Mongabay.co.id

Mengapa Satwa Bersisik Ini Dinamakan Trenggiling?

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Trenggiling [Manis javanica] merupakan mamalia unik.

Pakan utama satwa bersisik ini adalah semut dan rayap. Namun, makanan kesukaannya adalah semut merah tanah [Myrmicaria sp].

Menariknya, makanan itu tidak dihancurkan di dalam mulut karena  trenggiling tidak mempunyai gigi. Tetapi, digiling dalam lambungnya dengan bantuan batu kerikil yang tertelan.

Meski demikian, trenggiling  dapat melepaskan kotoran yang ikut melekat pada  lidahnya ketika memakan semut. Proses penyaringan ini terjadi di kerongkongan. Cara ini tidak jauh berbeda dengan minum. Prosesnya begini, trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkan kembali dengan cepat.

Baca: Ingat! Trenggiling Itu Bukan Satwa Buruan

 

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kemampuan hebat ini didukung lidah trenggiling yang memang panjang. Penelitian Ratna Mustika Sari, Fakultas Kodokteran Hewan Institut Pertanian Bogor [2007], berjudul Kajian Morfologi Lidah Trenggiling [Manis javanica], menunjukkan hal tersebut. Ketika dijulurkan, lidah satwa ini dapat mencapai sepanjang 25 cm.

Trenggiling menggunakan indera penciumannya untuk mendapatkan semut atau  rayap. Setelah menemukan tempat yang diinginkan, ia menggali dengan cakar  kaki depannya hingga semut atau rayap keluar dari sarang. Selanjutnya, trenggiling mulai menangkap semut atau rayap tersebut dengan lidahnya yang  panjang dan lengket.

“Lidah trenggiling mempunyai bentuk panjang dan ketebalannya menipis ke arah apex. Penentuan batas-­batas pangkal [radix], badan [corpus] dan ujung [apex] lidah dilakukan berdasarkan perbedaan morfologi permukaan lidah, terutama perbedaan terhadap persebaran papilla,” tulis Ratna Mustika Sari.

Baca: Perburuan dan Perdagangan Ilegal Trenggiling Tidak Kenal Masa Pandemi

 

Trenggiling merupakan satwa bersisik yang aktif malam hari. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Asal nama

Nama trenggiling berasal dari Bahasa Melayu yakni pengguling atau guling yang  artinya menggulung atau melingkar seperti bola. Pola ini, menggulung tubuh, dilakukan sebagai bentuk pertahanan menghindari ancaman.

Sisiknya yang menjadi perisai berfungsi juga sebagai senjata bila dikibaskan ke predator atau makhluk lain yang mengganggunya. Selain itu, ia juga menyemprotkan cairan berbau busuk dari kelenjar analnya, untuk mengusir predator tersebut.

Trenggiling sebenarnya mempunyai rambut, tapi sangat sedikit. Selebihnya di sepanjang tubuh adalah sisik sampai ke ekor.

Pada trenggiling dewasa beratnya dapat mencapai 8-10 kilogram dan ada yang mencapai 12 kilogram. Panjang tubuh hewan ini dari kepala hingga ekor sekitar 79­-88 cm. Ukuran tubuh trenggiling jantan lebih panjang dan besar dibandingkan dengan betina. Satwa pemalu ini biasanya beraktivitas malam hari, sementara siangnya banyak dihabiskan untuk tidur di lubang atau celah pohon.

Tubuh trenggiling yang panjang ditunjang empat kaki yang pendek dan masing­-masing jarinya mempunyai cakar panjang dan melengkung.

Cakar kaki depan biasanya lebih panjang dari cakar kaki belakang. Cakar pada kaki depan berperan sangat penting  ketika  trenggiling menggali lubang semut atau rayap.

Terkait reproduksi, trenggiling muda mulai mencari lawan jenis sekitar umur satu tahun. Pada saat itu organ reproduksinya telah siap secara anatomis maupun  fungsinya. Setiap kelahiran anak trenggiling rata-­rata hanya satu hingga  dua ekor.

Baca: Riset: 26 Ribu Trenggiling Diselundupkan ke Tiongkok dalam Sepuluh Tahun

 

Trenggiling merupakan satwa pemakan serangga. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Viral di awal Pandemi

Bulan ini satu tahun lalu, trenggiling menjadi perbincangan di seluruh penjuru dunia karena pihak South China Agricultural University [SCAU] menyatakan trenggiling sebagai kemungkinan inang virus corona.

