Mongabay.co.id

Ketika Kolam Limbah Perusahaan Batubara Jebol Cemari Sungai Malinau

Warga mengumpulkan ikan-ikan mati di Sungai Malinau. Foto: dari Facebook Rosiena Kila, warga Malinau

 

 

 

 

Warga yang tinggal di sekitar Sungai Malinau, seperti di Desa Langap Sengayan, Malinau Selatan, terkejut karena ikan-ikan mengambang, mati, Senin, 8 Februari lalu. Beberapa warga mengambil foto sungai dengan air keruh, berwarna cokelat kental bahkan berlumpur. Ikan-ikan mati mereka kumpulkan di perahu sampan. Foto-foto ini pun menyebar di media sosial dan menuai banyak respon.

Rosiena Kila, warga Malinau membagikan foto-foto Sungai Malinau tercemar berikut ikan-ikan mati. Hampir 1.000-an akun ikut membagikan postingan Rosi ini.

“Kasihan masyarakat Malinau yang bergantung pada air dan hasil alam,” kata Rosi dalam postingan yang juga meminta tindakan dari aparat hukum dan pihak terkait.

Kasus ini bermula saat tanggul penampung limbah batubara diduga dari kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol pada Minggu (7/2/21), sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Limbah tambang itupun mengalir dan mencemari Sungai Malinau.

Buntut pencemaran itu, air sungai jadi keruh kecoklatan, ikan-ikan pun ditemukan mati mengambang. Ekosistem sungai makin rusak.

Kondisi ini setidaknya berdampak pada warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau. Yakni, Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban). Lalu, DAS Mentarang (Lidung Keminci dan Pulau Sapi) dan DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).

Bahkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Apa’ Mening menghentikan layanan air bersih sejak Senin, 8 Februari 2021 karena sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar ini.

“Kemarin air PDAM mati total dua hari,” kata Rosi.

Guna memenuhi keperluan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan. Kebetulan sedang musim penghujan.

“Saya harap pemerintah Kabupaten Malinau dan pihak berwajib segera memberikan teguran maupun sanksi dengan efek jera kepada perusahaan. Supaya ini tidak terulang lagi,” kata Rosi kala dihubungi Mongabay.

DPD perwakilan Kaltara pada 10 Februari lalu, sudah menyurati beberapa pihak terkait agar menyikapi kasus pencemaran sungai ini. Surat ini ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun Kepala Polri.

Dalam surat yang ditandatangani Hasan Basri, selaku perwakilan anggota DPD dari Kaltara ini menyebutkan, soal pencemaran sungai dugaan karena tanggul limbah KPUC jebol hingga menyebabkan air limbah mengalir ke sungai.

Surat DPD sebutkan soal pasokan bahan baku air PDAM terganggu. Bahan baku air PDAM dari aliran Sungai Sesayap, juga saling terhubung dengan Sungai Malinau. Ekosistem di sepanjang Sungai Malinau, katanya, juga terganggu.

Dia meminta pemerintah terutama KESDM, KLHK, Kapolri, melakukan langkah-langkah sesuai kewenangan mereka.

“Apabila terbukti, pencemaran lingkungan itu terjadi akibat dari korporasi tertentu, kami harap pemerintah tak ragu ambil sikap tegas, meminta pertanggungjawaban korporasi baik secara administrasi, perdata, maupun pidana,” sebut surat dari pimpinan Komisi II DPD ini.

 

Ikan mati di Sungai Malinau. Foto: dari Facebook Rosiena Kila, warga Malinau

 

Berulang

Kejadian tanggul limbah tambang batubara yang jebol dan mencemari Sungai Malinau pada 7 Februari lalu, sesungguhnya bukan yang pertama.

“Limbah batubara adalah masalah klasik di Malinau. Tapi ini yang terparah,” kata Rosi lagi.

Andry Lalingka dari Jatam Kaltara mengatakan, saat ini, ada lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan dengan konsesi berada pada hulu dan badan Sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, yakni, PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Muda Sukses (BMS), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltara mencatat, pencemaran Sungai Malinau oleh aktivitas tambang batubara di hulu dan sepanjang DAS Malinau sudah terjadi sejak 2010, 2011, 2012, 2017, dan pada 7 Februari lalu.

Pada 4 Juli 2017, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses (BMS) juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.

Kala itu, PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) jadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan No 492/Menkes/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Saat itu, PDAM juga mematikan pelayanan air bersih selama tiga hari, sejak 7-9 Juli 2017.

