Mongabay.co.id

Ekonomi Sirkular, Satu Langkah Menuju Ekonomi Ramah Lingkungan

Aerial shot of illegal peatland forest conversion for palm oil plantation inside Singkil Swamp Nature Reserve. Iemeudama village, Trumon district. South of Aceh.

Berbagai aktivitas ekonomi kita selama ini telah ikut berkontribusi bagi kian memburuknya kualitas lingkungan. Sampah dan polusi adalah dua di antara sekian dampak negatif yang dihasilkan oleh beragam aktivitas ekonomi kita.

Perihal sampah, riset yang dilakukan McKinsey dan Ocean Conservancy menyebut Indonesia sebagai produsen sampah plastik kedua terbesar setelah Tiongkok untuk saat ini.  Jika dirata-rata,  maka produksi sampah plastik di Indonesia setiap hari mencapai sekitar 175.000 ton.

Dengan jumlah tersebut, maka sampah plastik di Indonesia saban tahun dapat mencapai sekitar 63,9 juta ton. Sekitar 90 persen dari sampah plastik, berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), dengan yang didaur ulang dalam kisaran 10-12 persen saja.

Tentu saja ini memprihatikan, karena sifat plastik sendiri adalah bahan tidak mudah terurai. Butuh waktu sampai ratusan tahun untuk terurai secara alami.

Sementara itu, masalah polusi juga tidak kalah mengkhawatirkan. Menurut Greenpeace, angka kematian dini akibat polusi udara di Indonesia sejak 1 Januari 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 9.000 jiwa.

Data Greenpeace mengungkap kematian dini akibat polusi udara di Jakarta diperkirakan mencapai 6.100 jiwa, di Surabaya mencapai 1.700 jiwa, di Denpasar sebanyak 410 jiwa, dan di Bandung sebanyak 1.400 jiwa.

Belum lagi soal kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Merujuk Greenpeace, total potensi kerugian ekonomi yang dialami Jakarta akibat polusi udara mencapai Rp 23 triliun atau sekitar 26 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam pada itu, potensi kerugian ekonomi akibat polusi udara di Kota Bandung mencapai Rp 5,34 triliun, di Surabaya mencapai Rp 6,35 triliun, dan di Denpasar sebesar Rp 1,44 triliun.

Bisa dibilang, ekonomi yang bersifat linear selama ini, dengan pola ABB (ambil, buat, dan buang), hanya bersifat satu arah. Sumber daya alam diekstraksi besar-besaran, diproses, dan digunakan untuk kemudian berakhir sebagai limbah.

Dengan prinsip ekonomi tersebut, beban lingkungan yang ditanggung Bumi bertambah berat, dengan segala dampak buruknya dapat kita rasakan sekarang ini. Untuk itu diperlukan cara pandang, paradigma, dan penerapan sistem ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Selain, berkelanjutan, sistem ekonomi ini harus mampu mendorong pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan upaya mengatasi perubahan iklim.

Baca juga: Emil Salim: Negara Maju tak Hanya Ekonomi, Perlu Kuat SDM dan Lingkungan

 

Pilihan skenario masa depan yang di ilustrasikan dalam gambar pembukaan lahan, mewakili ekonomi sirkular vs ekonomi linear. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

 

Mereduksi Krisis iklim

David McGinty (2020) dalam How to Build a Circular Economy, menawarkan sebuah sistem yang lebih bertanggungjawab dan mereduksi krisis iklim, yang disebut sebagai ekonomi sirkular, alih-alih ekonomi linear saat ini.

McGinty menyebut ada tiga langkah penting yang perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan ekonomi sirkular ini:

Pertama, mengurangi konsumsi. Selama ini, kita cenderung mengkonsumsi terlalu banyak. Semakin banyak kita mengkonsumsi, semakin banyak sumber daya alam terkuras. Di sisi lain, semakin banyak kita mengkonsumsi, semakin banyak pula kita menghasilkan limbah.

