Mongabay.co.id

Atlas Burung Indonesia, Buah Keresahan Melihat Nasib Burung di Alam

urung Pleci diamankan Gakkum KLHK Wilayah Sumatera saat akan mau diseludupkan dari Aceh ke Sumut (Ayat S Karokaro)-

Burung Pleci diamankan Gakkum KLHK Wilayah Sumatera saat akan mau diseludupkan dari Aceh ke Sumut. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Burung diburu di alam, dijual untuk burung kicau. ABI menjadi buku advokasi burung di alam,” kata Swiss Winnasis Bagus Prabowo, pimpinan proyek Atlas Burung Indonesia (ABI), baru-baru ini.

Buku Atlas Burung Indonesia rilis pada 16 Desember 2020. Buku berisi 713 spesies dari total 1.794 spesies burung di Indonesia, setebal 616 halaman dan berat 1,4 kilogram.

Swiss menceritakan awal mulai sampai akhirnya ABI jadi. Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) ketiga di Cangar, Kota Batu, Jawa Timur pada 2013 jadi tonggak sejarah buku ABI ini.

Saat itu, PPBI sepakat bersama-sama menyusun ABI. Isu perburuan dan populasi sejumlah jenis burung hilang di alam makin menguat. Untuk itu, katanya, menurut pandangan mereka perlu upaya advokasi ragam burung di nusantara.

Bahkan terjadi introduksi burung di alam yang bukan habitat asli. Burung peliharaan, katanya, lepas dan jadi invasif.

Swiss sempat menulis kegundahan ini di media sosial 8 September 2018. Salah satu keresahan, kata Swiss, lantaran revisi Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 20/2018. Dia heran kebijakan berubah tak sampai tiga bulan.

Kucica hutan (Copsychus malabaricus), Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), dan jalak suren (Gracupica contra) tak masuk daftar satwa dilindungi. Padahal, katanya, ketiga jenis burung ini nyaris tidak terlihat di alam liar.

Swiss menyebut, terjadi perburuan besar-besaran burung kacamata atau pleci (Zosterops japonicus) di alam hingga populasi merosot tajam. Burung kacamata, katanya, sering teramati dalam satu kelompok terdiri atas ratusan ekor. “Pleci sangat parah, ini burung umum dan mudah ditemukan. Kurang dari lima tahun sulit ditemukan di alam. Mengerikan.”

Selain itu, burung rangkong gading (Rhinoplax vigil) populasi juga terjun bebas dalam tempo tiga tahun. Rangkong gading diambil tanduk untuk ukiran karena padat dan berkualitas.

Perputaran uang dalam bisnis perdagangan burung ini, katanya, juga tinggi, meliputi usaha sangkar, produsen vitamin, joki atau pelatih untuk lomba burung berkicau.

Bicara konservasi, katanya, bukan berarti memproteksi dengan memagari hutan. “Bisa ambil untuk dimanfaatkan, tapi keberlanjutan. Ambil secukupnya, sisakan agar beranak pinak dan tidak punah.”

 

Baca juga: Cetak Sejarah, Citizen Science Indonesia Terbutkan Atlas Burung

Buku Atlas Burung Indonesia berisi 713 spesies burung setebal 616 halaman diterbitkan Yayasan Burung Indonesia. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Lahir dari semangat

Demi konservasi burung di alam, para pengamat burung di Indonesia bergotong-royong mewujudkan ABI. Pembiayaan dan data burung di Indonesia, menjadi kendala utama tetapi bukan jadi alasan tak beraksi.

“Modalnya, pokoke maju. Tak usah menunggu bantuan. Dapat uang syukur kalau tidak, ya gak apa-apa.”

Sejak Desember 2019, sejumlah pengamat burung berkumpul di Batu. Mereka antara lain Imam Taufiqurrahman, Panji Gusti Akbar, dan Waskito Kukuh Wibowo, berkumpul di rumah Swiss Desa Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur.

