Mongabay.co.id

Riset: Jenis Sampah Di Pesisir Jadi Potret Kondisi Daratan

 

Dua peneliti melakukan serangkaian riset sampah plastik di lautan Indonesia untuk membuktikan hasil riset Jenna R Jambeck dari Universitas Giorgia (2010) yang menyebutkan jumlah sampah plastik laut terbanyak kedua di dunia di lautan Indonesia.

Meski Indonesia bukan produsen sampah plastik terbesar, riset Jambeck menyebutkan ada sekitar 12 metrik ton per tahun masuk ke lautan Indonesia dari 415 metrik ton secara global.

Dua peneliti yaitu I Gede Hendrawan, Ph.D dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, Bali dan dan I Made Kris Adi Astra, M.Sc dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Bali menyajikan analisis sebaran sampah di laut pada Diskusi Online “Menelusuri Gempuran Sampah Laut” pada Sabtu (13/2/2021) oleh BaleBengong dan Warmadewa Research Centre.

Kedua peneliti berusaha mempelajari sejumlah pemodelan dan arus laut untuk memberi masukan pada pemerintah dari riset di laut, kawasan hilir yang terdampak sampah dari hulu.

I Gede Hendrawan ini memiliki pengalaman pada pemodelan oseanografi, pemrograman komputer, dan konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Ia sudah mempublikasikan beragam riset terkait sampah di laut ini sejak 2014.

Bali dinilai jadi barometer kondisi yang akan mencitrakan Indonesia, baik lingkungan maupun pariwisata, termasuk limbah plastik. Hampir dua dekade ini, Pantai Kuta jadi etalase musim terdamparnya sampah di pesisir. Termasuk tahun 2021 ini.

baca : Tahun Baru 2021, Panen Sampah Laut Lagi di Bali

 

Onggokan sampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana itu terjadi?

Hendrawan mengatakan dari riset modeling oceanografi di hampir 50 titik di seluruh Bali pada 2017, 2019, dan 2020, datanya hampir sama. Menggunakan metode CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation), sampah plastik dibagi dua jenis yakni sudah terfragmentasi dan utuh. Terfragmentasi karena mengalami penguraian di laut. Sebagian besar bersumber dari pembungkus makanan. Ada juga plastik bening, tas kresek, sedotan, dan styrofoam. Sedangkan jenis plastik keras tidak terlalu banyak. Tiap bulan peneliti sampling dalam rentang 500 meter, dengan 50-100 transeks, dan hasilnya, plastik mendominasi 80%. “Puncaknya di Maret, karena dipengaruhi iklim,” jelas dosen yang menempuh S3 di Yamaguchi University ini.

Pantai dinilai sebagai potret kondisi di darat karena sekitar 80% sampahnya dari darat. Misalnya kalau ada banyak limbah batang kayu, berarti ada masalah hutan. Demikian juga jenis sampah plastik dari produk yang dikonsumsi. Pergerakannya dari utara Selat Bali menuju Selatan.

“Jika tahun ini banyak sampah plastik di laut karena banyaknya penggunaan plastik selama pandemi dan tidak dikelola,” tambah Hendrawan.

Sebaran sampah tergantung populasinya, misal dekat pasar, dan lainnya. “Jika ada yang bilang itu sampah kiriman dari Jawa, ya tidak bisa begitu juga. Bali juga harus berbenah. Sungai-sungai di dekat pusat pariwisata menyumbang sampah lebih banyak,” jelasnya terkait hasil riset sebelum pandemi ketika industri pariwisata belum terhantam COVID-19.

Bagaimana Bali dengan daerah lain, Jawa dan Sumatera?

Jawa Timur adalah salah satu daerah yang berperan mengirimkan sampah terdeposisi di Selat Bali.

Teluk Benoa pun diketahui menjadi lokasi banyaknya endapan mikroplastik. Riset lain menyatakan 80% sampel ikan lemuru di Selat Bali terkontaminasi mikroplastik. Dari 45 sampel, pada lemuru kucing ditemukan lebih 2,13 partikel mikroplastik, dan lemuru protolan satu partikel.

baca juga : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Onggokan sampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Untuk melanjutkan riset sampah laut ini, Hendrawan bekerjasama dengan Inggris melakukan penelitian kolaboratif selama empat tahun ke depan untuk menganalisis model mikro dan makro, dampak iklim, termasuk kontaminasi sampah plastik ke ekosistem.

Sejumlah riset Hendrawan dan rekannya terkait sampah di laut adalah Kajian pencemaran sampah di Pantai Kuta, Kabupaten Badung, Bali (2014). Survey biofisik dan sosial ekonomi pesisir Provinsi Bali. Karakteristik total padatan tersuspensi (total suspended solid) di perairan Teluk Benoa (2015)

Ada juga bertajuk Marine debris along coastline of Bali Island bekerja sama dengan CSIRO-Australia (2017). Berikutnya Studi Pergerakan Sampah Lautan Dengan Pemodelan Numerik di Perairan Selat Bali: Hubungannya dengan Pencemaran Sampah di Pantai Kuta (2016). Pada 2016-2018, melakukan riset tentang Implication Of Microplastics Ingestion On Threatened Filters Feeders, bersama Megafauna Foundation dan Murdoch University.

