Mongabay.co.id

Kala Tambang dan Pabrik Semen Bakal Masuk Manggarai Timur [1]

Perumahan warga di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang berada di dekat pantai utara laut Flores.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Perumahan warga di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang berada di dekat pantai utara laut Flores.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

 

 

 

Jalan beraspal dengan beberapa bagian berlubang membelah perbukitan hijau saat memasuki Desa Satar Punda Barat dan Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Januari lalu.

Wilayah desa ini berjarak sekitar satu kilometer sebelah timur Kota Reo, Ibukota Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Manggarai Timur dan Manggarai, hanya terpisah Kali Wae Pesi selebar 100 meter. Reo berbatasan langsung dengan Desa Satar Punda Barat, Manggarai Timur. Desa Satar Punda berada persis di timur Desa Satar Punda Barat.

Meski hanya selemparan batu, pembangunan pada kedua desa di Manggarai Timur ini jauh berbeda dengan Reo, yang masuk kabupaten induk.

Jalanan beraspal mulus sejak Kota Ruteng, ibukota Manggarai hanya berakhir di Reo. Semua fasilitas dan infrastruktur di Reo, tergolong lengkap.

Ada dermaga, kantor bank, toko hingga minimarket, pembangkit listrik milik PLN, SPBU serta depot terminal BBM untuk pasokan ke wilayah Manggarai dan Manggarai Timur.

“Kami kalau mau berbelanja berbagai keperluan hingga akses internet harus ke Reo terlebih dahulu. Listrik di desa kami saja baru beberapa bulan ini bisa kami nikmati dan pembangkit ada di Reo,” kata Chyko Budiman, warga Desa Satar Punda saat berbincang dengan Mongabay, Januari lalu.

 

Perbukitan di wilayah Desa Satar Punda Barat dan Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda,Kabupaten Manggarai Timur yang berbatasan dengan Reo,Ibukota Kecamatan Reok,Kabupaten Manggarai yang terpisah oleh Kali wae Pesi.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Rencana tambang dan pabrik semen

Desa Satar Punda, sejak 1980-an mulai memikat hati perusahaan tambang. Tercatat PT Aneka Tambang ,PT Arumbai Mangan Bekti hingga PT Istindo Mitra Perdana pernah beroperasi di wilayah ini.

Desa Satar Punda terdiri atas tiga dusun yakni, Dusun Wa Re’a dengan lima RT dan 286 keluarga atau 1.271 jiwa. Lalu, Dusun Watu Roga terdiri dua RT, 120 keluarga dan 521 jiwa. Kemudian Dusun Tana Neni ada dua RT, yakni Luwuk dan Lengko Lolok dengan 150 keluarga atau 611 jiwa. Total ada 556 keluarga di desa tambang ini dengan 2.403 jiwa.

Luas Desa Satar Punda 21.66 Km² atau 6,22 % Kecamatan Lamba Leda dan 0,86 % luas Kabupaten Manggarai Timur. Sekitar 97 % penduduk sebagai petani.

“Sebelum jadi kepala desa, saya ini petani. Masyarakat mayoritas sebagai petani dengan pendidikan paling banyak tamat SD dan SMP,” kata Fransiskus Hadilaus, Kepala Desa (Kades) Satar Punda, saat ditemui Mongabay Januari lalu.

Nama desa ini muncul ke permukaan tatkala ada investor ingin menambang batu gamping dan bikin pabrik semen. Pemerintah bersama investor sosialisasi di Kampung Luwuk, Dusun Tana Neni, Desa Satar Punda, Kamis (13/2/20).

Laus, sapaan akrab Kades bilang, sudah mengetahui rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di wilayah itu. Dia bilang, sebelumnya ada sosialisasi dari Pemkab Manggarai Timur soal rencana ini.

“Saya baru tahu dari masyarakat ternyata tambang batu gamping ada di Kampung Lengko Lolok, sementara pabrik semen di lokasi berbeda di Kampung Luwuk,” katanya.

Untuk pembangunan pabrik semen perlu luas lahan sekitar 120 hektar, tambang batu gamping 587 hektar.

Warga desa ini, katanya, tidak merasa asing dengan tambang karena sebelumnya ada tambang mangan. Soal pabrik, mereka tidak mengerti dan tak paham karena belum pernah ada.

