Mongabay.co.id

Berani Sukses Kelola Gurita Seperti Nelayan Wakatobi

 

 

Bagi Basir Abudia, berkunjung ke Wakatobi adalah pengalaman paling mengesankan seumur hidupnya. Ia bisa melihat langsung bagaimana masyarakat adat di Desa Darawa ketika menangkap gurita. Darawa adalah pulau kecil yang secara administratif berada di Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sedangkan Basir adalah nelayan gurita dari Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Pagi di pertengahan Januari 2021, Basir berada satu perahu bersama Lamuru, nelayan gurita di Desa Darawa. Ia menyaksikan dengan teliti bagaimana Lamuru menangkap gurita. Lamuru memakai alat tangkap menyerupai anak panah runcing dengan panjang sekira satu meter. Satunya lagi ujung kayu yang juga sudah runcing dari bahan mangrove. Alat tangkap yang terakhir itu bernama “puria” dan disebut sebagai warisan nenek moyang orang Darawa. Waktu penangkapan pun dilakukan ketika air laut mulai surut.

“Ternyata alat tangkap gurita mereka berbeda dengan kita,” kata Basir membandingkan.

Baca: Kedo-kedo dan Semangat Konservasi Masyarakat Suku Bajo di Wakatobi

 

La Ato, nelayan gurita Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, saat melakukan penangkapan gurita di wilayah adat mereka. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Di laut Desa Uwedikan, Basir dan nelayan gurita lainnya memiliki tiga alat tangkap gurita. Ada yang mereka sebut manis-manis, ­sebuah alat tangkap yang dibuat menyerupai bentuk gurita, lalu gara-gara, yaitu alat tangkap yang dibuat menyerupai kepiting karena kepiting adalah makanan gurita. Dua alat tangkap ini digunakan dengan metode memancing. Serta alat tangkap yang ketiga menggunakan ujung besi dan tombak seperti masyarakat di Darawa.

Basir tidak sendiri berkunjung ke Darawa. Ia bersama nelayan gurita Irham Summang dan juga nelayan perempuan Nurija Ap, serta seorang aparat pemerintah Desa Uwedikan, Arif Pampawa. Mereka mendatangi Darawa didampingi Perkumpulan Japesda sebagai bagian dari pertukaran komunitas yang digagas oleh Yayasan Pesisir Lestari. Di Indonesia, pengambilan gurita dilakukan langsung dari alam dan didominasi oleh nelayan kecil dan tradisional, tanpa pengelolaan yang baik.

Baca: Inilah Tantangan TNL Wakatobi dalam Pengelolaan Kawasan Lautnya

 

La Ato menunjukkan gurita berukuran sedang hasil tangkapannya. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Namun perlahan dan pasti, pengelolaan tangkapan gurita mulai diterapkan di Darawa. Mereka menerapkan model “buka tutup” kawasan sementara atau temporary closure, seperti halnya sasi yang dilakukan masyarakat adat di wilayah Maluku. Pendampingan dilakukan oleh Perkumpulan Forkani [Forum Kahedupa Toudani] Wakatobi sejak 2016 yang juga bermitra dengan Yayasan Pesisir Lestari. Pengelolaan wilayah tangkap gurita itu menjadi alasan nelayan dari Uwedikan seperti Basir berkunjung ke Darawa, untuk belajar langsung pengelolaan wilayah tangkap gurita yang sudah lebih awal dilakukan masyarakat Darawa.

Di Darawa pendekatan adat masih berlaku hingga saat ini. Wilayah tangkap gurita merupakan kawasan adat bernama Fulua Nto’oge yang dikelola secara bersama sejak nenek moyang mereka meskipun secara administratif negara, berada dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Baca: Abdul Halim: Putra Wakatobi Kini Mengabdi Untuk Perairan Nusantara

 

Gurita merupakan hasil tangkapan utama nelayan Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Nusi Mursiati dari Forkani bercerita bagaimana mereka melakukan pengorganisasian masyarakat adat Darawa hingga mengelola wilayah tangkap gurita dengan cara penutupan sementara selama tiga bulan. Mula-mula, mereka berdiskusi dengan pengepul di desa setelah itu melakukan profiling kondisi perikanan gurita; seperti jumlah nelayan, wilayah tangkap, kalender musim gurita, hingga alur pemasarannya.

