Mongabay.co.id

Buntut Klaim Negara Kebun Warga Masuk Kawasan Hutan, Kakek Natu, Anak dan Ipar Vonis 3 Bulan

 

 

 

 

Natu bin Takka (75), Ario Permadi bin Natu (32) dan Sabang bin Beddu (47), duduk menghadap tiga orang majelis hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng. Tiga orang yang punya hubungan keluarga ini kena dakwaan merusak hutan dan terjerat UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Mereka terjerat hukum gara-gara menebang pohon untuk bikin rumah dari kebun keluarga di hutan adat yang dalam status negara masuk kawasan lindung.

 Baca juga: Ketika Aturan Datang Abai Warga, Kakek 75 Tahun di Soppeng Terjerat Hukum Perusak Hutan

Hari itu, Selasa (19/1/21), mereka duduk di masing-masing kursi berwarna merah. Sekitar satu jam, hakim ketua dan dua hakim anggota bergantian membaca putusan.

“Mengadili; menjatuhkan pidana kepada para terdakwa oleh karena itu dengan pidana masing-masing selama tiga bulan.”

Ruang sidang hening. Hanya ada suara para majelis. Hakim Ketua, Ahmad Ismail, meminta pandangan terdakwa. Dia juga mempersilakan terdakwa, untuk diskusi bersama penasehat hukum.

Ridwan, pengacara pubik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, hanya bisa tertunduk. Dia memanggil Natu, yang dengan sigap berdiri dan berjongkok di sampingnya, bersama Ario dan Sabang.

Tak sampai dua menit, mereka kembali ke tempat duduk. Mereka akan banding. “Oke ya pak Natu, Ario dan pak Sabang. Keputusan ini, belum inkrah–belum berkekuatan hukum. Jadi pengacara bapak, ini akan banding,” katanya.

Baca juga: Tebang Pohon di Kebun Sendiri, Tiga Petani di Soppeng Kembali Terjerat UU P3H

Ketukan palu mengakhiri sidang. Ridwan berdiri dengan cepat dan keluar dari ruangan persidangan. Mata sembab. Puluhan warga lain di luar persidangan menunggu dengan tatapan lesu. “Kenapa putusan seperti itu e?” kata beberapa warga.

“Kita ini petani kecil, benar-benar bisa dihukum seenaknya,”

“Sudah terlanjur. Kita akan terus melawan. Ini jelas punya ta. Hak kita,”

Beberapa orang mendatangi tiga terdakwa, sambil menggenggam tangan dan memeluk atau mengelus pundak.

 

Nantu memperlihatkan, patok kawasan hutan dan menceritakan proses klam negara atas kebun mereka. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Ridwan tiba sekitar pukul 21.00 di rumah Natu bin Takka. Udara di sekitaran kaki Gunung Ale Sewo seju. Hujan mengguyur sepanjang hari. Dinding rumah yang terbuat dari bilah bambu anyaman, seperti ventilasi raksasa. “Mimpi apa semalam pak Natu,” kata Ridwan menggoda.

“Biasa saja,” kata Natu.

Natu hanya bisa menjawab seperlunya. Dia tak cakap mengeluarkan kalimat dalam bahasa Indonesia. Alasan itu juga sepanjang hidupnya, selama 75 tahun, hampir tak pernah meninggalkan kampung.

Baca juga : Akhirnya Tiga Petani Soppeng Divonis Bebas. Bagaimana Ceritanya?

Kampung terjauh yang pernah di datangi adalah Siwa, di Kabupaten Wajo, sekitar empat jam perjalanan darat dari rumahnya.

Dia belum pernah melihat Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. “Bagaimana mau pergi, takut juga. Tidak ada bahasa,” katanya pada saya suatu waktu.

Malam sebelum persidangan itu, usai makan malam, beberapa keluarga saling menguatkan. Mereka bilang, kalau hakim melihat dengan nurani, tiga terdakwa akan dinyatakan tak bersalah alias bebas. “Kalau melihat kasus tahun sebelumnya, kami besar harapan, kalau pak Natu dan teman-teman akan bebas,” kata Ridwan.

