Mongabay.co.id

Menakar Nasib Masyarakat Adat Setelah Ada UU Cipta Kerja

Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit...Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Pengesahan Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak memberikan pengaruh positif bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa pasal yang berpihak terancam mandul karena ada kerangka regulasi yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Potensi situasi lebih buruk justru jauh lebih besar (Zakaria, 2021).[1]

Maka, tidak heran kalau UU Cipta Kerja lahir dengan hujan gugatan berbagai pihak, termasuk kalangan yang peduli dengan nasib masyarakat adat.[2]

Pemerintah pun menyusun berbagai peraturan pemerintah sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja ini.

 

Tidak berubah

Dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum,[3] subyek hukum yang berhak atas ganti rugi dalam proses pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi kepentingan umum, salah satu masyarakat hukum adat. Ia tampak pada Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan, pihak yang berhak sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari: (a) pemegang hak atas tanah; (b) pemegang hak pengelolaan; (c) nazhir untuk tanah wakaf. Kemudian, (d) pemegang alat bukti tertulis hak lama; (e) “masyarakat hukum adat”; (f) pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; (g) pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau (h) pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Meski begitu, pengakuan gamblang ini, sebagaimana terjadi pada masa-masa sebelum UU Cipta Kerja diundangkan, belum membuat nasib masyarakat adat jadi lebih baik. Sebab, logika hukum bersyarat dan bertingkat tetap bertahan. Padahal, sebagaimana ditunjukkan Zakaria, 2018[4] dan Zakaria, et.al., 2020[5], alih-alih memenangkan kepentingan masyarakat adat, logika hukum ini malah membunuh (kepentingan) masyarakat.

Bertahannya logika hukum yang merugikan kepentingan masyarakat adat ini tampak jelas pada Pasal 23. Lengkapnya, pada ayat (1) menyebutkan, “Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf e merupakan sekelompok orang yang menguasai tanah ulayat secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan, atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang masih ditaati. Hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.”

Ayat (2)  “Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), “keberadaannya diperkuat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ayat (3) menyebutkan, “Tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanah di wilayah penguasaan kesatuan masyarakat hukum adat dan tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah atau hak pengelolaan.”[6]

Pengaturan yang demikian itu seperti berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Substansi serupa ini pernah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Sebagaimana Pasal 22 ayat (2), masyarakat hukum adat yang berhak memperoleh ganti rugi/kompensasi adalah “masyarakat hukum adat yang sudah ditetapkan dengan peraturan daerah.”

Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh Zakaria, et.al. (2020),[7] selain ada logika hukum pengakuan bersyarat dan bertingkat/bertahap ini, masalah lain yang dihadapi peraturan perundang-undangan ini adalah unit sosial sebagai subyek hak yang perlu ditetapkan melalui peraturan daerah itu tak kompatibel dengan realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan.

Kerangka hukum saat ini hanya menyasar susunan masyarakat hukum adat yang memiliki kewenangan publik dan privat secara sekaligus, seperti nagari dalam konteks Minangkabau.

Padahal, macam unit sosial di lapangan itu sangat beragam. Kecuali yang memiliki kewenangan publik-privat lebih banyak lagi susunan masyarakat adat yang bersifat privat saja (satuan-satuan sosial berdasarkan hubungan kekerabatan).

Masing-masing susunan masyarakat adat itu tentu dengan sendirinya memiliki kapasitas beragam pula dalam mengakases proses legislasi untuk menghasilkan peraturan daerah yang dibutuhkan. Kecuali di beberapa daerah, penguasaan tanah adat lebih banyak pada susunan masyarakat adat yang bersifat privat ini ketimbang bersifat publik-privat.[8]

Dalam kasus ganti rugi tanah adat untuk proyek pembangunan seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71/2012 boleh jadi akan langsung habis. Bahkan, tidak akan cukup untuk menghasilkan peraturan daerah yang disyaratkan itu. Sebuah logika hukum yang sangat aneh.