Dengan demikian, konsumsi bukan saja kita akan menghemat sumber daya alam, tetapi juga akan ikut mengurangi produksi limbah yang kita hasilkan, yang pada gilirannya akan berkontribusi bagi peningkatan kualitas lingkungan. Salah satu contohnya, misalnya, yaitu mengurangi konsumsi/penggunaan kantung plastik.

Kedua, berperilaku bijak dalam mengkonsumsi. Kita perlu lebih bijak dalam melakukan aktivitas konsumsi kita dengan cara lebih selektif dalam memutuskan apa-apa yang akan kita konsumsi atau kita gunakan.

Misalnya, daripada menggunakan mobil pribadi untuk pergi ke kantor, yang berarti ikut menambah kemacetan, menambah polusi, dan menyita ruang untuk parkir, kenapa tidak menggunakan saja sistem carpooling (berbagi perjalanan dalam satu arah tujuan), seperti yang mulai dipopulerkan melalui aplikasi daring.

Ketiga, membuat perubahan sistemik.  Banyak hal yang harus dilakukan di sisi kebijakan dan regulasi untuk mendorong terciptanya model ekonomi sirkular. Contohnya, kita perlu kebijakan yang terkait dengan insentif maupun regulasi yang mengharuskan penggunaan bahan sekunder dan daur ulang.

Contoh lainnya, misalnya,  kebijakan pemberlakukan pajak atas kemasan plastik yang memiliki kurang dari 30 persen konten daur ulang.

Lewat ekonomi sirkular, kita berupaya meminimalkan penggunaan sumber daya dan juga meminimalkan produksi limbah dan emisi karbon.Termasuk melakukan praktik daur ulang dan penggunaan dan pemanfaatan kembali produk (tidak sekali pakai).

Penerapan ekonomi sirkular diyakini akan memberikan kontribusi signifikan bagi pelestarian lingkungan dan juga mereduksi krisis iklim.

Selain itu, ekonomi sirkular juga diyakini memberikan keuntungan finansial yang lebih menguntungkan.  Salah satu kajian menyebutkan bahwa dengan menerapkan ekonomi sirkular, kita dapat  menghindari pemborosan dan menghemat hingga mendekati lima triliun dollar AS per tahun.

Di saat yang sama, kita juga memiliki peluang lebih besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan. Di Indonesia, penerapan konsep ekonomi sirkular diperkirakan berpotensi membuka 4,4 juta pekerjaan baru pada tahun 2030.

Baca juga: Pasca Pandemi dan Skenario Era Ramah Lingkungan

 

Sampah di sepanjang pantai Muncar, Banyuwangi, Jatim. Selain darat juga terjadi di pesisir. Foto diambil Juli 2019. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Lima Sektor Potensial

Menyadari betapa pentingnya penerapan model ekonomi sirkular, pemerintah Indonesia telah mulai mengadopsinya dalam rencana pembangunan 2020 – 2024, dimana ekonomi sirkular masuk dalam program rencana jangka menengah.

Mencoba menjalin kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan Pemerintah Denmark model  ekonomi sirkular coba diwujudnyatakan di dalam lima sektor industri yang ada; masing-masing sektor yang berpotensi tersebut adalah industri makanan dan minuman, tekstil,  konstruksi, perdagangan grosir, serta eceran.

Kelima sektor ini, selama ini memang cukup menjadi sektor yang perlu dibenahi, mengingat menjadi sumber pencemar dan sampah yang kerap dihasilkan dalam proses ekonominya. Tentu saja perlu dilakukan kajian mendalam tentang seberapa besar dampak negatif yang dapat direduksi dan benefit yang diperoleh oleh masing-masing para pelakunya.

Pemerintah juga harus menyiapkan regulasi yang harus ditaati, dan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan di lapangan. Keterlibatan pemda, aparatur, komunitas dan pegiat, serta yang terpenting masyarakat perlu diutamakan.

Mudah-mudahan kerjasama itu akan berbuah sukses dan model ekonomi sirkular dapat sepenuhnya diterapkan di negeri ini, sehingga ikut memberi kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara kita, menciptakan lapangan kerja baru, dan sekaligus ikut mengatasi perubahan iklim.

 

* Rejeki Wulandari, penulis lepas, peminat masalah lingkungan. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version