“Kecuali ada pertimbangan lain dan majelis inkonsistensi dari pencapaian sebelumnya.”

Ridwan merujuk pada upaya krimininalisasi tiga petani sebelumnya di hutan lindung Laposo Nenek Conang, Kabupaten Soppeng, pada 22 Oktober 2017. Tiga orang itu adalah Muhammad Sahidin (47), Jamadi (45) dan Sukardi (39).

Mereka ditangkap karena menebang pohon di wilayah mereka sendiri, yang diolah secara turun temurun. Petani itu dijerat UU P3H. Persidangan itu, juga berlangsung alot, tetapi majelis hakim memvonis bebas pada 21 Maret 2018.

Dua anggota majelis hakim pada kasus itu adalah Ahmad Ismail dan Fitrana. Kini Ahmad Ismail Ketua Majelis Hakim dalam kasus serupa, yang melibatkan Natu, Ario dan Sabang.

Pada 8 Desember 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan gunakan UU No. 18/2013, yang intinya mendakwa mereka yang bertempat tinggal di dalam dan, atau kawasan hutan dengan sengaja menebang pohon dalam tanpa memilki izin pejabat berwenang sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (2) UU No. 18/2013.

JPU menuntut empat bulan, barang bukti dirampas negara dan membayar biaya perkara masing-masing Rp3.000.

 

Natu, bersama iparnya usai pembacaan vonis hukum dan mereka banding. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Mana reforma agraria?

Rizki Anggriana Arimbi dari Konsorsium Pembaruan Agraria Sulawesi Selatan mengatakan, vonis majelis hakim ini menambah deretan kriminalisasi petani tradisional dalam klaim kawasan hutan.

Konflik agraria kronik ini, katanya, tidak pernah ada penyelesaian dan selalu berakhir dengan pemidanaan petani. “Sungguh sangat ironis ketika ladang kehidupan rakyat, sumber sumber agraria para petani kecil yang sudah hidup turun temurun jauh sebelum penunjukan kawasan hutan yang semena-mena dianggap sebuah tindakan kriminal,” katanya dalam rilis bersama LBH Makassar.

Catatan KPA Sulsel, rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional sejak 2017 hingga kasus petani Soppeng, yang terjerat UUP3H ada 13 orang. Secara keseluruhan, petani dikriminalisasi karena klaim kawasan hutan dalam lima tahun terakhir sekitar 23 orang.

Kondisi ini, katanya, membuktikan agenda reforma agraria Presiden Joko Widodo yang digembar gemborkan sejak periode pertama tak berjalan.

Program tanah objek reforma agraria (TORA) khusus 4,1 juta hektar redistribusi kawasan hutan tak terealisasi. Yang terlihat, katanya, tak lebih sekadar program bagi-bagi sertifikat semata, konflik agraria signifikan tak terhenti.

Peraturan Presiden No. 86/2018 tentang Reforma Agraria sudah ada, tetapi yak membawa dampak positif bagi agenda reforma agraria di Indonesia. “Petani yang tanahnya sudah diambil negara, dibui pula. Sungguh terbalik perlakuan negara terhadap korporasi-korporasi. Kasus petani Soppeng dalam jerat UUP3H sungguh mencederai rasa keadilan kita.”

Riski bilang, berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan membuktikan perbuatan terdakwa tak termasuk kualifikasi subyek hukum dalam UU P3H. Apalagi, Natu bersama anak dan iparnya, termasuk masyarakat yang dikecualikan sesuai Pasal 1 angka 6 UU P3H.

UU Itu menyatakan, “tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan atau penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.”

LBH Makassar dan KPA Sulsel menuntut, kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan seluruh lembaga negara menghormati hak-hak petani yang dilindungi konstitusi. Juga menghentikan segala bentuk praktik intimidasi dan kriminalisasi petani-petani tradisional yang hidup turun temurun dan mengelola sumber penghidupan mereka.

