Mongabay.co.id

Potensi Integrasi SVLK dan Program Hutan Tanaman Rakyat

Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan manusia, -termasuk penyediaan kayu  sebagai bahan baku industri dan rumah tangga, turut semakin meningkat. Kebutuhan ini tentu saja perlu diantisipasi, agar tidak berpengaruh buruk terhadap laju pengurangan hutan. Sebagai catatan deforestasi yang terjadi pada periode 2018-2019 di Indonesia mencapai 462.458,5 hektar.

Kebutuhan akan kayu mustahil untuk bisa dicegah. Dengan demikian, perlu dicari cara-cara agar penyediaan, perdagangan, dan distribusi kayu yang dapat sejalan dengan aspek perlindungan dan tata kelolanya.

Sejauh ini langkah percepatan perbaikan tata kelola kehutanan dan peningkatan perdagangan kayu legal Indonesia telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020.

Skema SVLK sendiri merupakan jawaban pemerintah sebagai bentuk Good Forest Governance menuju pengelolaan hutan lestari yang dalam pelaksanaannya melibatkan para pemangku kepentingan sesuai prinsip akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas.

Dalam SVLK, ketelusuran dan jaminan kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu dilakukan lewat dasar sertifikasi penilaian kinerja. Prosedurnya dibuktikan lewat dokumen penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari, sertifikasi legalitas kayu dan deklarasi kesesuaian pemasok.

Baca juga: Kisah Kamijan, Dulu Perambah Kini Penyelamat Hutan Kalibiru

 

Hutan Tanaman Rakyat di Desa Batu Jangkih, Lombok. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kemitraan Hutan Tanaman Rakyat

Salah satu pemangku kepentingan utama sebagai pemasok kayu adalah hutan rakyat. Hutan rakyat yang dikelola baik tidak hanya mendorong industri kayu yang lestari dan berkelanjutan, namun juga menjadi sumber pengembangan ekonomi warga di perdesaan.

Sesuai dengan regulasi yang ada, kelompok-kelompok masyarakat dimungkinkan untuk memiliki legalitas pengelolaan areal hutan lewat program Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Polanya, masyarakat setempat membangun hutan tanaman pada suatu kawasan hutan produksi dengan berbasis silvikultur tanaman. Tujuannya meningkatkan potensi dan produktivitas volume tegakan yang ada di kawasan hutan, termasuk kewajiban untuk menjaga dan melakukan rehabilitasi hutan secara kontinyu.

Dalam konsep kelola HTR masyarakat diberi keleluasaan menentukan pola tanaman yang sesuai dengan kebutuhan di daerah tersebut. Masyarakat dapat melakukan kegiatannya berdasarkan kemandirian (swakelola) atau dengan cara bermitra dengan pihak lain.

Harapannya lewat optimalisasi lahan, pemanfaatan areal tanaman dapat semakin sesuai dengan memperhatikan kondisi tapak areal.

Namun, tidak bisa kita pungkiri seringkali masyarakat daerah selalu terkendala dalam mengelola hutan, baik karena faktor keterbatasan modal, keterbatasan kapasitas pengetahuan, juga dalam kemampuan memasarkan produk yang mereka miliki.

Baca juga:  Hutan Tanaman Rakyat di Lombok, Dulu Kayu Sekarang Melirik Wisata

  

Pemangkasan kayu biti di area demplot HTR yang dikelola Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di Sulawesi Tenggara. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Hutan Tanaman Rakyat dan Peluang Skema SVLK

Mengacu pada Pasal 31 Permen LHK Nomor P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 sebenarnya sudah tercantum bahwa pemegang IUPHHK-HTR dapat dan berhak untuk mendapatkan pendampingan dan pelatihan untuk penguatan kapasitas, akses biaya dari pemerintah dan bantuan Tenaga Teknis.

Masyarakat yang telah mampu dengan baik mengelola hutan tentu berharap mendapat nilai ekonomis dari hasil hutannya, termasuk pemasaran produk yang dihasilkan. Dalam kerangka ini, SVLK bisa menjadi jawaban yang dapat ditawarkan dalam integrasi sistem hulu ke hilir produk perkayuan yang dihasilkan oleh rakyat.

Dengan adanya dokumen V-Legal atau lisensi FLEGT yang ada di dalam skema SVLK, produk HTR dapat didorong dan dipasarkan agar dapat menembus pasar internasional. Kondisi ini ke depan tentu dapat menjadi angin segar bagi masyarakat pemilik Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berusaha di bidang perkayuan dan produk hasil hutan.

Dengan adanya proses sertifikasi, maka pengurusan Izin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), keleluasaan untuk bermitra, Fasilitasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, sampai kepada proses perizinan Dokumen V-Legal dapat lebih jelas dengan produk yang dapat digaransi.

Agar dapat mencakup proses dari hulu ke hilir bagi para pengelola HTR dan pelaku UMKM, maka dibutuhkan sinkronisasi peraturan yang terintegrasi secara harmonis, yang saat ini diatur dalam:

(1) Permen LHK Nomor P.11/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2020 Tentang Hutan Tanaman Rakyat.

(2) Permen LHK Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan Hutan Hak, Atau Pemegang Legalitas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.

(3) Permendag Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

(4) Permendag Nomor 93 Tahun 2020 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Secara teoritis seharusnya peraturan yang terintegrasi di atas akan membuat kemudahan dalam berusaha bagi pelaku UKM. Sayangnya itu belum terjadi, kerap di lapangan, belum ada koherensi yang dapat dijadikan pegangan dan pendorong kesejahteraan masyarakat di desa-desa hutan.

Keadaan tersebut, tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Dalam ranah kebutuhan masyarakat, maka hal yang perlu dilakukan ke depan harus mencakup:

Pertama, diperlukan sosialisasi yang mendalam terhadap peluang dan potensi tersebut kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat yang hidup berada disekitar hutan.

Kedua, diperlukan penguatan kapasitas dan pendampingan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat khususnya UMKM pelaku industri kayu, termasuk pemberian insentif berupa bantuan yang dapat diberikan dan tata cara untuk mendapatkan bantuan tersebut.

Ketiga, pemerintah harus bisa menjamin pasar kayu legal di Indonesia dengan menutup seluruh akses bagi kayu yang tidak memiliki legalitas. Tentu saja jika ini bisa berlangsung, maka angka kerusakan hutan dapat menurun dan nilai ekonomi pemanfaatan hutan dapat tercapai.

Dalam posisi ini, tentu pemerintah dan pemda tidak bisa lagi bersifat pasif dalam kegiatan menyebarkan informasi dan penguatan kapasitas masyarakat. Demikian pula, pelibatan pihak lain seperti pihak swasta amat penting dalam berjejaring untuk menembus pasar ekspor internasional.

Hutan yang berkelanjutan tentu akan banyak  membawa keuntungan, tidak saja bagi masyarakat yang mengelola hutan, namun juga seluruh umat manusia.

 

* Pataka Dieki Al Muhri,  penulis adalah Legal Analyst pada Komunitas Konservasi Indonesia WARSI. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Tegakan kayu jati di Hutan Tanaman Rakyat Wonolestari, Bantul, DIY. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version