Mongabay.co.id

Komponen Iklim dan Mitigasi Bencana Alam

Kita telah disambut oleh berbagai bencana alam di awal tahun 2021. Mungkin sederatan bencana lainnya akan menyusul hingga akhir tahun. Kita tidak tahu pasti, namun tren bencana memang tinggi di Indonesia. Bita dapat belajar dari tahun lalu.

Sepanjang tahun 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah ada 2.925 bencana alam di wilayah Indonesia. Dari total bencana yang terjadi sepanjang tahun lalu, ternyata 99 persen nya ialah bencana hidrometereologi –hanya 1 persen yang merupakan bencana geologi.

Berdasarkan rincian data bencana hidrometeorologi, kejadian banjir telah terjadi hingga sebanyak 1.065 kejadian di sepanjang tahun 2020. Kemudian bencana yang disebabkan oleh angin puting beliung telah terjadi sebanyak 873 dan tanah longsor 572 kejadian.

Selanjutnya untuk karhutla telah terjadi sebanyak 326, gelombang pasang dan abrasi 36 kejadian dan kekeringan terjadi sebanyak 29 kejadian di Tanah Air (BNPB, 29/12/2020).

Sedangkan untuk jenis bencana geologi dan vulkanologi, BNPB menyampaikan bahwa kejadian bencana gempa bumi telah terjadi sebanyak 16 kali, dan 7 kejadian untuk peristiwa erupsi gunung api.

Sebagaimana diketahui, bencana geologi terjadi karena faktor geologis alami pada wilayah Indonesia sebab keberadaannya tepat di jalur-jalur pertemuan lempeng tektonik baik darat maupun di lantai samudera.

Bencana geologi mustahil dielakkan. Kecuali bila Negara Indonesia pindah ke wilayah yang bukan pertemuan lempeng tektonik ―walau tentu saja, itu sama tidak mungkinnya.

Baca juga: Skeptis Terhadap Perubahan Iklim tapi Akrab Bencana, Apa Persiapan Kita?

Perubahan iklim dapat memacu musim kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan rawan terjadinya titik-titik api. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin ―yang juga merupakan komponen-komponen dari iklim bumi.

Sebagaimana diketahui, komponen iklim berubah seiring waktu sebagai respons terhadap aktivitas antropogenik. perubahan iklim disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami. Namun dewasa ini perubahannya berlangsung sangat cepat.

Sejumlah media internasional bahkan sudah memakai istilah “Climate Disaster” atau “Bencana Iklim” supaya masalah serius ini tidak menjadi gajah dipelupuk mata bagi masyarakat. Hal itu dapat kita lihat misalnya New York Times, pada 19 September 2019, menerbitkan tulisan Do We Really Have Only 12 Years to Avoid Climate Disaster?

Dapat kita lihat juga di Washington Post pada 17 Januari 2020, sebuah tulisan berjudul We Live in an Age of Climate Disaster, Now What?

Di Eropa, media British seperti The Guardian bahkan menerbitkan tulisan yang lebih menantang: 2019 Has Been a Year of Climate Disaster, Yet Still Our Leaders Procrastinate dipublikasikan pada 19 Desember 2019.

 

Upaya mitigasi dampak perubahan iklim

Lambat laun memang telah muncul kesadaran masyarakat internasional atas ancaman perubahan iklim. Setidaknya dapat dilihat dari diberlakukannya Protokol Kyoto pada tahun 2005.

Tujuan utama dari Protokol Kyoto adalah untuk mengontrol emisi gas rumah kaca antropogenik utama (yang dihasilkan oleh manusia) dengan cara yang mencerminkan perbedaan nasional yang mendasari emisi GRK, kekayaan, dan kapasitas untuk melakukan pengurangan.

Komitmen putaran pertama Protokol Kyoto adalah langkah rinci pertama yang diambil dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.

Sepuluh tahun kemudian, di Paris, Konferensi Perubahan Iklim PBB menghasilkan suatu kesepakatan internasional yang lebih progresif Protokol Kyoto, yaitu Perjanjian Paris. Di situ target penurunan emisi ditingkatkan dan semua negara diberikan kewajiban pengurangan emisis sesuai kemampuannya.

Sayang perkembangan kesepakatan yang bagus ini tidak berjalan mulus. Sejak di bawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika Serikat sudah enggan terlibat lagi dan bergerak mundur dari kesepakatan.

Pada Konferensi Perubahan Iklim yang ke-25 di ­Madrid pada tahun 2019, gagal membuat aturan teknis dalam penerapan Perjanjian Paris. Ada tiga poin dalam Artikel 6 Perjanjian Paris yang tidak mencapai kesepakatan lanjutan; tentang kerja sama antar-negara, tentang mekanisme di Perserikatan Bangsa Bangsa, dan tentang kerja sama non market.

