Mongabay.co.id

Kafe Lepa Lio dan Sawah Detusoko, Ketidaklaziman yang Mengukir Keindahan

 

Mobil yang kami tumpangi bergerak pelan dari Kota Ende, Ibukota Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam kegelapan malam usai rintik hujan, perjalanan ke arah timur tertambat di Desa Detusoko Barat.

Malam itu, Kamis (14/1/2021) sahabat lama sesama jurnalis menyambut kedatangan saya dan dua teman lainnya di desanya. Cuaca dingin malam itu terbayarkan dengan suguhan kopi asli khas desa tersebut.

Kepala Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko ini paham betul soal pariwisata. Pernah mengenyam pendidikan pariwisata di negeri Paman Sam, dia pun bertekad menjadi desanya sebagai desa wisata.

Ilmu dan pengalamannya menjadi pendamping desa ekowisata ditularkannya demi memajukan pariwisata di desanya. Mimpinya pun mulai bersemi dengan tumbuhnya kesadaran generasi muda soal potensi wisata yang bisa dijual.

Malam itu, obrolan dilakukan di kafe miliknya yang baru dalam taraf penyelesaian. Kafe ini seakan menyatu dengan keindahan panorama sawah berbentuk unik di belakangnya.

“Kafe ini dibangun menggunakan dana pribadi di atas lahan milik keluarga. Ketika bicara pariwisata maka masyarakat ingin melihat hasil nyata, bentuknya seperti apa. Kita harus memberi contoh nyata dahulu, bukan sekedar bicara visi misi,” kata Ferdinandus Watu, Kepala Desa Detusoko Barat saat bersua Mongabay Indonesia, Kamis (15/1/2021).

baca : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata  Terbaik Nasional 

 

Kafe Lepa Lio, kafe yang dibangun dari bahan alam yang menyajikan aneka makanan dan minuman tradisonal dari hasil pertanian organik warga Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pondok Berbahan Alam

Berada persis di sebelah utara jalan raya Trans Flores Ende-Maumere km 33, menjadikan Kafe Lepa Lio mudah terlihat pelintas jalan. Lepa berasal dari Bahasa Lio yang artinya pondok, tempat beristirahat. Sementara Lio sendiri merupakan salah satu etnis atau suku besar di Pulau Flores.

Kafe Lepa Lio dibangun di tebing persis di atas areal persawahan setinggi ± 4 meter ditopang 9 tiang kayu Ampupu (Eucalyptus urophylla). Dindingnya terbuat dari anyaman bambu (Gedhek) serta potongan Bambu Kuning (Bambusa vulgaris striata) disusun berdiri.

Tiang dan rangka atap menggunakan Bambu Aur (Bambusa vulgaris). Atap dibuat dari anyaman daun Pohon Tuak atau Lontar sementara lantainya berbahan kayu. Untuk menyambung dan mengikat bambu digunakan ijuk sehingga praktis tidak ada penggunaan paku berbahan besi.

“Kafe ini menjadi semacam rest area dan one stop sevice informasi berbagai potensi wisata yang ada di desa dengan produk unggulannya,” ungkap Nando sapaan karibnya.

Menurut kepala desa inovatif ini, kafe ini ingin menyajikan berbagai hal yang bisa orang nikmati ketika berada di desa. Apalagi kata dia, letaknya di jalur jalan Trans Flores yang ramai dilintasi kendaraan.

Selain itu sebutnya, sebagai sebuah desa penyangga kawasan Taman Nasional Kelimutu dengan destinasi wisata favorit Danau Kelimutu, Desa Detusoko Barat harus menangkap peluang kunjungan wisatawan tersebut.

Menurutnya, wisatawan sering mengabadikan areal persawahan di belakang kafenya karena dianggap merupakan salah satu spot foto menarik dan unik. Ia katakan, konsep membangun kafe yakni ingin mengangkat kearifian lokal Etnis Lio yang dikenal sebagai suku pewaris pertanian tradisional.

“Kita ingin mengangkat budaya lokal Lio dalam hubungan dengan kearifan lokal sehingga menu yang disajikan juga merupakan makanan lokal. Tempat ini semacam gerbang informasi produk lokal desa dipamerkan,” ungkapnya.

baca juga : Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?

 

Anak-anak muda Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores, NTT sedang membajak sawah dan menanam padi di areal persawahan milik keluarga. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Nando mengaku  tidak hanya untuk produk Desa Detusoko Barat saja tetapi untuk desa-desa penyangga lainnya di kawasan TN Kelimutu baik di Kecamatan Detusoko maupun kecamatan lainnya.

“Ini aset keluarga, semacam usaha keluarga besar dan berada di bawah pengelolaan Komunitas Remaja Mandiri Community (RMC). Penghasilannya 5 persen masuk ke kas Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),” ungkapnya.

 

Keindahan Sawah

Mentari baru merangkak perlahan menyembul di balik awan. Hamparan persawahan di Desa Detusoko Barat pagi itu terlihat bak garis-garis tak beraturan. Ibarat lukisan, potongan garis ini membentuk sebuah wajah lukisan yang terlihat indah.

Jalan negara Trans Flores membelah dua sisi areal persawahan dengan motif berbeda. Sebelah selatan merupakan sawah bertingkat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih landai. Sisi utara, hamparan sawahnya lebih luas dengan ukuran bervariasi.

Dari bagian atas jalan, hamparan sawah terlihat unik bak garis. Ada yang memanjang, mengecil di bagian tengah bahkan ada yang berhimpitan dan menyisakan sedikit ruang tanam.