Maksimus Rambung, warga Kampung Luwuk membenarkan rencana penambangan batu gamping dan pabrik semen di desanya. Dia peroleh informasi tambang batu gamping sekaligus pabrik semen akan dikelola dua perusahaan, yakni, PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) dan PT Semen Singa Merah (SSM).

SSM, anak usaha Hongshi Holding, satu perusahaan top Tiongkok dengan dana investasi Rp7 triliun. Dia dengar informasi kalau hasil survei perusahaan pada 2018, kandungan batu kapur di Manggarai Timur sekitar 500 juta ton.

“Kapasitas produksi pabrik semen 8 juta ton per tahun hingga butuh 62,5 tahun baru batu kapur itu habis,” katanya.

Mario Hideyuki, Manajer PT Semen Singa Merah sekaligus perwakilan PT.Istindo Mitra Manggarai, yang ditemui Mongabay di kantornya di Reo, Jumat (8/1/21) membenarkan rencana tambang batu gamping dan pabrik semen itu.

Meskipun begitu, katanya, belum bisa memberikan keterangan kepada media karena proses pengurusan izin sedang berjalan. Pertanyaan yang disampaikan pun tidak dia jawab.

“Mohon maaf, nanti ada saatnya baru kami akan berikan keterangan kepada media. Permintaan manajemen, sementara waktu kita belum bisa berikan keterangan dahulu.”

Kosim Susanto, perwakilan PT Semen Singa Merah, dikutip dari Pos Kupang saat sosialisasi di Luwuk, Kamis (13/2/20) mengakui akan membangun pabrik semen dan pelabuhan dengan kapasitas 100.000 ton.

“Pabrik ini membutuhkan lahan 120 hektar. Kami memohon izin dan pemahaman masyarakat tentang pembangunan pabrik semen ini,” katanya.

 

Baca juga : Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?


Uang muka lahan mulai cair

Laus bilang, hampir semua lahan sudah diserahkan oleh pemilik ke perusahaan. Masyarakat sudah mendapatkan uang muka ganti rugi Rp20 juta dengan dua kali pembayaran, masing-masing Rp10 juta.

Ada penambahan keluarga saat pembayaran ganti rugi. Data dari desa, Kampung Lengko Lolok ada 89 keluarga, di Luwuk ada 61 keluarga.

“Ada keluarga susulan, begitu ada pembagian dana dari perusahaan Rp20 juta, masyarakat yang tinggal di luar kampung kembali ke kampung karena memiliki tanah,” katanya.

Tahur Matur Gusmustamin, Tua Teno (pemangku adat urusan tanah adat dan ritual adat) Kampung Lengko Lolok, saat ditemui pun mengakui telah menerima ganti rugi. Tahur bilang, dari 89 keluarga, 87 sudah menerima, dua keluarga menolak.

“Yang diberikan perusahaan merupakan uang muka pembayaran tanah. Nanti setelah tanah diukur baru dibayar ganti ruginya,” katanya.

 

Pro dan kontra

Kampung Luwuk masuk wilayah Dusun Tana Neni bersama Kampung Lengko Lolok. Dari jalan trans utara Flores di batas Desa Satar Punda, perjalanan ke Kampung Luwuk serupa dengan Kampung Lengko Lolok.

Jalan berbatu sejauh sekitar lima km dengan beberapa bagian sudah pengerasan. Pembangunan jalan gunakan dana desa meski belum pengaspalan atau semenisasi.

Permukiman warga hanya beberapa meter dari bibir pantai berpasir putih. Saat air laut surut, deretan atol terlihat memanjang bak membentengi kampung ini.

 

Kawasan hutan bakau yang berada di sebelah barat areal persawahan di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Terjadi pro kontra atas rencana kehadiran perusahaan tambang batu gamping dan pabrik semen dalam masyarakat di Desa Satar Punda terutama di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk.

Penelusuran Mongabay di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk menemukan, dari 89 keluarga di Lengko Lolok ada dua keluarga menolak kehadiran tambang batu gamping. Di Kampung Luwuk, dari 61 keluarga, ada tujuh keluarga menolak tambang dan pabrik semen.

Maksi, warga Luwuk melihat pembangunan pabrik semen di Luwuk sebagai ancaman bagi warga. Dia bilang, kehadiran pabrik semen sangat berdampak terhadap masyarakat.

Di kampung, katanya, ada sekolah dan gereja dan jarak pabrik semen, tidak jauh dari pemukiman warga.