Forkani lalu menjadikan pengepul sebagai salah satu pengumpul data yang bertugas mengukur gurita hasil tangkapan nelayan setiap hari. Sebut saja mulai dari mencatat jenis kelamin, mengukur panjang kepala gurita, beratnya, hingga lokasi tangkapan.

“Setelah itu kami melakukan umpan balik data kepada nelayan. Sebab data yang dikumpulkan selama ini adalah milik nelayan, mereka melihat sendiri bagaimana tren penangkapan gurita dan memutuskan apakah akan dikelola dengan baik, dengan cara penutupan sementara atau tidak,” jelas Nusi.

Setelah kesepakatan bersama semua nelayan yang dihadiri kepala desa hingga pimpinan adat, masyarakat Darawa memutuskan untuk menutup sementara kawasan Fulua Nto’oge. Sejumlah nelayan menjadi aktor dalam melakukan sosialisasi kepada nelayan yang ada di desa-desa tetangga mengenai kesepakatan penutupan sementara. Luas yang ditutup selama tiga bulan adalah 50,63 hektar dengan menggelar ritual adat.

“Pengawasan Fulua Nto’oge dilakukan secara bersama. Batas-batas kawasan ditandai pemasangan bendera,” ungkap Nusi.

Baca: Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Masyarakat adat Darawa melakukan pengelolaan wilayah tangkap gurita dengan model buka tutup kawasan sementara selama tiga bulan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Penutupan dilakukan dengan tujuan agar gurita bisa tumbuh dan berkembang. Sebab beratnya bisa bertambah dua kali lipat setiap bulan. Setelah tiga bulan berlalu, pembukaan Fulua Nto’oge dilakukan dengan ritual adat. Dari target 150 orang yang hadir, ternyata melebihi bahkan mencapai 500 orang. Para pembesar di Kabupaten Wakatobi ikut hadir menyaksikan masyarakat adat Darawa menangkap gurita.

“Penutupan sementara wilayah Fulua Nto’oge pertama kali dilakukan pada 2018. Tahun berikutnya 2019, pembukaan wilayah tangkap lokasi ini masuk kalender pariwisata, festival adat Barata Kahedupa Wakatobi,” cerita Nusi.

Di Darawa, nelayan gurita tidak hanya dikerjakan laki-laki, namun juga oleh nelayan perempuan. Salah satunya Mursani. Perempuan paruh baya ini ikut merasakan langsung dampak dari penutupan sementara. Gurita tangkapannya memiliki bobot 3-4 Kilogram. Bahkan pada saat pertama kali Fulua Nto’oge dibuka, gurita tangkapannya mencapai bobot 5 Kilogram.

“Kalau ditutup tiga bulan wilayah tangkap, gurita hasilnya besar-besar,” ujar Mursani dalam bahasa Kaledupa kepada nelayan dari Uwedikan.

Baca juga: Unik, Gurita akan Mati Setelah Kawin dengan Pasangannya

 

Gurita tangkapan nelayan Desa Darawa yang dikeringkan seperti ikan asin. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Gurita dan pandemi

Pagi saat matahari perlahan merangkak naik, La Ato mengayuh perahunya dengan tongkat terbuat dari bambu. Ia berdiri di atas haluan perahu kayu tanpa cadik. Matanya dengan awas memperhatikan lubang karang; sekiranya ada gurita bersembunyi, maka dengan cepat Ato akan mengeluarkan puria dan ujung besi lancip untuk menangkap satwa bertentakel delapan itu.

“Inilah wilayah tangkapan gurita yang ditutup selama tiga bulan,” kata Ato.

Pada saat penutupan sementara, katanya, biasanya mereka akan bertemu nelayan desa lain yang belum paham dan mengambil gurita di Fulua Nto’oge. Biasanya terjadi salah paham sesama mereka. Penyelesaiannya adalah dengan mendatangi secara personal, dan kadang dilakukan rapat pertemuan sesama nelayan.