Ketidak-konsistenan dari beberapa Negara merintangi pertemuan-pertemuan yang membahas perubahan iklim untuk membuahkan hasil. Menurut Stefan Rahmstorf, sebagaimana diutarakannya dalam sebuah wawancara di Deutsche Welle (19/6/2019), biasanya hal ini disebabkan kekuatan lobi industri energi fosil untuk menghambat agenda pengendalian perubahan iklim dan beserta proses kebijakan yang mengarah ke hal itu.

Profesor Fisika Lautan di Universitas Potsdam tersebut juga menyampaikan bahwa setidaknya ada lima perusahaan minyak raksasa yang menggelontorkan uang 200 juta US Dolar per tahun untuk lobi-lobi tersebut.

Sementara perundingan tingkat tinggi terkait perubahan iklim memakai prinsip nothing is agreed until everything is agreed dalam kerja mereka. Sistem ini tidak mengenal mekanisme pemungutan suara atau voting ―yang artinya, tanpa kesepakatan penuh maka tidak ada yang dihasilkan.

Mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres menyebut, kesepakatan internasional perubahan iklim tidak akan terjadi sebelum cukup diatur secara domestik oleh Negara-negara peserta.

Intinya, Negara-negara peserta harus benar-benar mewujudkan komitmen untuk meredam dampak perubahan iklim dalam kebijakan nasional terlebih dahulu, baru dapat dibawa ke forum internasional.

Baca juga: Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

 

Tanah yang runtuh pasca-gempa di Donggala Kodi, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9/2018). Foto: Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

 

 

Menghormati alam dan semua bentuk kehidupan

Hal-hal politik rumit yang dibicarakan para pemimpin Negara tersebut di atas tentu bukanlah tembok bagi masyarakat untuk dapat bergerak dan berpartisipasi dalam mengatasi kenaikan suhu bumi.

Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan untuk memitigasi perubahan iklim. Seperti menghemat penggunaan energi listrik, mendaur-ulang sampah, memprioritaskan transportasi umum, menghijaukan lingkungan, membuat sumur resapan di pekarangan rumah, dan jika bisa menghentikan penggunaan produk-produk hasil industri yang merusak lingkungan hidup.

Kita berhubungan dengan lingkungan dan kita harus berperilaku baik terhadapnya. Sesederhana itu saja sebenarnya. Namun untuk melakukan itu kita perlu suatu pemahaman ekologis.

Kita harus mempelajari tiap aktivitas yang akan memberi dampak buruk pada ekosistem di sekitar kita. Karena jika ekosistem rusak, kehidupan kita juga yang terancam.

Pemahaman ekologis tersebut sebenarnya pun telah dalam ajaran-ajaran agama. Seperti Profesor Odeh Al-Jayyousi dari Arabian Gulf University, Bahrain, mengatakan, bahwa kita perlu untuk menyerukan kembali pandangan holistik dalam agama –yang didasarkan pada gagasan harmoni; keadaan alami, keseimbangan, dan proporsi dalam sistem alam semesta.

Gagasan ini memberikan dimensi etis dan mandat bagi semua manusia untuk menghormati alam dan semua bentuk kehidupan. Karenanya, mengatasi krisis lingkungan dan memitigasi dampak perubahan iklim, dari perspektif agama ditopang dengan mendefinisikan peran manusia sebagai pemimpin di muka bumi.

Keseimbangan ini telah terganggu karena pilihan manusia yang mengakibatkan konsumsi, eksploitasi dan penggunaan sumber daya yang berlebihan.

 

Referensi:

[1] Sebanyak 2.925 Bencana Alam Terjadi Pada 2020 di Tanah Air, Bencana Hidrometeorologi Mendominasi, dipublikasikan di situs resmi BNPB, 29 Desember 2020.

[2] Wawancara Stefan Rahmstorf oleh Deutsche Welle, 19 Juni 2019, dengan judul Carbon Trade; Solution to the Climate Crisis?,

[3] UN Climate Speech/14 Januari, 2013, 1 st GLOBE Climate Legislation Summit London, Statement by Christiana Figueres, Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change.

[4] Odeh Al-Jayyousi, How Islam can represent a model for environmental stewardship, dipublikasikan di laman unenvironment.org, 21 juni 2018

 

Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Pegiat Lingkungan Hidup dan Peneliti Kebijakan Konservasi

 

***

Ilustrasi kebakaran hutan. Hutan yang terbakar di Amazonas state, Brasil, Agustus 2020.  Foto: Christian Braga/Greenpeace.

Exit mobile version