“Kami yang kontra dianggap kalah. Ini dianggap seperti pilkada karena jumlah yang banyak harus menang,” katanya.

Maksi memaparkan harga ganti rugi. Untuk sawah, katanya, dapat ganti rugi Rp16.000 per meter persegi, lahan kering Rp12.000, tanah bersertifikat Rp14.000. Pisang, katanya, dianggap rumput hingga tidak dapat ganti rugi, pohon jati dan jambu mete dihitung tetapi tetap tidak sesuai secara ekonomis.

Tanah yang akan dibeli perusahaan ini, lahan produktif dan warga akan direlokasi. Perusahaan, katanya, sudah membangun rumah contoh.

“Isunya katanya tidak ada relokasi, tapi perusahaan membangun rumah contoh di Serise dan masyarakat diundang untuk acara syukuran.”

Karolina Hinam, warga Luwuk mengatakan, akan tetap bertahan memegang prinsip menolak kehadiran pabrik semen di kampungnya. Dia bilang, tanah tidak ‘beranak’ (berkembang biak) tetapi manusia terus bertambah.

Dia berpikir, tanah untuk anak cucu. Kalau dia menjual tanah ke perusahaan walau akan dapat ganti rugi belum uang itu bisa membeli tanah lagi dan hidup lebih layak.

“Suami saya sebelum meninggal berpesan agar tanah jangan dijual dan harus diwariskan kepada anak cucu. Harga berapapun saya tidak mau jual,” katanya.

Isfridus Sota, warga Lengko Lolok tidak akan menjual lahan untuk tambang. Di kampungnya, hanya dia dan saudaranya yang menolak tambang.

Andai lahan mereka jual ke perusahaan tambang, katanya, bagaimana kehidupan anak cucu ke depan. Apalagi wilayah tambang, katanya, mengambil hampir seluruh Kampung Lengko Lolok.

“Dulu, saat sosialisasi tambang mangan dikatakan kehadiran tambang membawa kesejahteraan, kenyataan yang kami rasakan tidak terjadi hingga tambang berhenti beroperasi.”

Sedangkan Klemens Salbin, warga Lengko Lolok, yang setuju tambang. Dia bilang, perusahaan berjanji berikan ganti rugi tanah yang belum bersertifikat Rp12.000 per meter persegi. Yang sudah ada sertifikat Rp14.000 per meter persegi.

Tanaman jambu mete umur lima tahun ke atas Rp500.000, umur enam bulan Rp50.000 dan umur 1-3 tahun Rp250.000 per pohon.

“Tanaman jambu mete saya sekitar 300 pohon berumur di atas lima tahun. Saya setuju ada tambang karena saya ingin menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi bahkan ke luar negeri. Uangnya juga nanti saya pakai untuk usaha kecil-kecilan,” katanya.

Saat Mongabay ingin wawancara dengan warga pro kehadiran pabrik semen, mereka menolak. Beberapa warga dan tetua beralasan warga dari kelompok pro sudah sepakat tak memberikan pernyataan.

Yohanes Wensdei, warga Kampung Luwuk, dikutip dari nttpembaruan.com (4/7/20) mengakui warga pro pembangunan pabrik semen membuat kesepakatan dengan perusahaan atas kemauan mereka sendiri tanpa ada intimidasi.

“Tidak ada intimidasi. Ini hasil kemauan kami sendiri, murni hasil kesepakatan kami. Tujuan kami untuk kesejahteraan hidup kami ke depan, biar hidup kami ada perubahan.”

Agas Andreas, Bupati Manggarai Timur, ditemui Mongabay, Senin (11/1/21) bilang, bertugas mengamankan agar tak terjadi konflik di masyarakat. Dia membenarkan, kalau di Lengko Lolok ada dua keluarga kontra tambang dan di Luwuk ada tujuh keluarga juga menolak.

“Mereka ketemu saya. Sudah saya jelaskan. Masih ada pro dan kontra itu biasa. Masyarakat sebenarnya tidak ada kubu-kubuan kalau tidak ada orang yang masuk dari luar,” katanya.

Agas mengaku selalu mengajak masyarakat tak terpecah persaudaraan gara-gara masuk tambang. Dia berjanji mengajak masyarakat untuk berdamai.