“Intinya kami masyarakat yang jadi penggerak untuk menyampaikan ke nelayan di desa tetangga,” cerita Ato sambil mengayuh perahu.

 

Budidaya rumput menjadi salah satu mata pencaharian utama masyarakat adat Darawa selain sebagai nelayan gurita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sayangnya, hingga matahari mulai menyengat kulit dan air laut mulai surut, tak ada tanda-tanda gurita menampakkan diri. Tidak lama kemudian ia memutuskan untuk menepikan perahu, lalu berjalan ke sela karang mencari gurita. Langkah Ato begitu cepat hingga mulai tampak menjauh. Ia terlihat bergabung bersama para pencari gurita lain di antara hembusan angin laut dan sengatan matahari.

Sekira 40 menit lamanya, Ato kembali dengan tangan kiri yang sudah menenteng dua ekor gurita berukuran sedang. Namun belum sampai menuju perahu, langkahnya terhenti dan tiba-tiba matanya tertuju pada salah satu lubang karang. Ia begitu hapal tanda-tanda itu. Benar saja, seekor gurita sedang bersembunyi di balik karang. Dengan sigap Ato segera menusuk alat tangkapnya ke gurita dan menangkapnya.

“Kami nelayan gurita di sini sudah tahu lubang yang ada gurita atau tidak,” ujarnya sambil memperlihatkan gurita hasil tangkapan.

Di Desa Darawa sendiri, gurita selain dijual, juga dikonsumsi oleh masyarakatnya. Terutama pada masa pandemi corona, saat harga tidak menentu, maka gurita menjadi salah satu menu santapan. Jika tangkapan dirasa banyak, olahan gurita biasanya dikeringkan beberapa hari sebelum dimasak dengan cara dijemur, seperti ikan asin. Total hari itu, Ato menangkap tiga ekor gurita. Satu ekor dimasak langsung dan dua dijemur.

 

Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang mayoritas nelayannya pencari gurita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Berdampak pada rumput laut

Pada saat kondisi normal sebelum virus corona datang, ketika harga gurita sedang naik, nelayan di Desa Darawa merasakan dampak sangat positif. Bahkan pernah hanya dalam seminggu ada nelayan yang berhasil menangkap gurita dengan nilai ekonomi sebesar 7 juta Rupiah.

Meski demikian, penutupan sementara wilayah tangkap gurita tidak hanya menguntungkan nelayan gurita saja, tetapi juga berdampak positif kepada nelayan yang melakukan budidaya rumput laut.

“Di Desa Darawa, selain nelayan gurita, mayoritas warga juga membuat budidaya rumput laut,” ungkap Suhardin, pelaksana tugas Sekretaris Desa Darawa.

Dalam dua kali penutupan sementara wilayah tangkap, mereka melihat langsung kualitas budidaya rumput laut yang menjadi semakin baik, lebih subur, dan jarang rusak.

“Karena hasil rumput laut membaik, kami pernah berinisiatif untuk menutup sementara kawasan gurita secara mandiri tanpa bantuan pihak luar,” ujar Suhardin.

Hal itu membuat masyarakat sadar betapa pentingnya pengelolaan wilayah tangkap gurita, yang berdampak pada ekosistem terumbu karang dan juga rumput laut. Juga, bermanfaat pada peningkatan tangkapan ikan nelayan.

Pengelolaan wilayah tangkap gurita yang berdampak pada terjaganya ekosistem dan biota laut lainnya ini diceritakan kepada nelayan Uwedikan. Sementara nelayan Uwedikan juga ikut berbagi cerita kepada masyarakat Darawa tentang cara penangkapan mereka.

“Saya ikut berbagi cerita cara penangkapan gurita kepada nelayan Darawa, dan saya bahkan membuatkan mereka alat tangkap yang biasa kami gunakan di laut Uwedikan,” kata Basir Abudia.

Bagi Basir, kunjungan pembelajaran yang ia dan teman-teman nelayan dapatkan dari Darawa menjadi pengalaman sangat berharga. Belajar untuk sukses yang bakal diaplikasikan dalam mengelola wilayah tangkap gurita di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

 

 

Exit mobile version