Atas kejadian itu, Dinas ESDM Kaltara mengeluarkan teguran dan penghentian sementara selama 60 hari empat perusahaan tambang batubara yang beroperasi di hulu di Malinau Selatan. Yakni, MA No. 540/558/2017, dan BM No 540/557/2017. Kemudian, KPUC No.540/555/2017 dan AMHK No 540/556/2017.

Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional, mengatakan, kala itu Jatam tak puas dengan sanksi kepada perusahaan-perusahaan itu dan mendesak cabut izin seluruh tambang batubara di DAS Malinau. Kalau hanya hukuman setop sementara, Jatam khawatir kejadian akan berulang. “Benar sekali terulang ini kan? Sekarang [tanggul limbah] KPUC [jebol].”

Pencemaran sungai ini, katanya, menyebabkan warga kehilangan hak atas akses air bersih. “Ekonomi bergantung pada sungai, transportasi air sungai. PDAM juga jadi sumber air,” kata Merah.

Kejadian seperti ini, kata Andry, terus berulang tanpa ada evaluasi, penegakan hukum kuat, dan pemulihan ekosistem sungai. “Patut diduga dilakukan sengaja oleh perusahaan tambang untuk mengurangi beban penampungan limbah tambang itu sendiri.”

KPUC yang diduga pemilik tanggul jebol hingga terjadi pencemaran berat Sungai Malinau, katanya, beroperasi di kawasan hutan dan ada dua izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pertama, IPPKH No SK 396/Menhut-II/2013, seluas 3.973,44 hektar. Kedua, No SK 157/Menhut- II/2009 seluas 502,59 hektar.

IPPKH itu, katanya, masing-masing terbit pada 2009 dan 2013 oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, lalu perpanjangan oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar.

Di Sungai Sesayap, yang juga terhubung dengan Sungai Malinau dan ikut tercemar juga ada habitat mamalia air langka,yakni, pesut. Keberadaan mamalia air ini makin terdesak kala habitat makin tercemar dan terkungkung pertambangan batubara.

 

***

Berdasarkan dokumen profil penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan yang didapat Jatam dari Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, terdapat sejumlah aktor penerima manfaat di balik KPUC.

Sejumlah nama itu, antara lain Soesanto [direktur], Gunawan Santoso [direktur utama], Lauw Kardono Lesmono [komisaris dan pemegang saham], dan Hendry Lesmana [pemegang saham]. Juga, Soegwanto [komisaris dan pemegang saham], Ery Santi [direktur], dan Juanda Lesmana [komisaris utama dan pemegang saham].

Nama terakhir, Juanda Lesmana, kata Merah, adalah orang berpengaruh di Kaltara. Dulu, dia pemain penting dalam industri perkayuan, perkapalan, dan perhotelan. Juanda adalah pemilik Hotel Bumi Kayan, Tarakan Plaza, dan Hotel Bumi Segah di Tanjung Redeb, Berau.

Merah mengatakan, Juanda dikenal akrab dengan pejabat-pejabat daerah, provinsi, hingga pusat. Bisnisnya melebar di bidang pertambangan (KPUC), perkebunan (PT Kayan Plantation), perkapalan (PT Kayan Marine Shipyard). Kini, KPP Group sebagai perusahaan terbesar di Kaltara.

Juanda Lesmana, katanya,  juga dikenal dekat dengan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltara terpilih pada Pilgub 2020, Zainal Paliwang dan Yansen Tipa Padan. Mereka akan dilantik 15 Februari 2021.

Jatam, kata Merah, ragu penegakan hukum seperti kasus tanggul KPUC jebol ini akan berjalan kalau melihat relasi ini.

Jadi, katanya, masalah pencemaran sungai ini, sekaligus tugas pertama dari rakyat kepada gubernur dan wakil di Kaltara. “Walaupun apatis melihat relasi politik ini, [mereka] malah harus menunjukkan, dibuktikan, bahwa gubernur tidak seperti itu.”

Kalau memang tak ada tindakan ke depan, kata Merah, berarti publik akan melihat dan terbukti relasi ini sudah menyandra pejabat di Kaltara.

 

Tindak tegas

Jatam, mendesak pemerintah dan aparat segera lakukan investigasi atas kejadian ini. Dia yakin, bukan hanya KPUC yang berperan mencemari lingkungan hidup termasuk sungai seperti terjadi 2017.

Bagi para pencemar DAS Malinau, dan DAS lain di Kaltara, berikut aktor-aktor di baliknya, harus ditindak tegas, tuntas dan terbuka.

Kalau melihat kasus pencemaran sungai dan jebol bukan kali pertama, maka penegakan hukum kejadian ini mesti berat dan tegas.

