Mongabay.co.id

Kala Tol Laut dan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Mulai Operasi

 

 

 

 

Pemerintah meresmikan layanan perdana tol laut trayek 19 (T-19) dan Pelabuhan Depapre pada 27 Januari lalu di Pelabuhan Depapre, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua. Peresmian layanan perdana ini ditandai melabuhnya Kapal Motor Logistik Nusantara II yang membawa 18 kontainer beras dari Merauke.

Hadir perwakilan Kementerian Perhubungan, Pemerintah Papua, DPR Papua, bupati dan DPRD Jayapura dan tokoh masyarakat adat. Tak sedikit warga di lokasi menyaksikan pertama kali kapal logistik ini berlabuh.

“Ini baru awal. Kita berharap kapal ini tidak hanya sekali sandar kemudian tidak akan muncul lagi. Ini karena toL laut, perjalanan dari Merauke ke Jayapura sekitar delapan hari dan ini terjadwal,” kata Muhammad Mussaad, Asisten II Bidang Kesejahteraan Setda Papua.

Dengan begitu, katanya, setiap delapan hari seharusnya ada kapal masuk dan ada pekerjaan rumah besar. “Kapal ini datang dengan muatan, kita berharap kembali juga ke Merauke dengan muatan.”

Buyung Lalana, Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Keamanan dan Kemaritiman menyatakan, tol laut bertujuan mempermudah distribusi logistik ke daerah-daerah terpencil, tertinggal, terluar, dan perbatasan.

Tol laut, katanya, juga bertujuan menjamin ketersediaan barang, mengurangi disparitas harga, mempermudah pengiriman bahan pokok penting, dan memuat kembali hasil industri daerah hingga ada keseimbangan perdagangan.

“Tol laut merupakan konektivitas laut yang efektif berupa angkutan laut yang berlayar rutin dan terjadwal dari wilayah barat ke timur dan sebaliknya.”

 

Baca juga: Kala Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Dimulai (Bagian 1)


Rute T-19 mulai dari Pelabuhan Merauke menuju Pelabuhan Kokas (Fakfak), lalu Pelabuhan Sorong. Keduanya, di Papua Barat. Dari Pelabuhan Sorong, lalu ke Pelabuhan Korindo di Kabupaten Supiori, berakhir di  Depapre. Kapal Logistik Nusantara II akan melayani rute ini.

Pelabuhan Depapre sudah terbangun sejak 2009. Meski sudah resmi, tampak belum semua selesai. Tampak hanya jalan masuk dermaga dan dermaga yang siap pakai, gedung-gedung masih tahap pembangungan.

Tris Kuntadi, Staf Ahli Kementerian Perhubungan menyatakan, pembangunan satu demi satu bersamaan dengan mulai beroperasinya pelabuhan ini.

KM logisitik Nusantara II ini subsidi pemerintah dan akan berlabuh rutin sekitar dua atau tiga kali sebulan di Pelabuhan Depapre. Kapal ini, katanya, memiliki kapasitas 149 kontainer.

Untuk itu, katanya, perlu kerjasama banyak pihak terutama pemerintah daerah dalam menyediakan produk-produk yang bisa dibawa pergi oleh kapal ini.

“Kami menyediakan kapal, pihak lain menyediakan barang yang harus diangkut. Kerjasama Menteri Perhubungan, Papua dan Jayapura, Bulog, Pelni tidak bisa dianggap remeh. Ini kerja berat, kerja yang harus tuntas.”

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Papua masih ditopang penuh sektor pertambangan terutama pertambangan PT. Freeport Indonesia. Meski pertumbuhan tinggi, data pemerintah Papua menyatakan, kontribusi untuk masyarakat hanya 1,045%. Harapannya ke depan ada peningkatan sektor perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Saat peresmian, baru PT. PDAM Jayapura yang memanfaatkan jasa kapal ini dengan memuat satu kontainer air minum kemasan. Pemerintah Jayapura berencana mengirim kayu kurang 20 kontainer dan saat ini masih menyelesaikan urusan administrasi.

 

Bupati Jayapura bersama Tokoh adat, Asisten II Setda Papua dan perwakilan Kementerian Perhubungan berfoto bersama usai peresmiab. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Selain masih kurangnya produk, jalan penghubung ke Pelabuhan Depapre masih jadi pekerjaan rumah pemerintah. Status jalan ini adalah jalan provinsi. Sejak lama, proyek jalan terbengkalai. Kondisi ini, katanya, menyulitkan kendaraan terutama ukuran besar menuju Pelabuhan Depapre.