 

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adat Banemo, di Halmahera Tengah, Maluku Utara, lepas kepada perusahaan sawit di masa jelang pergantian Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, September 2014. Kini, hutan yang juga penyimpan air bersih warga ini masih terancam karena izin belum dicabut. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Ulang pengalaman masa lalu

Pasal 23 ayat 2, memang tak langsung menyebutkan penetapan keberadaan masyarakat adat melalui peraturan daerah. Melainkan menyebut “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pertanyaannya, peraturan perundang-undangan yang mana yang akan diacu? UU Cipta Kerja sendiri tidak mengatur hal ini.[9]

Merujuk pengalaman masa lalu, khawatir frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” akan diartikan sebagai “ditetapkan dengan peraturan daerah.”

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Masa reformasi pun, tidak, atau belum ada peraturan perundang-undangan yang menindaklajuti amanat UU Nomor 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria terkait pengakuan atas hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Baru pasca-reformasi muncul Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Aturan ini mengamanatkan pengaturan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat melalui peraturan daerah.

Kebijakan ini, sama sekali tak mengatur tentang perlu penetapan subyek melainkan mengatur langsung pengakuan obyek hak (atas tanah adat/ulayat).[10]

Logika hukum ini berubah seiring kemunculan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang antara lain mengukuhkan keberadaan Pasal 67 ayat 2 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal ini menyatakan, “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah”.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pun dicabut. Kemudian berganti dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Dalam Kawasan Tertentu.

Setahun kemudian, ganti lagi dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

Selanjutnya, tanpa sempat digunakan secara luas, kecuali untuk beberapa kasus, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 10/2016 ini pun kemudian dicabut berganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Kebijakan ini kembali mengatur tentang pengakuan tanah ulayat. Namun, mengikuti logika Pasal 67 ayat (2) jo Putusan MK 35 Tahun 2012. Menurut kebijakan ini, tanah ulayat akan didaftar di Kantor Pertanahan jika subyek hak sudah ditetapkan dengan peraturan daerah.[11]

 

Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Orang Rimba, sedang mengupas gadung, bahan pangan mereka. Foto: Suwandi

 

Pasal-pasal menguatkan

Sangat disayangkan, logika pengakuan hak masyarakat adat atas tanah adat ini dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, tidak atau belum berubah. Padahal, dalam beberapa kesempatan, terlihat ada niat baik memenangkan kepentingan masyarakat adat ini. Misal, seperti diatur pada Pasal 22 ayat (2) alat bukti penguasaan tanah secara adat tidak lagi formalistik dan positivistik. Disebutkan, “Dalam hal alat bukti tertulis hak lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditemukan atau tidak berlaku lagi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, pemilikan atau penguasaan dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari yang bersangkutan dan keterangan dari orang yang dapat dipercaya dan disaksikan paling sedikit dua orang saksi.”

Selanjutnya, pada bagian Penjelasan untuk Pasal 22 ayat (2) ini tercantum, “Saksi merupakan orang yang dapat dipercaya, bisa karena fungsinya [sebagai tetua adat setempat] dan, atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.” Begitu pula dengan pengaturan pada Pasal 25.

Pada bagian Penjelasan untuk ayat (1) dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan ada penguasaan bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misal, pemegang akta jual beli atas hak atas tanah yang belum balik nama, [pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat] dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan hak atas tanah, ganti kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Demikian pula dengan pengaturan pada Pasal 41 ayat (3) yang menyatakan, “Dalam hal terdapat objek pengadaan tanah yang berstatus tanah ulayat, instansi yang memerlukan tanah berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat adat. Ini untuk mendapat kesepakatan dan penyelesaian dengan masyarakat yang bersangkutan, tertuang dalam berita acara kesepakatan”.

 

Kampung baru hasil reclaiming Desa Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Langkah ke depan

Sebuah logika hukum baru untuk proses pengakuan hak masyarakat adat atas tanah-dan hak-hak lain pada umumnya– adalah suatu keniscayaan. Logika sekarang mengingatkan kita pada yang pernah terjadi masa kolonia Hindia Belanda.

Ketika itu, penduduk terbagi dalam tiga golongan: Orang Eropa (dan, atau penduduk berkulit putih lain), Orang Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan Asia Selatan, misal), dan Bumiputra.

Sebagai penduduk kelas tiga, Bumiputra mengalami sejumlah pembatasan, seperti hak keperdataan. Agar hak keperdataan golongan Bumiputra atas tanah diakui dan mendapat acte van eigendom (sertifikat hak milik), subyek hukum terlebih dahulu harus mendapatkan keputusan (besluit) dari pemerintah cq. Departemen Dalam Negeri.

