Mongabay.co.id

Philip Jacobson, Editor Mongabay Terima Penghargaan Jurnalisme

 

 

 

 

Editor Mongabay, Philip Jacobson, menerima penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam kerja-kerja jurnalisme. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Pantau akhir Januari lalu. Jacobson antara lain berperan dalam berbagai kolaborasi Mongabay dengan The Gecko Project untuk berbagai investigasi korupsi yang berhubungan dengan industri ekstraktif di Indonesia.

“Kami di Mongabay sangat senang dengan penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian Jacobson dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau. Laporan Jacobson tentang masalah-masalah mestinya jadi perhatian masyarakat Indonesia jadi teladan dari visi misi penghargaan ini,” kata Rhett A. Butler, pendiri dan CEO Mongabay.

Karena pekerjaannya, Jacobson pernah ditahan di Palangka Raya selama 45 hari dengan tuduhan penyalahgunaan visa.

“Jacobson berani mengambil keputusan pindah ke Jakarta, belajar bahasa Indonesia, lantas meliput, belakangan menyunting, berbagai berita lingkungan hidup termasuk dirusaknya ratusan ribu hektar hutan di Indonesia,” kata Alexander Mering, salah satu juri yang ditunjuk Yayasan Pantau.

Yayasan Pantau memandang perjuangan Jacobson sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin mendorong keberanian dalam jurnalisme seiring tujuan Yayasan Pantau untuk meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia.

Setelah ditahan, dengan desakan berbagai pihak, Jacobson lantas bebas dan dideportasi, dilarang masuk ke Indonesia. Menurut Mering, Jacobson tanpa mengeluh, tetap menunjukkan keteguhan soal perlunya kerja ini dilanjutkan.

“Dia mendorong kita semua berjuang lebih keras melawan perampasan lahan atau hutan adat, baik oleh perusahaan perkebunan sawit maupun perusahaan tambang,” kata Mering, juga orang Dayak dari Kalimantan Barat ini.

Jacobson ikut mengerjakan beberapa proyek liputan kolaborasi Mongabay dan The Gecko Project, yang melibatkan beberapa reporter Mongabay di Indonesia maupun negara lain, seperti “Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan”, “Tangan-tangan Setan Bekerja, Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar,” “Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua.”

Pada 2018, Jacobson menulis, “Revealed: Paper giant’s ex-staff say it used their names for secret company in Borneo,” soal Asia Pulp & Paper memakai nama-nama karyawan mereka buat bikin perusahaan bayangan PT Muara Sungai Landak dan PT Cakrawala Persada Biomas, di Kalimantan.

Jacobson kelahiran Januari 1989 di Los Angeles, besar di Chicago. Dia kuliah di Northwestern University, dekat Chicago. Pada 2011, ketika lulus sarjana jurnalisme, dia memutuskan datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai copy editor harian Jakarta Globe.

Dari Indonesia, dia lantas bekerja sebagai reporter freelance buat sejumlah publikasi Asia. Pada 2015, Jacobson mulai bekerja untuk Mongabay.

 

Baca juga: Akhirnya, Philip Jacobson Bebas dari Tahanan

Aryo Nugroho dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya, editor Mongabay Philip Jacobson, dan Parlin Bayu Hutabarat dari Kantor Hukum Pakpahan Hutabarat, di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya pada 31 Januari 2019.

 

Sehari-hari Jacobson melakukan koordinasi dengan jurnalis Mongabay di Indonesia dan menyunting liputan mereka dalam bahasa Inggris. Liputan mereka termasuk hak masyarakat adat, kehutanan dan kelautan, bisnis pertanian, pertambangan, kebakaran hutan maupun asap dan lain-lain. Dia terkadang datang ke Indonesia buat koordinasi.

Pada 17 Desember 2019, ketika melihat acara dengar pendapat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di DPRD Palangka Raya, petugas imigrasi menahannya dengan tuduhan melanggar Undang-undang Imigrasi tahun 2011, masuk ke Indonesia tanpa “visa wartawan.” Saat itu Jacobson memakai “visa bisnis.”

Paspor ditahan, dia kemudian jadi tahanan kota, sampai diinterogasi pada awal Januari, lantas masuk tahanan. Penahanan mengundang protes dari berbagai kalangan, baik organisasi masyarakat adat, organisasi lingkungan hidup, kelompok wartawan maupun lembaga yang memperjuangkan kebebasan pers.