 

 Baca juga: Gubernur NTT Didesak Batalkan Izin Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Areal persawahan di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Dia juga sudah meminta ke perusahaan harus ada dana pemberdayaan masyarakat. Dana ini, katanya, penting agar masyarakat jangan jadi penonton dan harus menikmati kehadiran tambang dan pabrik semen.

Dia juga minta perusahaan bangun jalan. Agas sebutkan, pendapatan daerah Manggarai Timur rata-rata setahun Rp50-Rp80 miliar dari pajak galian c dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

“Kalau semua pembayaran lahan sekitar 600 hektar sudah dibayar semua, pemda bisa dapat pemasukan sekitar Rp3 miliar. Tetapi efek lainnya yang saya lihat dampak ekonomi terhadap masyarakat sangat besar,” katanya.

Jusuf Adoe, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTT, kepada Mongabay,Senin (18/1/21) menegaskan, kalau ingin pembangunan daerah bisa berjalan maka harus mendukung investor yang mau menanamkan modal.

Jusuf katakan, bukan berarti ada pabrik semen semua orang bisa dapat uang karena harus bekerja dahulu baru dapat uang. Ketika ada pembanguan pabrik semen, katanya, masyarakat bisa bekerja dan ada pendapatan.

Heremias Dupa, Ketua DPRD Manggarai Timur, Senin (11/1/21) bilang, bicara investasi tentu berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, semisal pabrik memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Begitu juga rencana pembangunan daerah, macam RPJMD, salah satu indikator keberhasilan yakni pertumbuhan ekonomi.

“Investasi yang masuk ke daerah memang sektor pertambangan melalui pabrik semen, pabrik yang membutuhkan investasi besar. Ini investasi yang datang dari luar karena melihat potensi di daerah dan proses perizinan, kewenangan ada di provinsi dan pusat,” katanya.

Daerah, katanya, wajib ramah terhadap seluruh investor tetapi bukan berarti ramah mengabaikan regulasi. Untuk itu, kata Heremias, syarat-syarat sesuai regulasi harus dipenuhi investor yang mau masuk Manggarai Timur.

 

Hidup cukup dari pertanian

Karolina menyekolahkan anak-anaknya dari hasil bertani. Dia punya tujuh bidang sawah dan lahan kering untuk kebun.

Dia dan mendiang suami bukan pegawai negeri, bukan juga guru. Mereka hanyalah petani yang mengelola lahan warisan leluhur yang sudah memberikan kehidupan.

Karolina menanam padi dan jagung, untuk konsumsi keluarga. Dia juga tanam jambu mete dan jati putih. Selain itu, Karolina memelihara ternak seperti sapi, kambing, babi dan ayam serta menenun untuk menambah penghasilan.

“Saya tetap tidak menjual tanah. Pemerintah seharusnya mendukung peningkatan pertanian dan peternakan masyarakat, bukan mendukung tambang.”

Maksi mengatakan, Kampung Luwuk sejak berdiri pada 1949, masyarakat sudah terbiasa hidup dari pertanian dan terbukti berkecukupan. Banyak anak dari kampung ini bersekolah di Jakarta dari hasil pertanian.

“Kehadiran pabrik semen bagi kami tidak dibutuhkan karena masyarakat tidak makan semen. Masyarakat makan padi dan jagung,” katanya.

Hingga kini, dia juga belum mendapatkan informasi jelas soal pembangunan pabrik semen ini tetapi mendengar kalau akan dibangun di areal persawahan masyarakat termasuk sawah miliknya.

Dia mempertanyakan, kalau pabrik dibangun di areal persawahan terus bagaimana nasib tambak ikan maupun kebun pisang serta kelapa yang berada di dekatnya.

Kampung mereka, katanya masih menjaga kultur dan tatanan budaya. Ketika pabrik datang, tatanan budaya ini bakal hilang.

“Janji kesejahteraan yang dihembuskan apalah artinya kalau dikorbankan kultur budaya dan lingkungan yang sudah terjaga turun-temurun.”

“Daerah kami penghasil jagung dan sorgum, masyarakat juga memelihara ternak. Kita hidup berkecukupan dari pertanian dan peternakan.” (Bersambung)

 

Anak-anak Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur,NTT sedang bermain di pantai yang tak jauh dari pemukiman.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

 

******

Foto utama:  Perumahan warga di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang berada di dekat pantai utara laut Flores.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

*Tulisan ini merupakan liputan Fellowship Pasopati, kolaborasi Mongabay Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara.

 

Exit mobile version