Mereka bekerja di sudut ruangan Retrorika Coffee Bar and Resto, usaha yang dibangun Swiss selepas pensiun dini sebagai staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Baluran.

Imam Taufiqurrahman dari Yogyakarta berangkat ke Batu. Selama 12 bulan fokus mengolah dan menulis ABI. Dia bilang, terbantu data dipasok dari aplikasi Burungnesia yang ada sejak 2016.

Burungnesia merupakan aplikasi berbasis citizen science atau ilmu pengetahuan khalayak, penelitian yang dilakukan peneliti amatir.

 

Imam Taufiqurrahman bekerja sebagai peneliti, penulis dan editor buku Atlas Burung Indonesia. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Para pengamat dari pelosok negeri membagikan data hasil pengamatan di lapangan kepada publik. Tersedia ratusan data jenis burung dan sebaran secara digital. Namun, dia harus teliti dan berhati-hati bahkan harus memverifikasi dengan jurnal dan buku pendukung.

“Tantangan data banyak, tapi pengalaman setiap pengamat burung berbeda di lapangan. Harus diverifikasi, memastikan tak ada data ganda,” kata Imam.

Koordinat tak tepat, katanya, ditemukan karena sebagian pengamat memasukkan data dari rumah. Setiap hari selama dua bulan, dia verifikasi data. Menelurusi referensi, beragam referensi secara digital turut memudahkan pelacakan.

Selama dua bulan pertama, mereka berkutat dengan buku, jurnal dan data jenis burung dari seluruh Indonesia.

Sekitar 1.100 literatur mereka gunakan sebagai bahan menulis spesies burung, dan sebarannya. Termasuk jurnal tua dari peneliti burung luar negeri, yang dikumpulkan Imam sejak tiga tahun lalu. “Semua dikumpulkan. Saat pengerjaan tinggal buka saja.”

Indonesia negara ke empat dunia yang memiliki spesies burung terbesar di dunia, atau sekitar 1.794 spesies.

 

Rangkong gading yang terus diburu paruhnya meski burung ini dilindungi undang-undang. Yokyok Hadiprakarsa/Rangkong Indonesia

 

Dari Burungnesia, katanya, 150.000 basis data yang harus dicek satu persatu satu. Kalau informasi meragukan harus konfirmasi langsung ke individu yang mengamati melalui telepon dan surat elektronik.

Imam berpengalaman menulis burung. Pada 2019, dia meluncurkan buku “Burung Kepulauan Mentawai.” Buku ini lahir saat survei burung bersama Yayasan Suara Owa pada 2017-2018. Hasil survei, ditulis berisi 100-an halaman.

Panji sebelumnya juga terlibat dalam penyusunan Buku “Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2015.” Buku ini, hasil kompilasi data dari para pengamat burung. Berisi sebanyak 340 jenis burung di seputar Yogyakarta. Panji telibat penelitian di Yayasan Kutilang sejak 2011.

Dia bilang, mata kuliah zoologi jadi modal utama dalam penelitian. Apalagi, tak banyak pakar dan peneliti khusus burung di Indonesia. Panji kerap keluar masuk hutan untuk mengamati burung berkicau dan burung pantai.

 

Kerja ganda

Ilustrator ABI, Waskito Kukuh Wibowo awalnya diajak terlibat sebagai penulis. Saat menulis belum bisa dia kerjakan karena Imam dan Panji tengah verifikai data. Lantas, dia belajar membuat ilustrasi. “Terpaksa, dulu hanya membuat sketsa untuk pengamatan burung,” katanya.

Dia pun belajar membuat ilustrasi digital. Dia juga belajar ilustrasi melalui tutorial di Youtube, dan melihat Swiss sebagai ilustrastor utama. Dia juga menikmati setiap proses yang dijalani.

Tantangan ilustrasi dan menulis berbeda, katanya, tingkat kesulitan pengerjaan ilustrasi juga berbeda. Dia harus beradaptasi. Setiap hari, selama berbulan-bulan Kukuh berkutat dengan ilustrasi burung mulai dari kepala sampai ekor.

