Mongabay.co.id

Mereka Nilai Perlindungan bagi Pejuang Lingkungan Hidup dan HAM Masih Lemah

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara--secara adat itu hak ulayat--, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Perlindungan terhadap pejuang atau pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia di Indonesia, masih lemah, antara lain bisa terlihat dari laporan Yayasan Pusaka di Papua dan Kalimantan Tengah. Komnas HAM juga menyatakan, lemahnya perlindungan termasuk regulasi bagi pembela lingkungan hidup. Pada masa pandemi COVID-19, kasus konflik lahan, intimidasi maupun kriminalisasi terus terjadi, satu contoh dialami Suku Awyu di Papua.

“Hutan adalah kehidupan, menjual hutan sama dengan menjual kehidupan, hutan hilang masyarakat adat hilang,” kata Franky Woro, paralegal Cinta Tanah Adat.

Komunitas paralegal ini dibentuk dengan tujuan advokasi mempertahankan tanah adat Suku Awyu, di Papua. Wilayah adat suku ini masuk dalam konsesi perusahaan PT Menara Group (kini PT Indo Asiana Lestari).

Keterancaman wilayah adat ini terjadi sejak 2007, sekitar 270.000 hektar tanah adat Suku Awyu menjadi perkebunan sawit. Konflik ini terus terjadi, hingga pada 15 November 2020, tempat tinggal Egidius Suam, Kepala Suku Awyu yang menolak perusahaan didatangi beberapa intel dari Polres Boven Digoel dan mendapatkan ancaman.

Dia dipaksa datang untuk menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat yang setuju tanpa kesempatan untuk berpendapat. Cerita Franky Woro ini satu dari 42 kasus yang ditangani Yayasan Pusaka Bentala Rakyat sepanjang 2020.

Dalam catatan Yayasan Pusaka, dalam 2020, ada lima jenis pelanggaran HAM terjadi, hak atas hidup (16 kasus), hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul (13 kasus), dan hak atas rasa aman (10 kasus). Lalu, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (dua kasus), dan hak atas pekerjaan yang layak (satu kasus).

“Kasus tertinggi dari pelanggaran HAM adalah hak atas hidup, 16 kasus. Ada kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan,” kata Rasella Malinda, peneliti dari Yayasan Pusaka dalam diskusi “Tak Surut Meski Pandemi,” belum lama ini.

Adapun aktor terduga pelaku merupakaran bagian dari aparatur negara, yakni TNI/Polri, dan non militer, serta korporasi. Ada 14 warga sipil meninggal dunia, pelayan agama.

Yayasan Pusaka menilai, keterancaman pembela lingkungan dan HAM ini menunjukkan, negara gagal dalam menjalankan fungsi memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak kepada pembela HAM atas lingkungan.

Pada 2020, kata Rasella, menjadi tahun berbahaya bagi para pejuang dan pembela lingkungan. Pasalnya, mereka mengalami banyak ancaman intimidasi, sampai kriminalisasi.

 

Baca juga: Kala Korporasi Gugat Hukum Lagi Saksi Ahli Lingkungan

Masyarakat adat di Merauke, menolak  wilayah adat mereka jadi kebun sawit Foto: Agapitus Batbual

 

Situasi diperparah oleh kebijakan yang terbit saat pandemi, seperti food estate dan omnibus law yang rawan berdampak pada lingkungan hidup dan sosial, dan deforestasi.

Dia contohkan, kekhawatiran terhadap omnibus law antara lain, ada penghapusan pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan hidup, menghilangkan partisipasi masyarakat dalam memutuskan sebuah proyek. Juga, menghilangkan kewajiban usaha dalam pemenuhan standar lingkungan hidup, keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang merusak lingkungan, sebelumnya pidana menjadi sanksi administratif. Juga, mengurangi hak atas informasi, menghapus kewenangan PTUN membatalkan perizinan, menghapus sanksi pembekuan dan pencabutan izin dan lain-lain.

Belum lagi, pemerintah pusat kembali akan usung food estate di Papua. Padahal, kata Rosella, proyek food estate lalu yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan malahan memarginalisasi masyarakat adat. Yang terjadi malah ekologi dan sosial memburuk.