Masa itu, surat keputusan penyamaan kedudukan hukum kepada orang Bumiputra itu dapat diberikan bilamana orang yang bersangkutan memenuhi lima syarat, pertama, berhasil menunjukkan dia bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti orang Belanda. Kedua, berpakaian seperti orang Belanda. Ketiga, bergaul dalam komunitas Belanda. Keempat, kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda. Kelima, sedapat mungkin beragama sama dengan orang Belanda, yaitu Kristen.

Politik diskriminatif terhadap masyarakat adat sudah saatnya diakhiri. Masyarakat adat yang sejak sebelum Republik Indonesia lahir dan yang telah beranak-pinak di wilayah kedaulatan pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 sejatinya adalah warga negara Republik Indonesia. Berbeda dengan dengan konsep warga negara yang berlaku umum, warga negara RI yang bersangkutan telah mengembangkan dan, atau menjadi bagian dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum tertentu, yang secara ekplisit diakui konstitusi, seperti Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3).

Dengan sistem-sistem (pra-negara) itu, meminjam kaca mata Clifford Geertz, warga negara yang bersangkutan adalah yang melampaui hak-hak pribadinya sebagai warga negara suatu negara modern (modern state). Dengan menjadi bagian atau menjadi warga dalam suatu sistem komunalitas khas dari suatu tatanan sosial yang berasal dari tradisi masa lampau (old tradition/old society). Dengan kata lain, saat ini yan diperlukan menemukan mekanisme kenegaraan yang mampu mengakomodasi ‘kewarganegaraan yang lain, suatu sistem kewarganegaan yang berakar pada tradisi itu ke dalam sistem ketatanegaraan yang ada.

Langkah pertama harus dilakukan adalah mengubah politik hukum pengakuan yang berbasis pendekatan politik (tergambarkan dalam logika hukum pengakuan yang bertahap dan bertingkat) menjadi politik hukum lebih ramah dan berorientasi.

Betapapun, apa yang kemudian disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu tak lain tak bukan merupakan sistem pengelompokan sosial yang telah terlembaga sedemikia rupa. Jadi, tidaklah logis menguji keberadaan mereka melalui suatu proses politik.

Dari kaca mata pendekatan soio-antropologis, yang disebut masyarakat (hukum) adat itu ‘punya nama dan jelas alamatnya. Sebutlah susunan masyarakat nagari, suku, dan kaum dalam konteks Orang Minangkabau. Hingga agak mustahil ada nagari, suku, atau kaum jadi-jadian. Paling-paling, yang mungkin terjadi, tidak diakuinya eksistensi suatu nagari oleh nagari yang lain, karena, boleh jadi, proses pemekaran belum berjalan sesuai tradisi. Kalau ini terjadi, juga bukan otoritas politik yang berhak menentukan kebenarannya melainkan diselesaikan oleh mekanisme-mekanisme adat-istiadat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Langkah kedua, alih-alih berorentasi pada pengakuan subyek, menimbang begitu banyak hak masyarakat adat belum diakui, kebijakan mendatang itu lebih baik berorientasi pada proses pengadministrasian pengakuan berbagai hak (terutama yang strategis). Toh, menurut pandangan politik hukum terentu, pengakuan atas keberadaan subyek masrakat adat itu sudah ada di kontitusi (pengakuan secara deklaratoir) dan tak perlu proses pengakuan konstitutif. Yang diperlukan, proses pengadministrasian dampak ada pengakuan secara deklaratoir itu. Pengakuan subyek, yang beragam dan tergantung pada jenis hak yang akan diadminitrasikan, melekat pada proses pengakuan hak yang bersangkutan. Tida perlu ada proses penetapan subyek hak.

Langkah ketiga, karena soal pengakuan hak masyarakat adat ini menyangkut kepentingan lebih dari separuh warga negara maka proses pengadministrasian pengkauan hak-hak masyarakat adat itu haruslah sedekat mungkin kepada masyarakat adat. Untuk itu desentraliasi kewenangan hingga ke tingkat kabupaten/kota adalah suatu keniscayaan. Ini pun bukanlah sesuatu yang baru karena telah terjadi dalam sistem birokrasi negara saat ini. Misalnya, penerbitan sertifikat hak milik telah didesentralisasikan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Masyarakat adat mukanlah mahluk ruang angkasa yang menakutkan hingga perlu dijaga oleh parlemen daerah atau bahkan keputusan politik di tingkat Menteri.