Panduan ilustrasi dari foto pengamat, namun kualitas foto beragam. Ada foto yang kualitas bagus, sebaliknya ada yang buruk. Kukuh yang aktif di birdpacker ini bekerja ganda. Mulai menjadi literatur, penulis, dan editor. Imam merangkap sebagai verifikator data, penulis dan editor. Panji menjadi penulis, editor dan mengolah data spasial. Sedangkan Swiss menjadi editor, penulis dan layouter.

Pramana Yuda, President Indonesia Ornithologist Union (IdOU) juga dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), menjadi penyunting atau reviewer teks deskripsi burung. Terutama burung terestrial atau darat.

“Informasi awal tentang kelimpahan burung juga tersedia,” katanya melalui aplikasi perpesanan.

Sedangkan pemodelan, memberi referensi penting bagi peneliti atau pengamat burung untuk meneliti, mengisi kekosongan informasi suatu spesies. Peta yang dihasilkan memberi panduan untuk penelitian selanjutnya. Buku ABI, katanya, merupakan perwujudan mimpi besar pengamat burung Indonesia.

 

Ruang kerja penulis Atlas Burung Indonesia di Retrorika Coffee Bar and Resto yang didirikan Swiss Winasis Bagus Prabowo.. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Agus Nurrofik, Ketua Serikat Bird Watcher Malang (Seriwang)  menilai, ABI merupakan karya besar. Setiap pengamat yang berkontribusi juga ada apresiasi. Termasuk ditulis nama pengamat dalam peta sebaran, dan di mana lokasi pengamatan. Karya besar untuk pengamat burung Indonesia terutama member Burungnesia dan penggerak peneliti khalayak.

“Pengamat burung merasa bangga ikut kemajuan citizen sciense Indonesia,” katanya.

Sebagai buku panduan pengamatan, Agus merekomendasikan para pengamat memiliki buku ABI lantaran cukup detail dan lengkap.

Selama ini, buku burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan karya Jhon Mac Kinnon, Karen Phillipps Bas van Balen, yang menjadi panduan pengamatan lapangan.

Pengamat juga perlu buku untuk panduan di lapangan guna mengetahui sebaran burung Indonesia dengan ABI jadi lebih mudah karena tertuang di atas peta.

Selain itu, juga sebaran habitat, ketinggian, jenis dan karakter masing-masing butung. Pengamat pun bisa memperkirakan kalau pengamatan di ketinggian tertentu menjadi habitat burung jenis apa.

Selain kelebihan, Agus melihat sejumlah kekurangan, antara lain ABI tidak dijelaskan eksplisit mengenai morfologi, dan perilaku. Tetaoi, katanya, data itu sudah melimpah tersedia di beragam website seperti birdlife, e-bird yang dikeluarkan cornell edu. Sebaran burung yang belum ada itulah, katanya, yang diisi Atlas Burung Indonesia.

Dia juga melihat keanehan lantaran di buku ABI ada sejumlah burung jenis baru di luar habitat, seperti pleci atau kacamata di Kalimantan.

“Apakah burung pleci atau kacamata diperdagangkan dan lepas di alam? Kemudian ada pengamat burung yang menyampaikan hasil pengamatan di alam.

“Apakah benar? Alami atau ada campur tangan manusia? Kita tak tahu,” katanya. Jadi, untuk akurasi pengamatan lapangan ini perlu penelitian lebih lanjut.

Alhamdulillah, respon publik bagus. Kita tak mencari untung. Dicetak 1.000 eksemplar.” Dia berharap, buku itu dibaca berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya . Harapannya, tak ada lagi kebijakan yang tak mendukung usaha konservasi.

 

 

*****

Burung pleci sitaan Devisi Penegakan Hukum KLHK pada 2020 di Sumatera Utara. Burung yang diambil dari alam ini jadi komoditas perdagangan burung kicau. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version