Mongabay.co.id

Data Historis Makin Menguatkan Ancaman Kepunahan Orangutan Tapanuli

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

 

 

 

Onrizal Onrizal, peneliti kehutanan dari Universitas Sumatera Utara, teringat kisah masa kecil soal makhluk mirip manusia yang hidup di hutan. Onrizal lahir dan besar di daerah tepian Sungai Dareh di Sumatera Barat. Legenda itu menceritakan makhluk yang disebut ‘orang pendek’ oleh penduduk setempat menghilang dari hutan pada 1970-an.

Saat ini, Onrizal mempelajari keragaman hayati di pulau asalnya, termasuk orangutan yang kemungkinan besar menginspirasi kisah orang pendek. Meskipun kisah itu mungkin hanya sebuah cerita, tetapi sejalan dengan kenyataan yang terjadi saat ini: makhluk-makhluk itu memang menghilang dari hutan.

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Dalam studi terbaru yang terbit Januari ini di Jurnal PLOS ONE, Onrizal dan peneliti lain menjelajahi catatan sejarah untuk mencari referensi tentang orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Ini spesies orangutan paling baru dan kera besar paling terancam punah di dunia. Saat ini, kurang 800 individu berhabitat dalam satu lokasi, hutan Batang Toru di Sumatera Utara.

Habitat mereka kemungkinan hanya mencakup 2,5% dari kisaran area tempat mereka sekitar 130 tahun lalu ketika ditemukan para peneliti. Mereka memperkirakan, kisaran ini menyusut dari hampir 41.000 kilometer persegi (15.800 mil persegi) pada 1890-an, jadi hanya 1.000 km2 (400 mi2) pada 2016.

Untuk sampai pada angka-angka ini, para peneliti merujuk literatur era kolonial, seperti surat kabar, jurnal, buku dan catatan museum, dari awal 1800-an hingga 2009. Mereka menemukan data-data ini di database termasuk Perpustakaan Warisan Keanekaragaman Hayati dan surat kabar bersejarah online, buku dan jurnal yang menggunakan kata kunci spesifik lokasi seperti “Sumatera”, “Batang Toeroe,” dan “Tapanoeli,” dengan ejaan bahasa Belanda.

Baca juga: Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Mereka kemudian melakukan referensi silang dengan menelusuri istilah yang secara spesifik merujuk pada orangutan: “orang oetan,” “orang-oetan,” “orangutan,” dan juga “mawas,” “mias” dan “maias,” yang merupakan nama lokal untuk orangutan pada umumnya digunakan dalam literatur sejarah.

“Kami kehilangan sebagian besar gambaran tentang konservasi karena mengabaikan informasi bersejarah,” kata Erik Meijaard, penulis utama dalam studi dan asisten profesor konservasi di University of Kent, Inggris.

 

Ficus, salah satu buah yang diminati orangutan Tapanuli. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Para peneliti menemukan, secara historis, orangutan Tapanuli mendiami wilayah yang jauh lebih luas, dan terjadi di tipe habitat jauh lebih luas dan pada ketinggian lebih rendah daripada hutan pegunungan Batang Toru yang mereka huni saat ini.

Sebagian besar habitat historis itu hilang pada 1950-an karena pertanian rakyat, sebelum muncul pembangunan perkebunan skala industri di Sumatera pada 1970-an. Wilayah orangutan Tapanuli sekarang hidup–kini jadi Tapanuli Utara, Selatan dan Tengah—, sudah 52% mengalami deforestasi pada 1930-an.

Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli

Kombinasi dari fragmentasi historis habitat hutan dan perburuan yang tidak berkelanjutan kemungkinan besar mendorong mereka dari kawasan hutan dataran rendah, tempat mereka dulu hidup, ke hutan dataran tinggi di ekosistem Batang Toru.

“Merujuk pada informasi yang tersedia, kami menganggap, kemungkinan besar Pongo tapanuliensis diburu hingga punah di bagian yang makin terfragmentasi dari wilayah jelajah sebelumnya dan hanya bertahan di pegunungan Batang Toru yang terpencil dan berbatu yang mungkin selama ini memberikan perlindungan bagi orangutan dari perburuan,” tulis peneliti di makalah mereka.

Menurut Meijaard, temuan ini menunjukkan, orangutan Tapanuli bukanlah spesies yang khusus beradaptasi untuk hidup di dataran tinggi seperti yang dinyatakan beberapa ilmuwan.

