Mongabay.co.id

Jerit Petani Rumput Laut Glacilaria di Bone, dari Harga Rendah hingga Kelangkaan Pupuk

 

Ambo Dalle terlihat resah. Setahun terakhir tambak rumput laut miliknya tak membuahkan hasil maksimal. Pertumbuhannya lambat sehingga tak banyak hasil yang bisa diperoleh. Ia bingung tak tahu sebab dan solusinya.

“Sudah ditebar banyak bibit namun tidak berkembang. Rumput lautnya tak berkembang otomatis tak ada panen, kenapa ya kira-kira?” katanya kepada Mongabay, Minggu (31/1/2021).

Ambo Dalle adalah petani rumput laut jenis glacilaria sp. di Desa Latonro, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia memiliki tambak rumput laut yang cukup luas, sekitar 9 hektar, yang tersebar di beberapa lokasi. Di masa jayanya ia bisa meraup hasil yang cukup besar. Namun kini harapannya tandas di tengah kondisi lahan yang bermasalah dan harga yang anjlok.

Rumput laut yang tak berkembang baik ini telah menjadi masalah utama sebagian besar petambak di Desa Latonro. Faktor geografis dan kondisi lahan mungkin salah satu sebab.

Desa Latonro sendiri berada di pesisir sungai Walennae yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone. Berada di daerah pertemuan antara air tawar dan air asin. Desa ini hanya bisa ditempuh menggunakan perahu mesin katinting dari ibukota kecamatan. Sekitar 30 menit lamanya. Tambak-tambak berada di kiri kanan sungai.

“Masalahnya kami di sini karena tak ada penyuluh perikanan untuk bertanya. Memang ada penyuluh namun sepertinya ia pilih kasih, hanya mendatangi orang-orang tertentu saja. Beberapa kali kami ingin bertemu namun selalu diabaikan,” katanya.

Pada akhirnya Ambo Dalle berpasrah saja pada keadaan. Untungnya tambak tersebut juga menghasilkan ikan bandeng dan kepiting, sehingga ada sumber penghasilan lain untuk menopang kehidupan sehari-hari.

baca : Beragam Permasalahan Rumput Laut dari Petani hingga Tata Niaga

 

Pemupukan dibutuhkan untuk meningkatkan hasil budi daya rumput laut, namun belakangan pupuk langka. Petani rumput laut merasa dibeda-bedakan dengan sektor pertanian lainnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Masalah lain yang dihadapi masyarakat Desa Latonro adalah ketersediaan pupuk. Kelangkaan pupuk sudah lama terjadi, padahal pupuk menjadi salah satu kebutuhan utama bagi pertumbuhan rumput laut. Tanpa pupuk produksi hanya bisa setengahnya.

“Kami ini seperti dianaktirikan dibanding sektor pertanian. Jangankan subsidi atau bantuan, untuk membeli pupuk saja susah diperoleh dan bahkan terkesan dipersulit. Padahal kalau mau bicara kontribusi, pertanian dan rumput laut ini hampir sama besarnya. Bicara risiko kami lebih besar dibanding sektor pertanian,” ujar Abu Bakar, Kepala Desa Latonro.

Kebutuhan pupuk sendiri umumnya pada bulan Juli – September di masa pengeringan tambak. Namun tanpa pupuk upaya pengeringan tidak dilakukan. Pupuk yang dibutuhkan adalah urea dan SP-36. Dalam setiap petak yang umumnya seluas 1-2 hektar dibutuhkan 1 sak pupuk urea dan setengah sak pupuk SP-36.

“Sekarang SP36 susah, sehingga harus cari pupuk lain sejenis. Kita biasa pakai Phonska, tapi harganya lebih mahal. Katanya sekarang sedang diusahakan pupuk organik dari dinas, cuma sampai sekarang belum ada sampai ke petani,” ujar Abu.

Menurut Abu, susahnya pupuk untuk pembudidaya rumput laut terkait aturan penjualan pupuk yang hanya mengakomodir anggota kelompok tani, sementara sebagian besar pembudidaya rumput laut belum memiliki kelompok. Pupuk juga umumnya hanya diberikan ke petani sawah.

 

Tantangan Harga dan Kualitas

Rumput laut glacilaria sp. atau masyarakat lokal menyebutnya sango-sango adalah komoditas utama Desa Latonro dalam 15 tahun terakhir. Dalam kondisi normal, produksi sebulan bisa mencapai 200 ton. Di masa emasnya, komoditas ini mampu menyejahterakan warga. Banyak warga yang kemudian naik haji, membangun rumah, menguliahkan anak, membeli mobil dan motor atau memperluas tambak dengan cara membeli atau menyewa dari warga lain.

