Mongabay.co.id

Banjir jadi Langganan, Walhi: Bencana Ekologis Perlu Penanganan Serius dan Terintegrasi

 

 

 

 

Jumat akhir pekan lalu hujan deras mengguyur Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Banjir pun melanda antara lain di Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Karawang. Awal Februari, banjir juga terjadi di daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah. Banjir terus jadi langganan. Walhi mengingatkan, penting evaluasi dan audit lingkungan hidup menyeluruh terhadap alih fungsi lahan dan mengkaji titik-titik banjir secara terintegrasi dari hulu hingga hilir. Upaya mitigasi dan adaptasi banjir perlu jadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, Jakarta dan wilayah sekitar (Jabodetabek) masih berpotensi hujan dengan intensitas lebat sepekan ke depan.Warga pun diimbau tetap waspada terhadap potensi banjir.

Wilayah Jabodetabek masih berada pada puncak musim hujan yang diperkirakan berlangsung sampai akhir Februari hingga awal Maret,” kata Dwikorita, Kepala BMKG dalam konferensi pers Jumat di Jakarta.

BMKG, katanya, telah mengeluarkan peringatan dini terkait potensi hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat dengan curah hujan antara 100-150 mm di Jakarta pada 18-19 Februari 2021.

Berdasarkan data BMKG, curah hujan tertinggi terjadi di Pasar Minggu mencapai 226 mm, Sunter Hulu 197 mm, Lebak Bulus 154 mm dan Halim 176 mm perhari.

“Umumnya, hujan terjadi malam hingga dini hari dan berlanjut sampai pagi hari. Ini waktu-waktu kritis yang perlu diwaspadai,” katanya.

Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG mengatakan, cuaca ekstrem di Jabodetabek karena sejumlah faktor, seperti ada udara dari Asia cukup signifikan menyebabkan peningkatan awan hujan di Indonesia bagian barat pada 18-19 Februari 2021.

Juga ada gangguan atmosfer pada zona ekuator (rossby equatorial) yang mengakibatkan ada pelambatan dan pertemuan angin dari arah utara membelok tepat melewati Jabodetabek. “Hingga terjadi peingkatan intensitas pembentuka awan-awan hujan.”

Curah hujan di Jakarta, katanya, masih lebih rendah dibandingkan pada Januari 2020, juga menyebabkan banjir di berbagai titik di Jabodetabek. Ada beberapa faktor banjir Jakarta, katanya, seperti hujan jatuh di sekitar Jabodetabek bermuara di Jakarta, hujan jatuh di Jakarta serta ada pasang laut. Tak hanya itu, daya dukung lingkungan juga sangat berpengaruh.

Tak hanya Jakarta dan sekitar, berbagai wilayah Indonesia masih berpotensi terjadi hujan dengan intensitas lebat disertai kilat petir dan angin kencang sepekan ke depan. Wilayah itu antara lain dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jakarta, hampir semua wilayah di Pulau Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

“Kami mengimbau masyarakat tetap tenang namun waspada dan berhati-hati terhadap dampak cuaca ekstrem seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang dan gelombang tinggi,” kata Dwikorita.

 

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

Banjir terjadi di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Foto: dari Facebook Trino Prayoga

 

Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB melaporkan hingga Sabtu pukul 14.00 sebanyak 1.222 jiwa mengungsi, yakni 918 dewasa, 151 remaja, 89 balita dan 64 lansia.

Dalam penanganan darurat, pemerintah setempat telah mendistribusikan bantuan logistik dan penyelamatan serta evakuasi warga terdampak. BPBD Jakarta mendirikan pos lapangan di Universitas Borobudur dengan kekuatan 40 personel.

Selain itu, tenda pengungsian didirikan dan penyiagaan perahu karet. Dinas PUPR membantu dengan pengoperasian mobil toilet. Warga yang mengungsi di pos pengungsian Universitas Borobudur juga menjalani tes swab antigen.

