Mongabay.co.id

Menakar Keseriusan Pemerintah Bantu Petani Sawit Swadaya

Petani sawit di Pulau Bangka, usai panen siap mengangkut tandan buah segar ke pabrik untuk proses lebih lanjut. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Praktik industri sawit di Indonesia saat ini, belum inklusi adil dan mensejahterakan petani dalam rantai pasok sawit. Padahal, petani salah satu aktor kunci di level hulu sebagai penyuplai bahan baku sawit. Data olahan dari Direktorat Perkebunan 2020 dan dokumen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), luas kebun sawit Indonesia sekitar 16,381 juta hektar, dengan rincian, perkebunan swasta 8.886.000 hektar, kebun negara 715.000 hektar dan kebun smallholders 6.780.000 hektar.

Komposisi smallholder terdiri dari petani plasma (plasma smallholders) 36% dan petani swadaya (independent smallholders) sebanyak 64%. Dari jumlah itu, seharusnya petani, terutama petani swadaya jadi prioritas sejumlah bantuan, insentif dan pendampingan untuk pengembangan petani, bukan terkonsentrasi pada segelintir pelaku swasta (korporasi swasta).

Berkaca pada salah satu program pembangunan ekonomi nasional di sektor pertanian dan perkebunan, dengan arah pada maksimalisasi produksi industri sawit untuk mencapai pelaksanaan program biodiesel. Program biodiesel dipandang sebagai bagian penting dari tujuan utama mencapai prinsip keberlanjutan industri sawit Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil atau/ISPO) mandatori pada 2014.

Sejumlah paket kebijakan hadir mendukung itu. Kalau merujuk UU No. 34/2014 tentang UU Perkebunan, tak ada pasal yang mencantumkan pemberlakukan mandatori biodiesel. Namun, pada beberapa peraturan teknis memasukkan frase tentang dana untuk biodiesel yang dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah No.24/2015 tentang Perhimpunan Dana Perkebunan. Dalam Pasal 9:2, memuat ketentuan dana untuk biodiesel), dan dimantapkan dengan Perpres No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan dana Perkebunan Sawit. Terutama, Pasal 11 ayat 2, mengandung muatan dana untuk bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Pada 2016, program ambisius ini disempurnakan dengan Perpres No.24/2016 sebagai perubahan atas Perpres No.61/2015 yang khusus mengandung muatan terkait penggunaan dana untuk kepentingan biodiesel.

Dari serangkaian kebijakan yang hadir ini, bersamaan dengan itu, dibentuklah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) selaku organisasi non-eselon. Peran utamanya, menghimpun dan mengelola dana kelapa sawit yang bersumber dari alokasi APBN/D serta penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan.

Pada praktiknya, alokasi dana BPDP-KS tidak dirasakan petani langsung. Dari total dana yang dihimpun BPDPKS sejak 2015-2019 tercatat Tp51 triliun bersumber dari pungutan ekspor sawit Rp47,28 triliun dan pengelolaan dana Rp3.7 triliun.

Alokasi dana BPDP-KS dari 2015-2019 tercatat Rp33,6 triliun, dengan total alokasi tertinggi, 89,86% atau Rp30,2 triliun untuk insentif biodiesel. Sedangkan, bantuan kepada petani seperti sarana dan prasarana, pengambangan sumber daya manusia dan program peremajaan sawit rakyat sangat kecil. Paling kecil itu untuk sarana prasarana 0,22% atau Rp1,73 miliar, pengembangan sumber daya manusia 0,42% atau Rp140,674 miliar, dan program peremajaan sawit rakyat 8,03% atau Rp2,7 triliun saja.

 

Baca juga: Ketika Petani Sawit di Lampung Mulai Beralih ke Tanaman Lain

Industri sawit. Penguatan petani sawit kecil swadaya masih minim hingga mereka masih hadapi banyak kendala. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Suara dari petani

Dalam beberapa temuan, terdapat gap antara program pemerintah dan implementasi di lapangan. Beberapa petani dampingan SPKS mengakui, ada kejanggalan dalam implementasi program pemerintah. Kondisi ini kemudian sangat berpengaruh pada bagaimana mempersiapkan petani mencapai kesejahteraan seperti ide besar yang digaungkan.

Satu contoh, Eko, petani sawit di Sanggau. Soal proses penanaman kembali sawit mengatakan, seharusnya petani mendapatkan pendampingan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia dulu baru replanting.

“Dana replanting sudah ada, tetapi petani belum sepenuhnya dibekali pendampingan. Bagi petani, penting sekali ada pendampingan. Atau ketika mengalami kendala di kebun, petani tahu kemana mencari bantuan, seperti penanganan hama, intensifikasi dan pembiayaan.” Dengan pendampingan, kata Eko, petani antara lain bisa menghemat biaya, menghasilkan pupuk alami, juga membantu intensifikasi.

Masalah seperti petani Eko, kalau ada kelembagaan petani yang solid, maka pendampingan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, serta program-program petani lain dapat terakomodir dengan baik. Kalau unsur penguatan dan penerapan budidaya yang baik telah memiliki wadah dan continu, seharusnya lewat kelembagaan petani juga mampu meningkatkan nilai tawar mereka terhadap harga dan akses dengan pasar lebih besar. Juga mencapai bentuk-bentuk kerjasama yang adil dan setara antara lembaga petani dan pelaku usaha swasta.

 

 

Refleksi

Situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), yang berpotensi menggoyang stabilitas industri sawit terutama biodiesel, rupanya hanya memberikan insentif besar kepada pelaku usaha besar biodiesel, untuk petani tak ada insentif semacam itu. Belum selesai dengan isu ini, hantaman juga datang dari pengesahan UU Cipta Kerja, yang bisa berdampak bagi petani sawit.

Berbagai bentuk pelanggaran oleh pelaku usaha lewat UU Cipta Kerja dipandang sebagai pelanggaran administrasi saja atau membatasi muatan dengan penyebutan “akan diatur dalam peraturan teknis.”

Inklusi petani dalam perwujudan UU Cipta Kerja juga tidak nampak, hanya berat kepada perlindungan terhadap pelaku usaha besar. Keran buat investasi makin besar tetapi petani sempit.

Karena itu, penting sama-sama berefleksi apakah saat ini industri sawit yang dibanggakan sebagai prioritas pembangunan ekonomi dan pemasukan devisa negara berpihak kepada petani? Kalau masih ada suara dari bawah yang berteriak mencari pengakuan dan perlindungan negara dalam arus rantai pasok sawit, berarti konsep besar yang menyebutkan “sawit mensejahterakan petani” itu patut dipertanyakan. Petani yang mana yang sejahtera?

 

* Penulis: Tirza Pandelaki, Manajer Program dan Kemitraan, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

*****

Foto utama: Petani sawit Bangka, usai panen. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version