal yang besar dari luar nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti menangkap ikan di dekat pantai.

Seperti yang diungkap Syafaat, persoalan ini memang kerap membuat resah nelayan kecil. Ditambah, nelayan besar menggunakan alat tangkap rawen untuk mengangkap ikan, sedang nelayan kecil menggunakan kail tarik ulur.

“Kapal mereka lebih besar daripada kapal kami. Kalau ‘perang’ dengan kapal mereka, kalah kami. Terlebih biasanya kapal besar pasti bawa senjata, sedangkan kami tidak bawa apa-apa selain peralatan melaut,” sebutnya. Hal ini tentunya menciptakan persaingan tak adil.

Aturan wilayah tangkap bagi nelayan kecil dan nelayan sebenarnya juga telah diatur dalam Hukom Adat Laot.

Nelayan dengan kapal besar dilarang melaut dalam radius 4 mil dari bibir pantai. Jarak ini diambil dengan asumsi wilayah bibir pantai adalah area ikan berpijah. Sehingga jika nelayan besar menangkap di wilayah ini, dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan perkembanganbiakan ikan.

Namun demikian, Muttaqin menyebut UU Cipta Kerja itu bisa jadi tak terlalu berdampak signifikan terhadap masyarakat Hukum Adat Laot di Aceh. Alasannya, sudah ada payung hukum yang diatur lewat Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020.

Dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja disebutkan “(1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat. (2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Dapat disimpulkan bahwa wilayah masyarakat Hukum Adat Laot menjadi kewenangan kelola yang dipimpin oleh Panglima Laot.”

Pun saat ada investasi dari luar, sesuai Qanun Nomor 1 Tahun 2020, maka investor yang ingin melakukan usaha di wilayah adat harus meminta izin kepada masyarakat adat dan membuat kesepakatan.

Muttaqin pun mewanti-wanti, untuk lebih menguatkan kedudukan masyarakat pesisir Aceh, masih dibutuhkan satu tahapan lagi, yaitu pengesahan ataupun penetapan wilayah dari pejabat wilayah setingkat bupati/walikota. Dengan demikian, keberadaan masyarakat hukum adat benar-benar memiliki status legal yang kuat.

 

* Harisul Amal, penulis adalah peserta terpilih dalam Fellowship Build Back Batter Masyarakat Hukum Adat oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)/Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia. 

 

 

 

Exit mobile version