 

Peta Pulau Sumatera yang menunjukkan sebaran terkini Pongo tapanuliensis dan Pongo abelii, serta area utama yang disebutkan di penelitian.

 

Kelangsungan hidup

Temuan ini makin meningkatkan keprihatinan atas kelangsungan hidup orangutan Tapanuli. Saat ini, diperkirakan 767 orangutan ini hidup di hutan Batang Toru, terbagi di antara tiga subpopulasi yang sementara masih terhubung.

Spesies mereka terus menghadapi konflik ancaman perburuan dan pembunuhan, serta hilangnya habitat karena pertanian maupun perkebunan. Ancaman baru juga muncul, yaitu pembangunan infrastruktur, penambangan emas, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan hidroelektrik.

Ancaman paling berat dari pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, yang sering diperingatkan oleh para ahli konservasi bahwa pembangunan PLTA ini akan membahayakan konektivitas antara subpopulasi orangutan di bagian barat, timur dan selatan.

Fragmentasi ini akan memotong keragaman kumpulan gen orangutan secara dramatis, yang menyebabkan perkawinan sedarah, timbul penyakit, dan akhirnya setiap subpopulasi punah.

Risiko kepunahan ini mendorong pemberi pinjaman besar, termasuk perusahaan keuangan internasional, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, menghindari proyek pembangkit listrik tenaga air. Pendukung utamanya, Bank of China, telah menjanjikan peninjauan kembali terkait kekhawatiran ini.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, proyek pembangkit listrik tenaga air tak akan membunuh orangutan Tapanuli. Kementerian ini sebutkan, masih banyak habitat dan tutupan hutan baik di seluruh lanskap bagi orangutan untuk terus berkembang biak.

KLHK juga mengutip berbagai upaya pemerintah melindungi orangutan, termasuk pemantauan rutin dan moratorium izin permanen untuk membuka hutan primer dan lahan gambut yang menutupi sebagian besar habitat orangutan Tapanuli.

Meskipun begitu, temuan baru tim ini menunjukkan betapa orangutan Tapanuli sensitif terhadap efek gabungan dari fragmentasi habitat dan laju ekstraksi dari alam liar yang akan mendorong spesies ini menuju kepunahan.

“Ancaman yang mendorong angka penurunan terus berlanjut hingga hari ini. Klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa orangutan Tapanuli memiliki habitat luas dan tidak menghadapi kepunahan perlu dikaji ulang secara hati-hati, karena tidak didukung informasi dari sejarah,” katanya.

Dalam penelitian mereka, para peneliti menghitung, kalau lebih 1% orangutan dewasa hilang dari alam liar per tahun-baik dibunuh, translokasi, atau ditangkap – maka kepunahan tidak dapat terhindarkan, terlepas dari berapapun jumlah awal populasi.

Analisis ini, kata Meijaard, jelas menunjukkan, orangutan Tapanuli tersisa berada pada habitat dataran tinggi yang tak optimal dan mungkin lebih dari 1% populasi ditangkap setiap tahun. Hal ini, berdasarkan data pembunuhan, translokasi dan penyelamatan yang dilaporkan, lalu memprediksi penurunan populasi terus menerus.

Serge Wich, penulis studi dan wakil ketua devisi spesialis primata International Union for Conservation of Nature (IUCN) tentang kera besar, mengatakan, orangutan Tapanuli mungkin tidak secara khusus beradaptasi dengan kondisi dataran tinggi dan harus hidup di berbagai habitat , seperti rawa gambut dan hutan dataran rendah-kering demi kelangsungan hidup di alam liar.

Menurut perkiraan para penelitia, tanpa upaya penyelamatan lebih lanjut, spesies ini bisa punah dalam beberapa generasi ke depan. “Fragmentasi hutan Batang Toru yang sedang berlangsung hanya memperburuk risiko ini,” kata Wich.

Dia meminta semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, ilmuwan, donor, perwakilan masyarakat lokal, dan industri, untuk mengembangkan rencana aksi nyata demi kelangsungan hidup spesies ini.

“Pendekatan ‘tambal sulam’ saat ini untuk melestarikan spesies kemungkinan besar akan gagal,” kata Wich. Terjemahan oleh:  Akita Arum Verselita

 

*Artikel dalam bahasa Inggris bisa ditemukan di  Mongabay.com

 

 

 

**** Keterangan foto utama: Orangutan Tapanuli, bersama anaknya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version