Undang-undang Imigrasi tahun 2011 dikritik karena menjadikan administrasi visa wartawan perkara pidana dengan hukuman penjara lima tahun. Ini pasal yang menghambat kebebasan pers di Indonesia. UU Imigrasi ini membuat Indonesia sebagai negara, yang sulit buat mendapatkan visa wartawan.

“Penghargaan ini juga menjadi wake-up call bagi pemerintah Indonesia untuk meriviu UU Imigrasi,” kata Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, juga pendiri Yayasan Pantau.

Andreas menjelaskan, ada clearing house dengan wakil dari 18 kementerian dan lembaga di Kementerian Luar Negeri untuk menentukan visa wartawan asing. Rapat mingguan clearing house ini berdasarkan musyawarah. Artinya, kata Andreas, wakil yang paling paranoid dalam rapat menentukan diterima atau ditolak sebuah lamaran visa wartawan.

Mereka termasuk Kementerian Agama, Sekretariat Negara (Biro Kerjasama Teknis Luar Negeri), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kepolisian Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan dua direktorat jenderal (Imigrasi dan Perdagangan Migran), Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Saat penahanan di Palangka Raya, Jacobson didampingi para aktivis lokal, termasuk dari Walhi, dan AMAN Kalimantan Tengah. Parlin Bayu Hutabarat dari Pakpahan Hutabarat Law Office dan Aryo Nugroho dari Lembaga Bantuan Hukum Palangkaraya dampingi Jacobson selama pemeriksaan.

Dimas Novian Hartono, Direktur Walhi Kalteng menilai kerja-kerja Jacobson, dan media yang fokus pada isu lingkungan membantu advokasi masyarakat dan lembaga yang sedang berjuang mempertahankan wilayah rakyat dari ancaman investasi.

“Jujur saja, tak semua pemberitaan bisa keluar di media nasional maupun internasional, atau lokal, jika berkaitan dengan investasi dan lingkungan,” katanya.

Namun kerja jurnalis seperti jacobson yang turun langsung ke lapangan dan menyebarluaskan informasi bermutu ke khalayak luas, bagi Walhi Kalteng menjadi jembatan bagi masyarakat yang mengharapkan ada kebijakan pro lingkungan dan masyarakat adat.

“Kalteng ini lumbung energi dan kerusakan lingkungan sangat tinggi. Ini perlu disuarakan. Banyak media yang mungkin setuju dengan kami, degan fakta lapangan yang kami sampaikan. Tapi mungkin ada keterbatasan, termasuk terbatasnya informasi dari pemerintah,” katanya.

Senada dengan Dimas, Ferdi Kurnianto, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalteng menilai, penting ada media dan jurnalis seperti Mongabay dan Jacobson yang berani membuka informasi kepada publik soal berbagai tindak ketidakadilan bagi lingkungan maupun masyarakat adat.

“Apalagi ketika tindak kejahatan itu menyangkut oknum penguasa dan oligarki di sini. Itu jarang terpublikasi,” katanya.

 

 

Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional menilai, kerja-kerja jurnalisme Jacobson di Kalimantan dan Papua, sangat berarti bagi lingkungan hidup, termasuk masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah dan hutan adat mereka.

“Dua pulau ini kita tahu merupakan wilayah yang kerusakan lingkungan hidup tinggi, seiring dengan ekspansi investasi terutama industri ekstraktif. Dia membantu memaparkan fakta di lapangan dan menyampaikan suara masyarakat adat yang jauh dari kita di perkotaan,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Kerja-kerja jurnalisme yang berhadapan dengan investasi skala besar, kata Alin, juga memiliki risiko besar, seperti kejadian yang pernah dialami Jacobson.

“Kerja-kerja jurnalisme seperti dilakukan Jacobson sangat berarti bagi penyelamatan lingkungan hidup, bagi masa depan HAM,” katanya.

Saat Jacobson ditahan, kedua orang tuanya di Amerika Serikat, Randy Jacobson dan Elizabeth Smith, minta perhatian dari pemerintah Amerika Serikat. Mongabay juga minta perhatian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat akan terhadap kesulitan Jacobson.

Pada 24 Januari 2020, Dutabesar Joseph R. Donovan Jr. menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta serta bicara soal perkara Jacobson.

Pada 31 Januari 2020, imigrasi Palangka Raya membebaskan Jacobson dan dideportasi dari Indonesia.