Mathius Awoitauw, Bupati Jayapura menyatakan, hampir seluruh ruas jalan provinsi di wilayahnya tak terurus. Dia sudah mengirim surat ke Gubernur Papua, tembusan ke KPUPR dan KSP, DPR agar jalan-jalan ini dialihkan jadi jalan nasional, termasuk Depapre, Demta, Lere Tengon, dan lingkar Selatan Danau Sentani.

Kebijakan ini, katanya, harusnya tidak sulit karena sudah ada Instruksi Presiden No 9/2020 kepada kementerian dan lembaga untuk percepatan pembagunan Papua dan Papua Barat.

“Ada kewenangan-kewenangn provinsi dan kabuapten tetapi ada instruksi presiden. Berarti dia bisa lebih dari itu. Tidak perlu ada kekakuan. KPUPR, tidak boleh diam karena ada instruksi presiden.”

Hingga kini, belum ada jawaban dari KPUPR terkait permintaan bupati ini.

Siapa pengelola pelabuhan ini juga masih akan melewati pembicaraan panjang di antara pemerintah daerah dan lembaga ini?

Tris bilang, saat ini pelabuhan ada di bawah otoritas Kantor Kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan. Nantinya, diserahkan kepada Unit Pengelolan Badan Usaha Pelabuhan, entah BUMD atau BUMN.

“Kita tawarkan nanti siapa yang mampu mengelola dengan bagus.”

 

Baca juga: Pemilik Ulayat Pertanyakan Kejelasan Perjanjian Bagi Hasil Pelabuhan Depapre (Bagian 2)

 

Bupati bilang, pelabuhan ini akan dikelola Perusahaan Daerah Baniyau, BUMD Jayapura.

“Di bawah perusahaan daerah akan ada perusahaan khusus mengelola pelabuhan. Itu dikelola anak-anak asli sendiri.”

Pihak-pihak lain yang ingin ikut terlibat mengelola melalui mekanisme kerjasama dengan BUMD. Awoitauw bilang, pembukaan lapangan kerja setelah pelabuhan beroperasi seluruhnya akan menerima tenaga kerja dari wilayah ini.

“Jangan bilang ini tidak siap, tidak mampu. Latih mereka supaya kerjasama dengan pemerintah, kita latih siap mereka, bisa dipakai. Tidak masalah. Bisa.”

Teluk Depapre, tepat di bawah Kaki Gunung Cyclop. Di sepanjang pesisir teluk ini hidup Suku Tepra, terdiri dari banyak marga dan tersebar pada sekitar 24 kampung.

Terumbu karang di wilayah ini sudah cukup dikenal dan tempat hidup beragam jenis ikan. Penelitian Matias Dimara dkk, Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA, Universitas Cenderawasih pada 2017 menyebutkan, sekitar 69 jenis ikan karang di lokasi penelitan mereka di Teluk Depapre.

Masyarakat memiliki tradisi Tiaitiki, suatu kearifan lokal untuk konservasi ikan dan hasil laut lain.

Pelabuhan beroperasi akan berpengaruh kepada kondisi terumbu karang terutama di zona alur dan kawasan pelabuhan.

 

Ancaman kerusakan?

Jan Jap Ormuseray, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua, mengatakan, kerusakan terumbu karang setelah pelabuhan beroperasi tak bisa dihindari. Hal itu, katanya, demi kemajuan wilayah dan peningkatan pendapatan daerah.

“Kita tidak bisa hindari, terumbu-terumbu karang akan rusak. Itu pasti tetapi kita terima itu sebagai konsekuensi lain dari pembangunan.”

David Edwar Danya Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Tepra meminta, pemerintah memastikan dan memperhatikan dengan baik analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pelabuhan ini.

Kondisi ini, katanya, guna mencegah kerusakan karena masyarakat hidup dan bergantung dari kondisi alam.

Soal status lahan, katanya, sudah sepakat tidak melepaskan lahan tetapi pakai sistem kontrak meski belum ada dalam perjanjian tertulis.

“Lahan kita tidak akan jual. Kalau sistem kontrak itu bisa jalan. Ini masih dalam pembicaraan belum ada perjanjian. Kontrak silakan jalan, siapa saja boleh datang maupu bicara tentang bisnis apa di sini, areal mana yang kamu pakai. Tapi kalau dijual, kita masyarakat adat tidak setuju sama sekali.”

Tol laut Merauke-Kokas (Fakfak)-Sorong-Korido (Supiori)-Depapre merupakan satu dari tiga tol laut di Papua. Dua yang lain di rute Surabaya-Merauke, dan Surabaya-Nabire.

 

 

 

*****

Foto utama: Truk antri di jalan masuk Pelabuhan  Depapre, siap mengangkut beras dari Merauke. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version