Peneliti lain adalah I Made Kris Adi Astra, M.Sc yang memiliki kompetensi geo-modeling. Ia juga tertarik menelusuri alur sampah laut dan menguji modelling yang saat ini digunakan.

Kris menyelesaikan studi S2 di Jerman, Master of Geophysics di Karlsruhe Institute of Technology-German. Ia membuat sejumlah penelitian geofisika mengenai prediksi gempa bumi dan kini sedang melakukan riset swadaya pergerakan sampah di laut karena menekuni modeling.

Ada sekitar lima model yang coba dikonfirmasi. Di antaranya, model yang dikeluarkan Husrin pada 2017, dan KKP: Pranowo (2021). Sejumlah model itu menurutnya belum memasukkan model deposisi dari sungai.

baca juga : Laut Indonesia dalam Ancaman Sampah Medis COVID-19

 

senja bersampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
di pantai kedonganan-feb 2021

 

Tiga hari setelah banjir bandang di Medewi, Jembrana, Bali pada awal 2021 ini, ia mengobservasi terdamparnya sampah di muara yang didominasi kayu dari aliran sungai. Kris juga melakukan observasi di muara Sungai Yeh Gangga, Tabanan, Bali pada 18 Januari dan tidak menemukan banyak sampah di dekat muara. Ketika aliran air masuk ke muara, sisi kiri pesisirnya tidak terdeposisi sampah.

Kris yang bekerja di BMKG Bali dan menulis buku 200 Tahun Gejer Bali mengatakan mempercayai model-model yang digunakan sejumlah peneliti, tetapi angkanya bisa diperdebatkan. “Kalau sampah dari Jawa, menurutnya akan masuk timur pantai Bali. Namun, sampah di pesisir Timur tak signifikan seperti di Pantai Kuta dan sekitarnya yang berada di Selatan Bali.

Kalau memasukkan arus debris di Pantai Selatan Bali, dari Jawa pun tidak bisa serta merta masuk Kuta. “Tidak serta merta masuk laut karena bisa dikembalikan oleh arus,” lanjut Kris yang melakukan penelitian ini secar independen. Sedangkan sampah di Kuta cenderung homogen seperti botol dan gelas plastik minuman serta kemasan.

Dari semua pemodelan itu, ada satu aspek yang menurutnya belum masuk yakni aspek deposisi dari arus laut. Dengan memperhatikan deposisi, sebaran sampah akan ada di pesisir kiri dan kanan muara sungai. Ia juga memasukkan aliran arus dari Samudera Hindia dan pertimbangan massa jenis air dan jenis sampah yang mengambang.

perlu dibaca : Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Aktivitas nelayan di tengah sampah laut di Kedonganan, Badung, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bersama rekannya Pande Putu Purnawaman, penelusuran ini juga memotret situasi muara sungai dari udara setelah hujan deras di Pantai Petitenget dan Berawa, Badung. Untuk kasus terdamparnya sampah laut di Pantai Kuta awal tahun ini ia menduga dari pembuangan sekitar Kuta.

Respon otoritas pemerintah terhadap serial riset yang dilakukan sejauh ini perlu diikuti aksi nyata. Karena aktivitas pariwisata banyak di laut. “Kita bekerja sama dengan pemerintah, memberikan masukan bahwa kondisi lingkungan sudah kritis. Ikan-ikan kita sudah makan plastik. Ada juga rekomendasi. Sudah ada kebijakan, tetapi penegakan hukumnya kurang,” papar Hendrawan.

Aksi lain adalah menyiapkan strategi saat musim-musim terdampar sampah untuk menyiapkan sarana prasarana. Jika pemodelan arus sampah di laut jadi panduan bagi petugas kebersihan, maka memudahkan koordinasi dan penanganan.

Instrumen, infrastruktur, penegakan hukum, dan pendidikan kesadaran harus dilakukan bersama-sama. Tidak hanya oleh pemerintah. Terkait istilah “sampah kiriman” yang kerap jadi alasan menangkis masalah sampah di pesisir Bali, Hendrawan tidak menyetujuinya karena sebagian juga sampah dari Bali. “Sampah di laut tidak punya teritori. Dia bisa mau ke mana saja. Karena sistem perairan laut kita memang begitu,” ingat Hendrawan.

Perubahan signifikan pemerintah sejauh ini adalah sejumlah Pergub larangan sekali pakai dan pengolahan sampah di sumber namun perlu komitmen dalam pelaksanaannya.

Terkait verifikasi pemodelan sampah di laut, menurutnya tergantung dari tujuan dan wilayahnya. Kalau dilakukan skala mikro bisa mendapat perkiraan lebih detail.

 

Exit mobile version