Mongabay.co.id

Ekowisata, Upaya Maksimal Warga Batu Ampar Merawat Alam

 

 

Sebuah tikar purun terbentang di tengah balai Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Di tengah tikar itu ada kain perca merah, yang di atasnya ada dua pedang-pedangan bambu dan sebuah griya kuningan untuk wadah daun sirih.

Tanpa isyarat, dua pemuda berpeci hitam, berkemeja cokelat dan bercelana kain dasar hitam dengan lilitan sarung di pinggang, maju beberapa langkah dari lingkaran warga dan pejabat desa yang mengelilingi balai tersebut.

Keduanya berjalan pelan, lalu berdiri berhadapan di antara tikar tersebut.

Sejurus kemudian kepala mereka menunduk memberi hormat, selanjutnya bersalaman. Berikutnya, keduanya bergerak cepat mengambil kuda-kuda rendah. Dengan sigap, tangan mereka menyambar pedang bambu di atas kain perca dan tikar itu.

Tak…tak…tak beberapa kali pedang mainan itu beradu.

“Mereka tengah memperagakan tarian pedang mencak,” kata Kepala Desa Batu Ampar, Harwan Iskandar kepada Mongabay Indonesia, pada Jumat [12/2/2021].

Tarian itu untuk menyambut tamu terhormat. Sedangkan sirih tanda keramahtamahan tuan rumah. Warga desa menyebutnya tegur sapa ‘Iben pamit magea rajo.’

Ini adalah hari istimewa bagi Desa Batu Ampar, sebab mereka tengah melakukan uji coba kegiatan ekowisata.

Tamu uji coba itu berjumlah delapan orang, yaitu anggota Komunitas Pencinta Puspa Langka Bengkulu, selebgram, wartawan, fotografer, dan mahasiswa. Mereka diundang untuk menguji kesiapan desa, yang nantinya diminta masukannya sebagai bahan evaluasi masyarakat Batu Ampar.

“Kami berharap agenda ekowisata desa ini lancar,” lanjut Harwan.

Mongabay Indonesia mendapat undangan khusus dari kepala desa tersebut. Program ini dilaksanakan sejak Jumat hingga Ahad [14/2/2020].

Baca: Pengembangan Objek Wisata di Bengkulu Harus Perhatikan Aspek Ekologi

 

Petani kopi di Desa Batu Ampar, Kepahiang, Bengkulu, tengah memetik biji kopi yang merah. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Menanam pohon

Matahari mulai bergerak ke barat, menjelang pukul 15.00 WIB, kami diarahkan oleh pemuda dan perangkat desa menuju perkebunan kopi. Jaraknya, tak lebih 10 menit berjalan kaki.

Kami membawa cangkul, sekop, juga beberapa bibit alpukat dan nangka. Bibit-bibit ini hasil budidaya kelompok Perempuan Alam Lestari [PAL] Desa Batu Ampar, mitra konservasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu-Lampung.

Kopi di desa ini tidak ditanam dengan konsep monokultur, namun dengan campuran. Dalam satu lahan perkebunan, ada kopi, durian, petai, pala, lada, hingga talas.

“Kami menerapkan agrofrestri,” kata Harwan sembari berjalan menuju ujung kebun yang berupa tebing jurang.

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan perpohonan dengan tanaman pertanian.

Sampai di tepi tebing, kami dipersilakan menanam bibit tadi. Setiap peserta kebagian dua pohon. Sedangkan saya mendapat bonus satu, yaitu dua alpukat dan nangka.

Prosesi menanam ini selesai menjelang matahari tenggelam.

Ketika malam tiba, kami berkumpul lagi di Balai Desa Batu Ampar untuk menyaksikan pertunjukan gitar tunggal. Penampilan ini menyuguhkan musik Batanghari Sembilan, musik yang lahir dan berkembang pesat di selatan Sumatera [Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu].

Batanghari Sembilan adalah bagian kebudayaan Melayu berbasis sungai, namanya diambil dari sembilan sungai yang bermuara ke Sungai Musi. Sungai Musi merupakan sungai terbesar di Sumatera Selatan yang membelah Kota Palembang. Batanghari Sembilan itu, Sungai Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Lematang, Leko, Ogan, dan Komering.

Musik Batanghari Sembilan ini bernada romantik, melankolik, dan naturalistik. Lirik lagunya berupa pantun tentang keluhan hidup, sindiran, percintaan, dan kegiatan sehari-hari warga di selatan Sumatera.

Dendang gitar tunggal itu selesai menjelang tengah malam. Kemudian ditutup lagu pop Indonesia.

Baca: Bengkulu Tidak Ingin Salah Arah Kembangkan Ekowisata

 

Harwan Iskandar, Kepala Desa Batu Ampar, Kepahiang, Bengkulu, tampak memetik kopi. Foto: Ahmad Supardi/ Mongabay Indonesia

 

Pembuatan gula aren

Pagi di hari kedua di Desa Batu Ampar, kami disunguhi kegiatan pembuatan gula aren. Dapur produksi berada di kebun kopi di kaki Bukit Hitam.

Taswin dan Herma petani gula aren itu. Taswin bertugas mengambil air nira dari pohon aren. Sedangkan Herma bertugas memasak gula tersebut. Proses masak ini memakan waktu sekitar empat jam.