Selain di Papua, Kalimantan Tengah pun menjadi sorotan Yayasan Pusaka. Pada 2019, sebanyak 35 peladang tradisional dikriminalisasi dengan tuduhan pembakaran hutan.

“Masyarakat adat lagi-lagi di tengah pandemi dihadapkan dengan kriminalisasi, pengakuan dan dituntut modernisasi melalui food estate,” kata Ditta Wisnu, peneliti Yayasan Pusaka di Kalimantan Tengah.

Dia mengatakan, program food estate di Kalteng terancam gagal. Banyak petani tidak mengerti pakai teknologi pertanian yang digunakan dalam food estate ini, bibit pertanian tak cocok dengan lahan, dan distribusi padi, gabah dan lain-lain secara online, padahal akses jaringan telepon susah.

“Program ini tidak logis dan akan terjadi pengulangan di lahan eks PLG (proyek lahan gambut). [Kini] kalau musim hujan mereka kebanjiran, saat kemarau kebakaran,” katanya.

 

Gusti Maulidin (kiri) dan Sarwani, dua peladang yang ditangkap,  sesaat setelah tiba di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kalteng. Foto: AMAN Kotawaringin Barat

 

Masih lemah

Secara terpisah, Sandrayati Moniaga, Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengatakan, regulasi perlindungan bagi pembela lingkungan hidup hingga saat ini masih sangat lemah.

“Masih banyak pejuang lingkungan dikriminalisasi,” katanya.

Komnas HAM mengklasifikasi pembela lingkungan sebagai pembela hak asasi manusia. Mereka dilindungi UU, yakni Pasal 66 UU Nomor 32/2009. Aturan ini menyebutkan, orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana maupun perdata.

Meski demikian, katanya, regulasi ini seakan tak jalan. Berdasarkan catatan Komnas HAM 2012-2019, terdapat 547 konflik agraria diadukan dan ditangani, 84 kaitan dengan pembangunan infrastruktur.

Selain itu, juga konflk kebijakan penetapan dan tata batas kawasan hutan dan penerbitan izin-izin di lahan masyarakat.

Ke depan, katanya, konflik agraria akan meningkat kalau proyek pembangunan infrastruktur kian meluas dan tambah ada omnibus law. Kasus yang mencuat, seperti pembangunan pelabuhan baru di Makassar, Sirkuit MotoGP di Mandalika, Lombok, NTB, dan pengembangan kawasan wisata Danau Toba, Sumatera Utara dan lain-lain.

 

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Belum jalan

Dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 32/2009, kata Sandra, sebenarnya sudah ada upaya melindungi pembela lingkungan hidup. Sayangnya, aturan turunan belum ada.

“Semoga Permen LHK yang menjadi turunan UU 32/2009 segera disahkan dan bisa menjadi pedoman dalam melindungi aktivis pembela lingkungan.”

Rasella mengatakan, perlu keseriusan presiden sebagai kepala negara dalam melaksanakan perlindungan pembela HAM, yang hingga saat ini aturan pelaksana tak kunjung ada.

“Ketiadaan aturan pelaksana berdampak kepada sikap aparatur negara dalam memandang pembela HAM yang diikuti pelaku bisnis.”

Dia berharap, Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjalankan fungsi sebagai lembaga negara independen untuk aktif memantau lapangan.

Yayasan Pusaka, katanya, mendesak pemerintah pusat dan daerah harus mengakui, memberdayakan dan melindungi pembela HAM.

Yuliana Langowuyo, SKPKC Fransiskan Keuskupan Jayapura menyebutkan, hingga kini masih belum jelas siapa saja yang masuk dalam kategori pembela HAM yang dijamin dalam UU PPLH.

“Mekanisme dan implemenasi bagaimana UU itu bisa menjamin keselamatan para pembela lingkungan,”katanya. Di Papua, pun belum ada LPSK di hingga para pembela HAM sulit kalau mau meminta bantuan untuk perlindungan.

 

 

 

****

Foto utama: Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, hidup dalam was-was kala wilayah maupun hutan adat mereka sewaktu-waktu bisa beralih ke izin usaha skala besar.  Perlindungan bagi mereka yang berupaya berjuang mempertahankan ruang hidup ini masih minim. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version