Dua lembaga ini juga mendesak, presiden menjalankan agenda reforma agraria menyeluruh dan segera melepaskan tanah-tanah rakyat dalam klaim kawasan hutan demi kepastian hukum, keadilan serta penghormatan kedaulatan hak-hak rakyat.

 

Unjuk rasa petani Soppeng, protes proses hukum Kakek Natu, anak dan iparnya. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Upaya banding

La Natu, bersama anaknya, Ario Permadi dan iparnya, Sabang, adalah warga di Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Soppeng, Sulawesi Selatan. Sengkarut kasus mereka bermula pada Februari 2020, kala Ario yang sudah menikah dan memiliki anak mau bikin rumah.

Natu, menebang pohon miliknya, yang ditanam bapaknya, La Takka tahun 1980-an. Ketika pohon jati mulai diolah dan jadi 122 balok, 43 balok tiang, 70 lembar pasak kayu, sembilan lembar papan kayu, dan empat lembar balok tiang, Kepolisian Resort Soppeng bersama petugas KPH Wallanae.

Polisi gelandang mereka ke kantor kepolisian dan periksa dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka juga dinyatakan bersalah dan melanggar pertarutan perundangan-undangan lingkungan hidup. “Perbuatan para terdakwa dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan,” tulis putusan hukum itu.

Di Kabupaten Soppeng dan Wajo, wilayah kerja KPH Wallanae, seluas 64.543,45 hektar. Rinciannya, hutan lindung 39.355, 99 hektar. Hutan produksi terbatas 11.068,60 hektar dan hutan produksi 14.118,86 hektar.

Bentangan hutan itu sebagian besar besar berada di Soppeng, yakni 45.908,20 hektar. Sisanya, 18.635,25 hektar di Wajo. Di Soppeng, areal hutan lindung 34.301 hektar.

Catatan Akhir 2020, LBH Makassar menuliskan, kalau penangkapan petani di kawasan hutan, sebagai upaya kriminalisasi petani tradisional di dalam atau sekitar kawasan hutan masih terus berlangsung.

Kehutanan dengan klaim hutan mengabaikan keberadaan masyarakat yang bermukim turun temurun. “Kriminalisasi ini Institusi Kehutanan melalui UPT KPH Wallanae bersama Kepolisian Polres Soppeng,” tulis catatan itu.

Di Soppeng, kasus petani tinggal di kawasan hutan lindung Laposo Nenek Conang, mencapai 3.950 keluarga dan 23.428 jiwa. Luas areal garapan warga turun temurun sekitar 7.803,06 hektar.

“Jika Natu diputus bersalah maka ada sekitar 23.000 jiwa yang bisa saja mengalami kriminalisasi,” kata Ady Anugrah Pratama, pengacara publik LBH Makassar.

Atas dasar inilah, Natu, Ario Permadi dan Sabang, bersepakat bersama penasehat hukum tempuh upaya banding.

“Kenapa mereka mau kami dipenjara. Kami ini tidak salah,” kata Natu.

“Kami serahkan penuh ke LBH Makassar. Keluarga percaya ini jalan terbaik,” kata Arida, anak perempuuan Natu.

Bagi Arida, mempertahankan hak mereka juga bernilai ibadah. “Jika kami tidak didampingi teman-teman LBH sejak awal, mungkin bapak (Natu) akan langsung dipenjara pada Februari itu. Sekarang, orang kehutanan maunya bapak dipenjara.”

Bagi Ridwan, upaya banding, akan menguji putusan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman untuk terdakwa. “Sidang itu akan berlangsung dalam beberapa bulan. Kemungkinannya masih terbuka.”

Dalam nota pembelaan atau pledoi dari LBH Makassar, mereka menuliskan ketiga terdakwa petani tradisional dan menebang pohon kayu dan berkebun semata-mata untuk keperluan sandang, pangan dan papan bukan keperluan komersial.

“Kenapa terdakwa menginginkan banding, itu salah satu alasannya. Fakta itulah yang menurut kami tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim,”kata Ridwan.

 

Natu, kakek 75 tahun (berbaju kotak-kotak), bersama anak perempuan dan kerabatnya. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version