Di kebun ini, para pengunjung ekowisata diajarkan cara mengambil air nira dari batang aren. Tahap pertama adalah menyandarkan tangga ke pohon aren, lalu tempat penadah air nira diganti wadah baru, namun sebelum diganti ujung mayang pohon aren diiris tipis, baru kemudian dipasang penadah baru. Bila dipasang pagi, penadah itu idealnya diambil sore nanti. Bila dipasang sore, maka diambil pagi.

Dalam sehari Taswin bisa memanen 6 liter air nira dari lima batang aren. Ketika dimasak, hasilnya sebanyak 3 kilogram gula aren. Harganya, 18 ribu per kilogram.

Selanjutnya, kegiatan kami menyaksikan aktivitas warga mengelola dan memasak rebung bambu. Rebong diolah menjadi tiga jenis, yaitu asam, manis, dan cacah.

Di tempat yang sama, kami juga menyaksikan proses memasak buah kolang-kaling. Buah yang memang cukup banyak di Batu Ampar.

Baca juga: Sekolah di Bengkulu Mulai Pakai Energi Surya

 

Taswin, petani gula aren sedang memanen air nira di Desa Batu Ampar. Foto: Ahmad Supardi/ Mongabay Indonesia

 

Dilarang memetik tumbuhan

Menjelang petang, sekitar pukul 15.15 WIB, perangkat desa dan sejumlah pemuda desa mengajak kami melihat habitat bunga Rafflesia.

Dari penuturan kepala desa, bunga ini pernah mekar tahun 2016. “Setelah itu tidak lagi. Penyebabnya, karena akar sebagai inang ditebang oleh orang tak bertanggung jawab,” katanya.

Bunga Rafflesia merupakan endoparasit, ia tumbuh pada tumbuhan merambat dari genus testratigma, keluarga vitaceae, sejenis tumbuhan dari keluarga anggur-angguran. Tumbuhan perambat itulah yang disebut inang bunga rafflesia.

Habitatnya di Desa Batu Ampar tidak jauh dari tempat pemakaman desa. Lokasinya, di lereng yang tembus langsung ke sungai. Lereng ini penuh semak dan pohon dengan kanopi rapat, sehingga menjadi hutan basah.

Dari hasil pencarian sore itu, disimpulkan masih ada harapan bunga rafflesia akan berkembang lagi. Sebab, masih ditemukan tumbuhan merambat tempat inangnya, walau masih sangat kecil.

Di tempat itu juga dimukan anggrek tanah [Bletilla striata], bunga kelelawar hitam [Tecca chantrueri], dan bermacam tumbuhan dari suku Zingibaracaae [temu-temuan]. Salah satunya bangle [Zingiber montanum].

Sayangnya, sejumlah peserta uji coba ekowisata tidak tahan melihat keindahan bunga liar yang tumbuh di lereng tersebut. Mereka berlomba mencabut dari habitatnya.

Agus Susatya, Dosen Jurusan Kehutanan, Universitas Bengkulu, yang juga ahli bunga Rafflesia dan pegiat ekowisata di Bengkulu menegaskan, tidak diperkenankan adanya pengambilan atau pengrusakan tumbuhan maupun hewan di habitat alam, dalam kegiatan ekowisata.

Ekowisata menurutnya harus menjadi perjalanan bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan. Selain itu juga, menopang kesejahteraan masyarakat dan menjadi wadah pendidikan lingkungan hidup.

“Prinsip ekowisata itu menyatukan konservasi lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, dan wisata berkelanjutan.”

Menurut dia, dengan prinsip tersebut maka penting sekali pihak tuan rumah ekowisata, membangun kesadaran lingkungan, budaya, dan rasa hormat.

Tentu bukan hanya memberikan pengalaman positif bagi pengunjung, tapi juga pengalaman interpretatif yang mengesankan bagi pengunjung. Dengan begitu, dapat meningkatkan sensitivitas terhadap iklim politik, lingkungan, dan sosial tempat tujuan wisata.

Baca juga: Bengkulu Memang Rumah Besar Rafflesia

 

Seorang pengunjung asik menikmati keindahan Air Terjun Donok di Desa Batu Ampar. Foto: Dok. Sopian Raflesia

 

Butuh peraturan desa

Agus menyarankan, aktivitas pengembangan desa ekowisata diimbangi dengan payung hukum berupa peraturan desa [perdes]. Tujuannya, agar kegiatan ini memiliki sistematis dan legalitas.

“Perlu juga dibentuk kelompok sadar wisata [pokdarwis] untuk membesarkan ekowisata itu,” kata dia.

Pokdarwis sebagai wadah pendidikan kesadaran dan kapasitas masyarakat atas pentingnya fungsi hutan dan lingkungan hidup alami, di tengah program ekowisata tersebut.

“Jangan sampai promosinya desa ekowisata, tapi aktivitasnya malah mengekspoitasi alam. Bahkan, berakhir dengan kerusakan lingkungan hidup.”

Sofian Rafflesia, Ketua Komunitas Pencinta Puspa Langka Bengkulu, yang juga peserta uji coba ekowisata turut menyarankan juga dibentuknya pokdarwis. Hal ini untuk mendorong sumber daya manusia yang memadai.

“Penguatan pengelola ekowisata dan warga desa yang sinergi akan menciptakan suasana kekeluargaan dan kenyamanan kepada tamu.”

Tak hanya itu, dia juga meminta pemandu ekowisata lebih banyak bercerita dan memberi informasi seputar kegiatan yang ditawarkan. Termasuk, mengajak tamu untuk beraktivitas di lapangan.

“Ini penting sekali supaya tidak membosankan.”

 

 

Exit mobile version