Mongabay.co.id

Industri Sawit Masih Terlilit Persoalan Lingkungan dan HAM, Pemerintah Ingatkan Perbaikan Tata Kelola

Perkebunan sawit di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Operasi perkebunan sawit di Indonesia membawa dampak kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM. Bahkan, ke depan, Sawit Watch Indonesia, memperkirakan, ekspansi perkebunan sawit skala besar bakal masih terus terjadi, terutama ke wilayah timur dan pulau-pulau kecil. Pemerintah pun menegaskan, agar pengusaha perkebunan sawit memperhatikan tata kelola berkelanjutan.

Data Sawit Watch Indonesia dalam 2020 terjadi 1.061 konflik di perkebunan sawit. Hanya 1,2% atau 13 kasus dari keseluruhan konflik itu sudah selesai. Kekerasan maupun kriminalisasi terus terjadi.

Ada sekitar 10,8% konflik melibatkan masyarakat adat terutama tidak ada proses atau penerapan free, prior,informed and concent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan.

Perkebunan besar masuk, masyaraka adat kehilangan sumber-sumber penghidupan layak.

Mengacu Sawit Watch 2020, luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 22,3 juta hektar, dengan 30% petani. Kontribusi sawit dalam menyokong ekonomi nasional, sejalan dengan begitu banyak masalah. Data Kementerian Perdagangan, ekspor sawit naik sekitar 13,6% atau Rp321,5 triliun dari 2019 atau sebesar 34 juta ton, walau alami penurunan 9% dari tahun sebelumnya.

“Meski kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, perkebunan sawit banyak mengakibatkan persoalan di lapangan,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, belum lama ini.

Dia sebutkan persoalan di perkebunan sawit itu antara lain, kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh terabaikan sampai ancaman ketersediaan pangan.

 

Baca juga: Setelah Kehadiran Sawit di Gane, Begini Nasib Warga dan Lingkungan

Buruh kebun sawit sedang menuangkan sawit. Foto: James/ Mongabay.com

 

Buruh dan UU Cipta Kerja

Berdasarkan hasil investigasi dan pengaduan yang diterima Sawit Watch, praktik kerja di perkebunan sawit masih eksploitatif. Pekerjaan tidak tetap dengan ketidakpastian kerja, tunjangan kecil, beban kerja berat, diskriminasi terhadap buruh perempuan, dan penggunaan buruh anak baik langsung maupun oleh keluarga. Kemudian, jaminan sosial tidak memadai, pemberangusan serikat buruh sampai fasilitas air bersih minim.

Inda bilang, persoalan perlindungan buruh perkebunan sawit minim disinggung dalam pembahasan tentang industri sawit di Indonesia. Inpres moratorium izin sawit, misal, sama sekali tak menempatkan kondisi buruh sebagai hal penting untuk evaluasi.

Serikat buruh dan kelompok masyarakat sipil, katanya, menuntut kehadiran negara memberikan jaminan kepastian kerja. Jawabannya malah berbeda, pemerintah dan DPR melahirkan UU Cipta Kerja No.11/2020 yang dinilai mendukung investasi dan cenderung mengabaikan hak masyarakat kecil, termasuk kelompok buruh dan petani sawit.

“Isi UU Cipta Kerja menunjukkan komitmen buruk pemerintah terhadap perlindungan buruh. Omnibus law telah menghilangkan jaminan kepastian kerja,” katanya.

Sawit Watch mencatat, buruh perkebunan sawit di Indonesia sekitar 20 juta orang. Dari jumlah itu, lebih 60% merupakan buruh dengan hubungan kerja rentan, sebagian besar buruh dengan hubungan kerja rentan adalah perempuan.

UU Cipta Kerja ini dinilai akan mempengaruhi sejumlah kebijakan yang sudah terbit, seperti Inpres No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Kondisi makin mengkhawatirkan, dalam dua tahun pasca terbit, pelaksanaan dinilai tak begitu memuaskan karena belum ada capaian-capaian signifikan. “Cita-cita perbaikan tata kelola sawit melalui kebijakan ini akan sulit tercapai.”