Namun kini petani menghadapi masa sulit. Tidak hanya hasil panen yang kurang, petani juga dihadapkan pada situasi harga rumput laut yang rendah beberapa tahun terakhir. Kalau dulu pernah mencapai harga Rp7000 – Rp10.000/kg kering, kini harganya berkisar Rp3.800 – Rp.4000/kg kering. Itupun tergantung pada kualitas.

baca juga : Produksi Rumput Laut di Pusaran Pandemi COVID-19

 

Petani rumput laut glacilaria sp di Desa Latonro, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, Sulsel, yang masih bersemangat panen di tengah lesunya harga dan menurunnya hasil panen. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Sulaeman, pengusaha rumput laut dari Celebes Seaweed Group (CSG), yang selama ini banyak mendampingi petani, selain terkait situasi global, masalah kualitas juga menjadi salah satu faktor utama rendahnya harga.

“Pengusaha mau beri harga bagus kalau kualitas bagus, sementara petani mau kasih kualitas bagus kalau harga bagus. Ini kadang sulit ketemunya seperti ayam dan telur mana yang lebih dulu,” ujarnya.

Untuk mendapat kualitas yang bagus memang membutuhkan usaha yang lebih dan kedisiplinan petani, namun umumnya tergesa-gesa dalam panen. Antara petani pemilik dan pemanen kadang saling menyalahkan ketika kualitas panen buruk.

Rumput laut sendiri masuk ke Desa Latonro sejak 2005 silam ketika udang windu mengalami kemerosotan harga dan gagal panen akibat penyakit. Kondisi ini terjadi akibat budidaya yang tak terkontrol akibat kurangnya pengetahuan warga.

“Di sini banyak tambak yang rusak karena warga bertambak udang hanya ikut-ikutan, tidak tahu ilmunya. Kita tidak tahu kalau udang itu hanya bisa panen 2 kali setahun, kita malah panen 3-4 kali, setelah panen dikeringkan langsung ditebar lagi, ini yang merusak kualitas tambak,” ujar Sulaeman.

Kondisi ini membuat banyak petambak terlilit utang yang kemudian menjual atau mengontrakkan tambaknya, lalu merantau ke Kalimantan. Dalam kondisi inilah rumput laut masuk. Meski hasilnya tak sebanyak udang windu, namun budidaya rumput laut terbilang lebih mudah.

“Kita mulai uji coba rumput laut, ternyata hasilnya meski tak sebanyak udang windu namun tidak berisiko, karena kalau kita panen pertama 1 ton, maka panen selanjutnya masih bisa panen 3 ton bahkan bisa sampai 5 ton.”

Awalnya petani pada ragu, hanya satu-satu saja yang mau ujicoba. Setelah dilihat bagus baru berkembang. Dulu harga masih Rp350/kg, lalu naik Rp750, dan kemudian naik Rp1500. Setelah harga Rp1500 banyak petani yang mulai tertarik. Dua tahun kemudian, harga semakin membaik ke harga Rp2500 dan Rp3000. Tahun 2008 harga naik lagi menjadi Rp4000/kg. Puncak harga di tahun 2010 hingga 2014 harga mencapai Rp10.000/kg.

“Sayangnya, di tahun 2015 mulai turun sampai harga Rp3000. Setahun terakhir harga membaik ke angka Rp3500-Rp4000 per kg.”

baca juga : Rumput Laut, Sumber Penghidupan Masyarakat Sumba Timur

 

Masyarakat Desa Latonro, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, Sulsel, hidup di pesisir sungai Walennae yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone. Desa ini hanya bisa ditempuh menggunakan perahu katinting. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Sulaeman, budidaya rumput laut disenangi warga karena tergolong lebih mudah dibanding udang windu. Bibit tinggal disebar, dipupuk dan panen bisa 4-5 kali dalam setahun.

“Di dalam tambak juga bisa budidaya ikan bandeng dan kepiting, sehingga bisa memperoleh penghasilan tambahan.”

Ikan bandeng selain memberi nilai ekonomis juga dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut, karena bandeng memakan lumut-lumut yang menjadi penghambat pertumbuhan rumput laut. Hanya saja ikan bandeng tak bisa terlalu besar, karena justru menjadi hama bagi rumput laut.

Terkait lambannya pertumbuhan rumput laut, Sulaeman menduga karena faktor kondisi lahan yang memang telah 15 tahun dikelola namun jarang diperbaiki kondisinya. Perbaikan ini harus dilakukan pembongkaran tanah yang membutuhkan alat berat yang mahal serta waktu, sementara petani umumnya tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk memutus siklus produksi demi perbaikan tambak.

Faktor lokasi juga menentukan, dimana jika terjadi kesalahan dalam pemilihan lokasi budidaya juga akan menghambat produktivitas gracilaria.

“Karakteristik unik glacilaria adalah hanya bisa tumbuh di daerah payau, butuh air asin namun kalau terlalu asin juga tidak bagus bagi pertumbuhan glacilaria. Tak semua lokasi bagus untuk pertumbuhan rumput laut ini, makanya ada yang bagus ada yang tidak.”

 

Exit mobile version