Dari New York, ketika sudah tiba di rumah ibunya, Jacobson menyatakan, akan terus bekerja untuk Mongabay, meliput Indonesia dan Asia-Pasifik. Lantas pandemi virus corona muncul.

Pada Juni 2020, dia bersama tim menyelesaikan laporan “The Consultant: Why did a palm oil conglomerate pay $22m to an unnamed ‘expert’ in Papua?kolaborasi dengan The Gecko Project, Korean Center for Investigative Journalism-Newstapa dan Al Jazeera. Ini soal dugaan suap oleh Korindo, sebuah perusahaan Korea Selatan, dalam merampas lahan milik orang asli Papua.

“Kerja advokasi untuk pemenuhan HAM dan lingkungan memerlukan banyak strategi. Jacobson dan kawan-kawan sangat inspiratif dan kerja keras dalam membantu mengembangkan strategi dan aksi advokasi ini, dengan mengungkap dan menyuarakan persoalan perizinan korporasi yang dilakukan dengan cara melanggar hukum, seperti korupsi dan melanggar hak masyarakat. Mereka mengungkap masalah lingkungan, deforestasi, dengan riset investigasi mendalam,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka.

Baginya, kerja jurnalisme seperti ini sangat membantu menyadarkan publik dan menekan pemerintah maupun pasar.

Ironisnya, Jacobson belum pernah datang ke Papua dan Papua Barat karena dua provinsi ini dibatasi untuk wartawan asing sejak 1960-an. Dia bekerja dengan beberapa wartawan Indonesia yang lakukan liputan di Papua.

Sebelumnya Jacobson juga dapat penghargaan soal liputan Indonesia dari Society of Environmental Journalists Awards dan Fetisov Journalism Awards. Ini membuktikan betapa clearing house, sensor dan aturan imigrasi, yang tidak relevan, seharusnya tak perlu membuat wartawan takut.

Mering mengatakan, penghargaan Pogau diberikan kepada setiap wartawan yang bekerja untuk liputan Indonesia tanpa pandang kewarganegaraan mereka atau identitas lain. “Kami hormat pada pergulatan dan kesulitan yang dihadapi Jacobson. Dia tak mundur, dia tak tunduk dalam tekanan, tak takut dengan jeruji penjara.”

 

Berbagai suara protes atas penahanan Philip Jacobson di sosial media Januari 2020.

 

Penghargaan Pogau

Nama Oktovianus Pogau, diambil dari nama seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir di Sugapa, kelahiran 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau.

Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. Tak ada satu pun aparat Indonesia diperiksa dan dihukum. Kekurangan liputan media terhadap berbagai pelanggaran terhadap orang asli Papua mendorong Pogau mendirikan Suara Papua.

Pogau juga dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Pogau juga menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga protes pembatasan pada wartawan Papua maupun yang gunakan pekerjaan wartawan untuk kegiatan mata-mata.

Jacobson kebetulan mengenal Oktovianus Pogau ketika mereka sama bekerja untuk Jakarta Globe. Mereka tak pernah bertemu langsung. Jacobson di Jakarta dan Pogau di Jayapura.

Juri dari penghargaan ini lima orang: Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Tabliod Jubi, Jayapura).

“Saya merasa sangat istimewa karena ini penghargaan yang penting. Saya berharap 50 tahun ke depan kita akan melihat 50 penerima penghargaan lainnya,” kata Jacobson.

Soal penahanan dan deportasi, dia memahami bagian dari risiko pekerjaan ini. Dia menekankan, risiko bagi jurnalis asing mungkin lebih kecil dibanding bahaya yang dihadapi jurnalis Indonesia dan aktivis NGO.

“Penahanan saya tak ada apa-apanya dibanding apa yang harus mereka hadapi,” katanya.

Bagi Jacobson, penghargaan ini juga dipersembahkan untuk jurnalis lokal, investigator, aktivis, pengkampanye dan sumber-sumber yang berkolaborasi dengannya serta semua tim kolaborasi di Mongabay.

Bagi Butler, penahanan Jacobson tahun lalu makin memperkuat tekad Mongabay untuk menyampaikan berita dan inspirasi dari garis depan alam di negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

“Pelaporan berita yang obyektif tentang masalah lingkungan kritis saat ini, lebih penting daripada sebelumnya. Karena dunia mencoba untuk pulih dari pandemi dan mencari cara untuk beralih dari pendekatan business as usual yang merusak,” katanya.

 

 

 

****

Foto utama:

Exit mobile version