Di Bekasi, tanggul jebol memicu banjir beberapa desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Banjir terpantau pada Minggu (21/2), pukul 01.00 WIB. Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB menerima laporan dari BPBD kalau banjir melanda empat desa, yaitu Desa Sukaurip, Karangsegar, Bantasari dan Sumber Urip.

Karawang juga banjir bandang. Sabtu (20/2/21), pukul 22.00 WIB, sebanyak 34 desa di 15 kecamatan terdampak banjir dengan kedalaman 10-2,5 meter.

Kelimabelas kecamatan terdampak yaitu Rengasdengklok, Telukjambe Barat, Tirtajaya, Pedes, Cikampek, Purwasari, Ciampel, Pangkalan, Klari, Tempuran, Tirtamulya, Jatisari, Rawamerta, Karawang Barat dan Cilamaya Wetan.

Warga terdampak 9.331 keluarga atau 28.329 jiwa, dan 1.075 keluarga atau 4.184 jiwa mengungsi. Banjir mengakibatkan 8.539 unit rumah terendam dan sejumlah infrastruktur terdampak.

 

***

Doni Monardo, Kepala BNPB bersama Menteri PMK Muhadjir Effendy dan Sekretaris Daerah Karawang Acep Jamhuri meninjau lokasi terdampak banjir di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe, Karawang Barat, Minggu (21/2/21).

Pada Senin (22/2/21), Doni, bersama Muhadjir dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, juga meninjau lokasi tanggul Sungai Citarum yang jebol dan sejumlah titik terdampak banjir di Jawa Barat.

Doni, selaku Ketua Satgas Penanganan COVID-19 juga berpesan agar penanganan pengungsi dengan cara memisahkan kelompok rentan guna mengurangi risiko penularan COVID-19.

Kelompok rentan itu, katanya, lansia, warga yang memiliki komorbid, ibu hamil, ibu menyusui, balita dan anak-anak. Doni juga mengecek ketersediaan alat tes antigen di pos kesehatan.

Dia mengatakan, penanganan dan pengurangan risiko bencana banjir yang bersifat tahunan di Karawang ini perlu kerja sama berbagai pihak.

Doni juga menyoroti, permasalahan limbah industri maupun rumah tangga juga berpotensi jadi penyebab banjir Karawang harus diselesaikan bersama-sama.

“Tidak sedikit sumber daya yang dapat dikelola disini, ada banyak industri dan perusahaan, mereka harus diikutsetakan jadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan ekosistem untuk mengelola limbah industri dan rumah tangga,” katanyam dalam rilis BNPB.

 

Baca juga: Gemuruh Maut di Luwu Utara

Doni Monardo, Kepala BNPB bersama Menteri PMK Muhadjir Effendy dan Sekretaris Daerah Karawang Acep Jamhuri meninjau lokasi terdampak banjir di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe, Karawang Barat, Minggu (21/2/21). Foto: BNPB

 

La Nina
Herizal, Deputi Bidang Klimatologi BMKG menjelaskan, musim hujan 2020-2021 dipengaruhi fenomena iklim global La Nina yang dapat meningkatkan curah hujan hingga 40%. Fenomena iklim La Nina ini diperkirakan masih berlangsung setidaknya sampai Mei 2021.

“Saat ini, hampir sebagian besar wilayah Indonesia atau 96% dari zona musim memasuki musim hujan,” katanya.

Pada Maret-April 2021, curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia masih berpotensi menengah hingga tinggi (200-500 mm per bulan). Sebagian besar Papua dan sebagian Sulawesi berpotensi mendapatkan curah hujan bulanan kategori tinggi-sangat tinggi atau lebih dari 500 mm perbulan.

Pada Juni-Agustus, sebagian besar wilayah seperti Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Papua kemungkinan mendapatkan curah hujan kategori menengah hingga rendah (20-150 mm/bulan).