 

Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Ekspansi ke timur

Inda katakan, ada pola kecenderungan ekspani perkebunan sawit mengarah ke wilayah timur, pesisir dan pulau-pulau kecil. Dia contohkan, alih fungsi hutan mangrove di Langkat, Sumut menjadi sawit, ekspansi di Kepulauan Bangka Belitung, Gane (Halmahera Selatan), Wasile (Halmahera Timur), Banemo (Halmahera Tengah), serta pesisir selatan Jawa.

Perkebunan besar milik negara pun, katanya, ekspansi sawit dalam bentuk peralihan komoditas non-sawit jadi sawit.

Dia mengatakan, perkebunan sawit skala besar diperkirakan terus ekspansi ke timur Indonesia. Ada keperluan sekitar 12 juta hektar kebun energi untuk pemenuhan 50 juta ton minyak sawit mentah (CPO) agar Indonesia tidak memerlukan impor minyak dalam 15 tahun mendatang.

“Skenario kebun energi ini diperkirakan dibuat di Papua, salah satu mandatori progam biodiesel di Indonesia.”

 

Tata kelola

Tampilan karut marut tata kelola kebun sawit seperti laporan Sawit Watch ini juga jadi perhatian pemerintah, seperti disampaikan Kantor Staf Presiden (KSP).

Data KSP Desember 2020, memperlihatkan, luas perkebunan sawit mencapai 22,1 juta hektar, yang menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang.

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan dalam webinar, Rabu (10/2/21) mengatakan, pertumbuhan kebun sawit ini seperti dua sisi mata pisau. Satu sisi, katanya, membawa dampak baik bagi pereknomian dan kesejahteraan petani.

“Sisi lain membawa dampak, saya tidak mengatakan negatif sekali tapi memberikan dampak bagi konservasi keanekaragaman hayati, hutan dan lahan termasuk flora fauna,” katanya.

Dinamika dalam sektor ini, katanya, akan makin menguat kalau para pengusaha dan petani perkebunan sawit tak memperhatikan tata kelola dan cara perolehan kebun secara berkelanjutan. Berbagai isu sawit ini, katanya, jadi perhatian global.

“Faktor lingkungan tidak hanya bicara keberlanjutan tapi persoalan asap jika terjadi kebakaran,” katanya.

Pemerintah pun menjawab tantangan itu antara lain, melalui penandatanganan Perpres No.44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Ada tujuh prinsip pelaksanaan ISPO, kata Moeldoko , yaitu pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keragaman hayati. Kemudian, tanggung jawab ketenagakerjaan, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan usaha berkelanjutan maupun penerapan transparansi.

 

Warga Banemo, Patani, Halmahera Tengah, hidup bergantung dari alam dengan beragam tanaman seperti pala, cengkih, pisang dan hasil bumi lainnya, termasuk perikanan. Mereka hidup jauh dari miskin. Mereka khawatir, kala ada kebun sawit masuk, malah bikin sengsara berkepanjangan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dari prinsip-prinsip itu, ada bagian-bagian perlu penguatan, seperti pengelolaan aspek lingkungan hidup, sumber daya alam dan keragaman hayati. “Aspek ini selalu gagal dipahami oleh pengusaha dan petani sawit karena tidak ada pengetahuan, serta kurang alokasi dana khusus di aspek ini,” kata Moeldoko.

“Mohon ini menjadi perhatian karena ini salah satu senjata untuk menghadapi tantangan internasional. Artinya, ketika bisa buktikan perkebunan sawit Indonesia memperhatikan aspek ini, akan mudah kita berargumentasi,” katanya.

Ada juga aspek pengelolaan dan tanggung jawab ketenagakerjaan, katanya, seringkali tertinggal. Tanggung jawab tenaga kerja tidak hanya sebatas pemberian gaji tetapi pemenuhan kebutuhan alat sarana dan prasarana dalam bekerja, hak mendapatkan asuransi kerja dan hari tua.

Soal tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Aspek ini, katanya, jadi ranah abu-abu yang tidak dipahami sebagai tanggung jawab. Secara prinsip, dalam perpres, katanya, persoalan itu menjadi tanggung jawab perusahaan.

“Perpres itu harus dipahami sebagai alat kontrol presiden terhadap isu sawit, sekaligus sebagai cara perlindungan terhadap lingkungan dan petani kecil.”

 

 

*****

Foto utama:  Perkebunan sawit di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version