Pernyataan ini mendapat reaksi para ahli, salah satunya Profesor Andrew Cunningham, Wakil Direktur Sains, ZSL [Zoological Society of London]. Dia mengatakan dari bukti virologi yang ada hingga saat ini, trenggiling sebagai penyebab corona belum terbukti benar.

“Virus tersebut hampir pasti berasal dari spesies kelelawar. Namun, sangat mungkin virus itu melompat dari kelelawar ke trenggiling atau spesies lain, dan kemudian ke manusia,” terangnya dikutip dari Sciencemediacentre.org, Februari tahun lalu.

Di Indonesia, pernyataan SCAU juga menjadi sorotan. Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Biologi LIPI, Wirdateti, mengatakan sebenarnya riset yang dilakukan SCAU belum final. Alasannya, karena penelitian itu hanya mengambil sebagian genom yang ada, dan sampai saat ini masih diperdebatkan.

“Bisa jadi inang perantara virus corona yang ada pada manusia saat ini adalah satwa liar lain yang ditularkan kelelawar yang mengalami mutasi gen, misalnya musang atau hewan lainnya. Sehingga masih diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan kebenarannya,” jelasnya melalui laman resmi biologi.lipi.go.id.

Apalagi menurut Wirda, penelitian intensif terkait hal tersebut masih terbatas pada dua jenis trenggiling, dari delapan jenis yang ada di dunia.

Dua jenis trenggiling tersebut yaitu Manis javanica yang tersebar di Asia Tenggara dan Manis pentadactyla yang ada di wilayah Asia Tenggara dan China Selatan. Hasil penelitian tersebut menggunakan hasil sitaan trenggiling yang berasal dari Malaysia berjenis Manis javanica.

Di pasar basah di China, salah satunya Pasar Wuhan [sumber pertama penularan virus corona] memang daging trenggiling marak di perdagangan secara ilegal.

Wirda menjelaskan, di China hampir seluruh bagian tubuh trenggiling dimanfaatkan, dari mulai sisik, daging, darah, organ dalam, lidah dan kulit yang dipercaya dapat digunakan sebagai obat tradisional. Bahkan sisik trenggiling dijual dengan sangat mahal karena dipercaya dapat berfungsi sebagai obat bius, obat kanker, dan digunakan sebagai bahan baku narkoba.

“Dagingnya dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai sumber protein yang tinggi, obat kuat, dan obat sakit perut. Sedangkan darahnya digunakan untuk obat sakit kulit,” katanya.

Di China sebenarnya ada jenis trenggiling asli, yaitu Manis pentadactyla, namun kondisinya terancam. Berdasarkan data WWF, kebutuhan daging dan sisik trenggiling di China diperkirakan sekitar 100.000–135.000 kg per tahun.

Baca juga: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

 

Perburuan trenggiling untuk diambil sisiknya terus terjadi hingga saat ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Trenggiling tersebar di Asia dan Afrika. Empat jenis yang hidup di Asia adalah Manis crassicaudata [Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka], Manis culionensis [Filipina], Manis javanica [Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam], serta Manis pentadactyla [Bhutan, China, Nepal, dan Taiwan].

Di Afrika pun hidup empat jenis. Ada Manis tricuspis [Angola, Benin, Kamerun, Afrika Tengah, dan Kongo], Manis gigantea [Rwanda], Manis temminckii [Ethiopia, Kenya, Malawi, Mozambiq, Namibia, dan Afrika Selatan], juga Manis tetradactyla [Kongo, Gabon, Ghana, Liberia, dan Nigeria].

 

Anatomi trenggiling [Manis javanica], virtual dictionary. Sumber: artemiscrow.deviantart.com

 

Terancam punah

Di Indonesia, trenggiling [Manis javanica] berstatus dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam CITES [Convention on International Trade in Endangered] statusnya adalah Appendix 1 yang artinya tidak boleh diperjualbelikan melalui pengambilan langsung dari alam. Sementara, berdasarkan IUCN [International Union for Conservation of Nature], statusnya Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

Berdasarkan penelitian Lembaga Pendidikan Indonesia [LIPI], penyebab Manis javanica menuju ambang kepunahan karena berbagai tempat penyebaran habitatnya, misalnya di hutan hujan tropis Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, serta Lombok kian terancam alih fungsi hutan. Hal ini dilengkapi dengan tingginya tingkat perburuan.

Ancaman ini menyebabkan, tak jarang trenggiling hidup di kebun milik masyarakat atau di kebun sawit, meski tentunya ada di hutan sekunder, dan primer.

 

 

Exit mobile version