Indonesia, kata Herizal, akan memasuki masa transisi dari musim hujan ke kemarau pada Mei. Pada September, masih terjadi kemarau, Oktober memasuki transisi musim kemarau ke musim hujan dan perkirakan November kembali memasuki musim hujan.

“Musim kemarau tahun ini tidak sekering musim kemarau biasanya atau juga dibandingkan musim 2019.”

 

Darurat ekologis

Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta mengatakan, bencana banjir seringkali terjadi karena Indonesia dalam situasi darurat ekologis. “Krisis iklim akan makin memperparah kondisi ini,” katanya.

Dia mengingatkan, krisis lingkungan hidup di ibukota dan wilayah penyangganya akan terakumulasi dan memicu bencana ekologis lebih besar. Untuk itu, dia mendesak pemerintah mengoreksi dan mengevaluasi kebijakan pembangunan yang berisiko tinggi seperti reklamasi dan izin bangunan terhadap lingkungan hidup dan keselamatan warga secara menyeluruh.

Pemerintah perlu memulihkan baik lingkungan hidup yang rusak akibat pembangnan maupun ekonomi dan sosial warga yang terdampak banjir.

Dalam sejarah panjang banjir di Jakarta, katanya, tidak ada faktor dominan yang menjadi penyebab banjir, karena banyak hal jadi penyebab. Dia sebutkan, penyebab antara lain luapan sungai, resapan air hilang seoerti ruang terbuka hijau dan sistem drainase buruk.

Sayangnya, permasalahan-permasalahan ini masih belum ada penanganan jelas. Untuk itu, pemerintah harus melakukan pembenahan dengan meningkatkan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) dan wilayah resapan air.

 

Banjir menggenangi mesjid di di Kabupaten Bekasi. Foto: Ardian

 

Tak hanya itu, upaya antisipasi banjir di Jakarta tidak bisa hanya melalui penguatan infrastruktur penunjang di wilayah ini saja. Penyelesaian ini harus secara integratif dan menyeluruh bersama dengan wilayah lain, seperti Bogor, Jawa Barat yang menjadi wilayah hulu. Wilayah-wilayah itu, katanya, juga banyak beralih fungsi jadi perkebunan atau wisata cukup masif.

“Pemprov memang memiliki program penanganan banjir. Tapi program itu kalah cepat dengan dampak perubahan iklim yang terjadi,” katanya. Kondisi ini, diperparah daya tampung dan daya dukung lingkungan sudah rusak.

Dia bilang, penting audit lingkungan terhadap wilayah-wilayah yang terjadi alih fungsi lahan dan titik-titik banjir secara komprehensif. Melalui audit ini, katanya, proses penanganan dan penanggulangan banjir akan lebih efektif dibandingkan sebatas ‘memadamkan api jika terjadi kebakaran.’

Bencana yang terjadi di masa pandemi ini, katanya, akan makin berat karena ada ribuan orang yang mengungsi akibat banjir.

Pemerintah perlu segera menanggulangi dan mengantisipasi masyarakat yang menjadi korban, terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan lanjut usia. Pemerintah, katanya, harus menjamin keselamatan dan kesehatan warga terdampak.

Senada dikatakan Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Dia bilang, masa pandemi ini, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota harus segera menyiapkan lokasi-lokasi pengungsian layak bagi masyarakat sebelum terjadi bencana.

Bahkan, dia mengusulkan pemerintah daerah berinisiatif mengungsikan masyarakat di wilayah rentan bencana banjir ataupun tanah longsor.

 

Kewaspadaan pemerintah daerah

Yaya, sapaan akrabnya mengatakan, pemerintah daerah perlu bijak dan bertanggung jawab terhadap informasi peringatan dari BMKG terkait prediksi cuaca ke depan. Terutama, katanya, 15 provinsi yang emnjadi ancaman bencana hidrometeorologi, yakni, Kalimantan Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah. Lalu, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua Barat.