Dengan pencemaran berulang ini, katanya, tindakan hukum jangan hanya penghentian sementara tetapi harus naik ke level pencabutan izin dan usut pidana.

UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, gunakan asas premium remidium. Dengan begitu, katanya, upaya hukum administrasi bersamaan dengan pidana. “Ada sanksi administrasi, ada sanksi pidana.”

Dari kebijakan kehutanan, kata Merah, KLHK harus mengevaluasi kembali izin pinjam pakai dengan melihat kerusakan hutan dan dampak terhadap manusia.

Untuk lingkungan hidup juga rusak, katanya, terlihat dari pencemaran sungai. Untuk itu, saat investigasi, harus benar-benar melihat mengapa kolam limbah bisa jebol. “Apakah sesuai spesifikasi? Mengapa [jebol] terulang lagi?”

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Mabes Polri, katanya, juga bisa bergerak.

 

Sungai Seturan, dengan air keruh, yang mengalir ke Sungai Malinau. Foto: Jatam

 

Kepolisian, kata Andry, dapat menyelidiki sebagaimana tertuang dalam Hukum Acara Pidana terkait dugaan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan secara bersama-sama.

Jatam meminta aparat berkoordinasi dengan pejabat PPNS di lingkungan instansi pemerintah dengan lingkup tugas dan tanggung jawab bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai UU PPLH.

Selain itu, kata Merah, tak kalah penting perlu pemulihan ekosistem Sungai Malinau. “Jangan jadikan Sungai Malinau toilet dan kloset bagi perusahaan.”

Jadi, katanya, segera cabut izin seluruh tambang DAS Malinau, pidanakan perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran pertambangan atau lingkungan hidup. “Ada upaya pemulihan ekosistem Sungai Malinau.”

Menurut Andry, masyarakat meminta perusahaan bertindak atas kerusakan lingkungan hidup, antara lain, melakukan pemulihan sungai, menabur bibit ikan dan memperbaiki tanggul jebol.

Menanggapi tuntutan ini manajemen KPUC Batu Lidung, Malinau, Irwansyah meminta maaf atas kelalaian perusahaan dan akan memenuhi tuntutan masyarakat salah satu menyalurkan air bersih bari masyarakat terdampak.

 

Kerusakan lingkungan

Dalam laporan Jatam pada 2018 berjudul  “Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat”  menyebutkan, Malinau awal terbentuk sangat menggantungkan terhadap hasil sumber daya alam, terutama hutan dan tambang batubara.

Perubahan terjadi pada sungai sejak pertambangan batubara beroperasi di hulu Sungai Malinau dan limbah masuk ke sungai. Perubahan paling mudah teramati, kata Merah, adalah perubahan warna air sungai. Kini, air jadi keruh. Dari laporan warga menyatakan kalau ikan-ikan sungai berkurang dan mulai susah ditemukan, antara lain bisa terlihat di Desa Long Loreh.

Kehadiran pertambangan batubara, katanya, pelan-pelan menjauhkan warga Long Loreh dari sungai. Sebelum rusak, seluruh aspek kehidupan warga melibatkan sungai, dari tangkap ikan, sumber air bersih untuk masak, mandi, maupun mencuci, terutama berhubungan dengan kerja-kerja domestik perempuan.

Sejak perusahaan tambang mencemari air sungai, katanya, air tak lagi bisa buat masak. Kini, sungai praktis sebagai alat transportasi warga dengan longboat atau ketinting kala berpergian.

Laporan itu menyebutkan, tak hanya masalah air, pencemaran udara juga terjadi karena aktivitas pengangkutan batubara melalui jalan tambang (hauling). Jalan sama dipakai warga Desa Long Loreh menuju ke ibukota Malinau, berjarak sekitar dua jam pakai mobil.

Dalam laporan itu disebutkan, di Long Loreh, ada empat perusahaan tambang, satu perusahaan punya 500 truk yang mengangkut batubara menuju ke muara pelabuhan. Setidaknya, yang lalu lalang setiap hari di Long Loreh sekitar 2. 000 truk.

Merah menyayangkan, melihat perkembangan Kaltara, setelah berpisah dengan Kalimantan Timur pada Oktober 2012. Seharusnya, kata Merah, Kaltara tak meniru Kaltim dalam pola pembangunan yang bertumpu ekstraktif. Tujuan pemekaran Kaltara, katanya, untuk selamatkan ekosistem.

Ngapain berpisah dari Katim kalo pengurusan sama kayak di Kaltim.”

 

 

 

*****

Foto utama:  Warga mengumpulkan ikan-ikan mati di Sungai Malinau. Foto: dari Facebook Rosiena Kila, warga Malinau

Exit mobile version