Saat berbincang bersama Mongabay Indonesia, Aloysius Lamba, warga Dusun Pemonago, Desa Detusoko Barat mengakui bentuk sawah yang unik dengan luasnya yang tidak seragam ini ada sejak dahulu.

Aloysius bertutur, sawah-sawah tersebut merupakan warisan dari generasi ke generasi. Banyak sawah terlihat sedang digenangi air dan siap untuk ditanam. Sedikit saja yang baru ditanami padi.

Diakuinya, padi yang ditanam berjenis Ciherang bantuan pemerintah dan ada yang menggunakan jenis Bengawan hingga bibit lokal. Setahun bisa dua kali panen. Saat musim kemarau, para petani menanam sayuran

“Air untuk irigasi berasal dari mata air Ae Rama dekat kampung. Tapi mata air utama ada di Lowo Melo yang dipakai untuk mengairi  sawah di Desa Detusoko Barat, Wolofeo dan Sipijena. Padi setahun bisa dua kali panen,” tuturnya.

baca juga : Inilah Sepeda Air COVID-62 Ramah Lingkungan Produksi dari Flores Timur

 

Kali Loworia di Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT yang membelah areal persawahan Kampung Woloone dan Bhonde yang dihubungkan dengan jembatan gantung. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Aloysius mengakui hasil panen padi hanya untuk dikonsumsi sendiri saja, tidak untuk dijual karena kebanyakan keluarga hanya memiliki sawah dengan luas terbatas.

Guna menambah penghasilan ucapnya, para petani menanam sayuran dan mengandalkan hasil dari kebun seperti kopi dan kakao. Biasanya di bulan Juli atau Agustus sebagian besar petani mulai menanam sayuran.

“Sistem gotong royong masih berlaku di desa ini terutama saat menanam dan memanen padi. Kalau pekerja kantoran waktunya terbatas sehingga sering mengupah pekerja dengan upah harian Rp70 ribu per orang,” ungkapnya.

Kali Loworia membelah areal persawahan di wilayah dataran rendah. Jembatan gantung Loworia terlihat baru beroperasi menghubungan Kampung Woloone dan sawah di Bhonde.

Aloysius katakan, saat musim hujan kali Loworia sering banjir sehingga para petani yang memiliki lahan di Bhonde tidak bisa menyeberangi kali sehingga baru tahun 2020 dibangun jembatan gantung.

“Banyak wisatawan asing yang sering berhenti mengabadikan keindahan areal persawahan di wilayah kami. Kehadiran kafe juga bisa mejadi magnet bagi wisatawan untuk mampir melihat keindahan sawah di tempat ini,” ucapnya.

baca juga : Menikmati Koja Doi, Desa Peraih Sustainable Tourism. Apa Keunikannya?

 

Pemandangan areal persawahan di bagian barat kafe Lepa Lio di Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Menuju Desa Wisata

Pembentukan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo dan penatapan Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi wisata super premium tentunya akan berdampak terhadap pengembangan pariwisata di Pulau Flores.

Hal ini diyakini betul oleh Nando. Menurutnya, kegiatan memanfaatkan kunjungan wisatawan ke desanya yang sempat dilakoninya bersama komunitasnya berdampak  pada peningkatan ekonomi dan penambahan tenaga kerja.

Mendirikan kafe dikatakannya sebagai pemicu untuk mempersiapkan desanya menjadi desa wisata. Menurutnya, orang bisa mengetahui produk kita tentu mereka harus tahu tempatnya dimana.

“Kafe ini menjadi pemicu sebab di kampung orang melihat kita sudah buat apa. Kita bicara tentang pariwisata, ini kan merupakan dunia baru bagi warga di desa ini yang sebagian besarnya petani,” ucapnya.

Untuk mengarah ke desa wisata kata Nando masyarakat membutuhkan contoh nyata. Konsep wisata yang ditawarkan harus diwujudkan sehingga kafe dijadikan semacam transformasi pengetahuan dan pengalaman.

Ia katakan kafe ini sebagai salah satu prototipe wisata. Dirinya mengaku harus mulai dalam keluarga dahulu, dalam komunitas baru nantinya berintegrasi dengan sistem yang ada di desa.

Ditegaskannya, di kampung  ketika kita bicara advokasi  maka orang bertanya anda sudah berbuat apa. Untuk itu, katanya, kita harus melakukan sesuatu yang nyata, biarkan karya yang bicara.

“Daya tangkap dan daya serap masyarakat desa beragam dan butuh proses merubah cara pandang masyarakat soal pariwisata. Kalau masih berkutat soal diskusi, seminar, sosialisasi maka masih butuh proses panjang sebab yang diinginkan masyarakat bentuk riilnya seperti apa,” tegasnya.

Ketika ditanya kenapa memilih kafe, Nando menimpali, pendirian kafe dilakukan menangkap peluang Flores sebagai salah satu destinasi wisata. Dirinya ingin mengangkat potensi wisata yang ada di desa dan guna mendukung ke arah sana butuh sumber informasi yang ada di desa.

“Ini kafe harus benar-benar menampilkan wajah tentang desa. Makanya semua bahannya harus alami termasuk menunya pun berasal dari pangan lokal seperti beras lokal, sorgum, jewawut termasuk kopi dan teh yang disuguhkan berasal dari petani di desa ini dan semuanya organik,” pungkasnya.

 

Exit mobile version