“Pemerintah daerah harus memastikan seluruh warga mengetahui informasi tentang potensi ancaman bencana ini, terutama di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat rentan,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Dia contohkan, warga di sekitar aliran sungai, bermukim di kemiringan cukup terjal, atau wilayah dengan kerusakan lingkungan sangat parah hingga tidak lagi berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Yaya mendesak, pemerintah daerah merespon peringatan BMKG dengan kesiapsiagaan serius demi bersama-sama mencegah banyak korban muncul dari bencana ini.

 

Banjir melanda kawasan perumahan cikarang baru dan sekitar. Foto: dari Facebook Amril Taufik Gobel

 

 

Bencana  pantura Jateng

Pada awal Februari, banjir juga terjadi di daerah-daerah pantura Jawa Tengah seperti di Kota Pekalongan. Di Kota Pekalongan, selain curah hujan tinggi, banjir juga datang dari rob.

Awal Juni tahun lalu, banjir rob merendam Pekalongan di wilayah utara. Warga mengeluhkan banjir rob makin tinggi tiap tahun, dan tanggul tak lagi mampu menahan empasan ombak.

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun lalu memperingatkan bahaya tanah ambles di sepanjang pantai utara Jawa Tengah termasuk Kota Pekalongan. Penyebabnya, antara lain pengambil air tanah yang berlebih, terbanyak untuk industri.

Masalah lingkungan lain yang dihadapi Pekalongan adalah kontaminasi limbah industri batik ke badan sungai dan air permukaan. Pada musim kemarau beberapa kali didapati sungai tercemar limbah batik hingga warna air berubah. Industri batik di kota itu tidak semua memiliki Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL).

Data Dinas Lingkungan Hidup Pekalongan menyebutkan, setidaknya ada 5 juta liter limbah sair per hari dari kegiatan industri batik. Namun kurang dari separuhnya tertampung di IPAL. Meski ada IPAL komunal berlokasi di kelurahan dan yang dibangun melalui anggaran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), namun masih kurang bagi hampir seribuan industri batik di kota itu.

 

Banjir warna merah

Belum lagi banjir reda karena guyuran hujan sejak 4 Februari, pada Sabtu 6 Februari, genangan berwarna merah darah mengagetkan warga. Peristiwa itu terjadi di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan. Air berwarna merah setinggi hingga 30 cm itu menggenangi beberapa ruas jalan dan permukiman warga.

Mengutip pernyataan Taibin, lurah Jenggot, banjir yang berwarna merah dan biru diduga karena ada orang yang sengaja membuang bahan pewarna batik.

“Ada yang sengaja membuang obat batik, jadi itu bukan limbah batik. Karena sejak kemarin wilayah Jenggot dan sekitar tidak ada aktivitas produksi jadi tidak ada limbah. Apalagi hari ini hujan sejak malam,” katanya waktu itu.

Usai viral, Pemerintah Pekalongan dan Kepolisian bergerak cepat. Kepada awak media, Kapolsek Pekalongan Selatan Kompol Basuki Budisantoso mengatakan, banjir berwarna merah berasal dari home industri batik.

“Orang Pekalongan menyebutnya pranggok. Juragan-juragan ini kemarin sudah membungkus tiap plastik untuk satu kodi. Berhubung bungkus plastik mudah robek, tadi pagi hujan luar biasa, para juragan tidak ngontrol ke pranggok lagi, alias Pranggok tidak beroperasi. Berhubung tidak dikontrol, ada sebagian obat hanyut,” katanya, 6 Februari.

Pada musim hujan, pranggok atau industri batik rumahan biasa tidak beroperasi. Umumnya mereka mengandalkan pengeringan kain batik dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Kuat dugaan, warna yang terbawa banjir bukan dari limbah industri batik.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pekalongan menerjunkan armada untuk menyedot air yang campur pewarna. Setelah disedot air yang berwarna warni itu pun berangsur-angsur hilang. Keterangan dari Dinas Komunikasi dan Informasi (Dinkominfo) Pekalongan, perlu tiga tangki menyedot air berwarna itu. Selanjutnya air dibuang ke IPAL di Banyuurip, sekalian mengambil sampel untuk pengujian di laboratorium.