Kalau ada perubahan paradigma seperti usulan tiga langkah itu, harapannya, terjadi perbaikan nasib masyarakat adat di negeri ini. Semoga.

 

Hutan masyarakat adat Sui Utik yang masih terjaga , di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

 

[1] https://www.academia.edu/44969591/Minibus_law dan https://www.academia.edu/45055227/Undang_Undang_Nomor_11_Tahun_2020_tentang_Cipta_Kerja_dan_Masyarakat_Adat_Nasib_Baik_dan_Buruk_di_Tengah_Norma_yang_Berubah_dan_yang_Bertahan

[2] lihat https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2020/10/SIARAN-PERS-Sikap-AMAN-terhadap-UU-Omnibuslaw.pdf

[3] https://jdih.setneg.go.id/ dan https://uu-ciptakerja.go.id/wp-content/uploads/2021/02/RPP-tentang-Penyelenggaraan-Pengadaan-Tanah-Bagi-Pembangunan-Untuk-Kepentingan-Umum.pdf

[4] R. Yando Zakaria, 2018. “Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial”, makalah yang pada Simposium International Antropologi, Yogyakarta, Juni 2018.

[5] R. Yando Zakaria, Paramita Iswari, Rikardo Simarmata, dan Edi Suprapto, 2020. Potensi Integrasi Hutan Adat ke dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK): Laporan Final. Yogyakarta: Kerjasama Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria dan European Forest Institute.

[6] Selain terdapat pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum; pengaturan yang sama juga terjadi pada kasus Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelesaian Ketidaksesuaian antara Tata Ruang dengan Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.

[7] Ibid.

[8] Lebih lanjut Lihat R. Yando Zakaria, 2018. “Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan Warisan Hukum Kolonial dan Perubahan Sosial”, pertama kali disampaikan di hadapan publik saat diskusi yang diselenggarakan Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, Jakarta, 17 Mei 2018.

[9] Dalam UUCK 11/2020, pengaturan yang sama terdapat dalam dua undang-undang. Masing-masing adalah (1) Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UUCK 11/2020 tetap berbunyi “Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”; dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 9 ayat (3) menyetakan bahwa “Hak Ulayat dari Masyarakat Adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah diatur dengan Peraturan Daerah”.

[10] Pada intinya pengaturan lebih lanjut pengakuan hak/tanah ulayat masyarakat adat menurut Permenag/KaBPN 5/1999 ini diserahkan (baca: diatur lebih lanjut) melalui Peraturan Daerah. Kebijakan ini kemudian menjadi dasar munculnya Peraturan Daerah Kabupaten Kampar, Propinsi Riau Nomor 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat; Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy; dan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 memang mengandung sejumlah kelemahan sehingga sulit diterapkan. Alasan utamanya adalah karena tidak berlaku pada tanah-tanah yang sudah dbebani hak-hak lain serta tidak berlaku bagi tanah-tanah ulayat yang berada di kawasan hutan. Lebih jauh lihat Noer Fauzi, et.al., 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas Kerja Epsitema, No. 01/2012. Jakarta: Epistema Institute.

[11] Namun, dengan menggantinya dengan kebijakan yang mengatur penerbitan sertifikat hak komunal tidak menyelesaikan masalah yang ada. Hak/tanah ulayat tidaklah berwajah tunggal. Hak ulayat ada yang bersifat publik-privat dan ada yang bersifat privat saja. Maka, sejatinya dibutuhkan dua mekanisme pengakuan tanah ulayat itu. Pertama kebijakan yang mendaftarkan tanah-tanah ulayat yang bersifat publik-privat dan kedua, mengatur penerbitan sertifikat hak komunal alias tanah ulayat yang bersifat privat semata.

 

*R. Yando Zakaria, penulis adalah antropolog, pendiri dan peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat. Keduanya berkedudukan di Yogyakarta. Alamat kontak: r.y.zakaria@gmail.com; +62 812 2692 1897. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

****

Foto utama:  Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version