 

***

Pekalongan bukan satu-satunya kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang terendam banjir pada musim penghujan kali ini. Kendal, Semarang, dan Demak juga mengalami kisah sama.

Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat sejak Jumat malam, 5 Februari hingga Minggu 7 Februari, menyebabkan beberapa wilayah Kendal mengalami banjir dan tanah longsor. BPBD Kabupaten Kendal melaporkan, banjir akibat saluran air tersumbat sampah terjadi di 69 desa atau kelurahan di 12 kecamatan. Ketinggian banjir mulai 20 cm hingga 100 cm. Tanah longsor terjadi di enam desa dari enam kecamatan.

Banjir di Semarang dan beberapa kota di pesisir Jawa Tengah membuat tiga menteri Kabinet Joko Widodo turun langsung meninjau ke lapangan.

Pada Sabtu, 6 Februari, Basuki Hadimuljono meninjau pompa di kawasan Kota Lama. Pada Minggu, 7 Februari, giliran Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi datang ke Bandara Ahmad Yani dan Stasiun Tawang. Menteri Sosial, Tri Rismaharini pada Minggu sore, 7 Februari mendatangi tanah longsor di Jomblang, Kecamatan Candisari, Semarang, juga mengunjungi lokasi pengungsian dan dapur umum.

Sukasno, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Semarang, mengatakan, hujan ekstrem menjadi penyebab banjir di Semarang.

BMKG merilis peringatan untuk mewaspadai potensi cuaca ekstrem awal Februari. Curah hujan dengan intensitas lebat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Terkait berbagai benacana alam di pantura, Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Tengah menjelaskan, tidak ada penyebab tunggal dari peristiwa banjir dan tanah longsor yang berdampak pada ribuan warga bahkan jatuhnya korban jiwa itu. Penumpukan masalah dari hulu dan hilir menjadikan bencana ekologis itu berdampak luas.

“Pola tata ruang juga masuk dalam faktor yang mempengaruhi karena ada beberapa hal seperti daerah-daerah resapan air dan tangkapan air semakin berkurang karena perubahan pola ruang untuk proyek-proyek infrastruktur, industri dan permukiman,” katanya yang dihubungi Mongabay.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) juga berpengaruh, selain perubahan iklim yang salah satu dampaknya adalah cuaca ekstrem.

“Perlu ada evaluasi dari pemerintah daerah terkait bagaimana mitigasi dan adaptasi bencana, serta rehabilitasi daerah-daerah tangkapan dan resapan air serta mengembalikan fungsi DAS.”

Merujuk peristiwa banjir berwarna merah di Pekalongan, dan limbah batik yang masih menjadi persoalan lingkungan, kata Fahmi, bisa jadi bahaya limbah kimia kalau sampai mencemari sumber air baku.

“Kita melihatnya cukup berbahaya karena limbah pabrik itu bahan kimia, yang ketika banjir kemarin bisa jadi mengintrusi ke sumur-sumur warga. Bisa berdampak kepada ketersediaan air bersih di masyarakat.”

Fahmi menilai, cuaca ekstrem seperti siklus 50 tahunan bukan satu-satunya penyebab banjir. Fungsi-fungsi hidrologis di wilayah hulu telah kalah oleh kepentingan jangka pendek, hingga tidak mampu menyangga tekanan lingkungan seperti saat curah hujan tinggi. Di hilir, katanya, perubahan alih fungsi pesisir memperparah dampak banjir.

 

 

****

Foto utama: Banjir melanda kawasan Perumahan Cikarang Bar, Bekasi pada 20 Februari 2021. Foto: dari Facebook Amril Taufik Gobel

 

 

 

 

 

Exit mobile version