- Emil Salim. Sosok begawan ekonomi sekaligus tokoh lingkungan hidup Indonesia ini kalau menyatakan pemikiran tegas dan jelas, seperti saat berbicara soal keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup.
- Ada beberapa regulasi membuat Emil Salim cemas, seperti Omnibus Law, Peraturan Menteri LHK Nomor 106/2018 yang mengeluarkan 10 jenis tumbuhan dari daftar dilindungi juga terkait Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) baru.
- Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia menilai, investasi Indonesia tak berkualitas lantaran 70% adalah bentuk bangunan, sedang investasi mesin dan peralatan teknologi terbatas, masing-masing 10%. Angka ini, jauh tertinggal dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Pendapatan devisa negara pun masih bertumpu pada ekspor basis komoditas dengan nilai tambah medium dan berteknologi makin turun.
- Amanda Katili Niode, Manager Climate Reality Indonesia mengatakan, kalau roda ekonomi jalan seperti saat ini, bumi akan simultan menghasilkan krisis demi krisis, begitu juga dengan wabah penyakit.
Emil Salim, adalah seorang cendikiawan, begawan ekonomi, sekaligus tokoh lingkungan hidup di Indonesia. Dia pernah jadi Menteri Lingkungan Hidup pertama negeri ini. Pada 8 Juni lalu, usianya genap 90 tahun. Usia boleh terus bertambah, tetapi pemikiran sosok satu ini, selalu jelas dan tegas, seperti saat berbicara soal keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup.
Dalam diskusi Pembangunan Berkelanjutan Menuju Indonesia Tinggal Landas 2045 yang digelar Yayasan Keragaman Hayati, Emil mengingatkan, suatu negara jadi maju bukan hanya bertumpu pada aspek ekonomi, perlu ada peningkatan dan penguatan pembangunan sumber daya manusia dan ekologi secara beriringan.
“Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo-red) perlu diberi tahu, bahwa masa depan Indonesia tak hanya ekonomi, juga kualitas SDM (sumbr daya manusia-red) lestari dalam ikhtiar kita lepas landas tahun 2045,” katanya.
Dia menilai, pembangunan Indonesia masih berorientasi bisnis seperti biasa (business as usualsaat pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur naik, tetapi tak terjadi kemajuan pada pembangunan sosial, kemasyarakatan dan lingkungan.
Sejak 1992, pembangunan berkelanjutan sudah muncul sebagai pengingat, bahwa pola pembangunan tak hanya peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB) dan investasi. Dimensi pembangunan manusia itu jadi penting untuk membangun Indonesia lebih berkembang dengan pola pembangunan tanpa merusak lingkungan.
“Semua harus buka mata, bahwa peranan ekosistem, lingkungan, dampak perubahan ekosistem sangat penting. Jadi, jangan demi ekonomi, pohon dikorbankan, batubara diperluas hingga merusak alam dan sumber daya lain,” katanya.
Emil Salim, tokoh lingkungan (bersafari coklat) saat bersama Azwar Abubakar, saat masih jadi Menteri PANRB pada 2013, Foto: dokumen Menpan
Ada beberapa regulasi membuat Emil cemas, seperti Omnibus Law, Peraturan Menteri LHK Nomor 106/2018 yang mengeluarkan 10 jenis tumbuhan dari daftar dilindungi juga terkait Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru saja sah.
“Kecemasan saya Permen KLHK yang memperbolehkan menebang pohon-pohon langka terlindung jadi pohon komersial. Sangat terganggu pikiran saya.”
Begitu juga pola pembangunan energi Indonesia yang masih memprioritaskan fosil. UU Minerba, katanya, memberikan kesempatan perpanjangan kegiatan pertambangan.
Dia pun mempertanyakan bagaimana kalau di atas lahan itu terdapat keragaman hayati, bisa lebih bermanfaat dalam jangka panjang. Kalau hak guna tanah untuk industri ekstraktif saja bisa sampai 90 tahun.
Emil mengatakan, masalah ekonomi di Indonesia bukan soal investasi tetapi sumber daya manusia. Dia bilang, ada yang salah dalam model pembangunan Indonesia, yang semestinya saling terhubung antara sosial, ekonomi dan lingkungan.
“Omnibus Law jangan menghilangkan hal-hal yang diperlukan untuk memproteksi lingkungan.”
Kini, dunia, termasuk Indonesia sedang menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Seharusnya, kondisi ini jadi momentum membuka mata manusia bahwa ekosistem, lingkungan, berperan penting dalam menekan dampak perubahan iklim.
“It’s not business as usual setelah COVID-19 ini, saya lihat teman di kabinet dan DPR belum menyerap makna itu,” katanya.
Dia bilang, perlu ada evaluasi investasi dan pertumbuhan ekonomi. “Bagaimana dampak sosial selama ini? Untuk siapa? Siapa yang diuntungkan selama ini?”
Arif Satria, Rektor Institute Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, pemerintah dituntut gunakan pola pembangunan berkelanjutan. Pasalnya, krisis lingkungan berdampak nyata bagi sumber daya alam, termasuk ketahanan pangan.
“Terjadi food lost and food waste,” katanya.
Indonesia, katanya, jadi ‘produsen’ sampah makanan sekitar 300 kg perkapita per tahun, nomor dua setelah Arab Saudi.
Berdasarkan data Food Susteinability Index (FSI) 2018, Indonesia mendapat skor 59,1 tertinggal dari negara Ethiopia dengan skor 68,5.
Persoalan ingkungan dan sumber daya alam negeri ini, katanya, terjadi karena krisis tata kelola. “Ini kegagalan kita dalam mengatur para aktor negara, pasar dan masyarakat yang berkepentingan pada sumber daya alam.”
Jadi, tata kelola baru sumber daya alam di Indonesia perlu mencari titik temu dan memadukan rasionalitas ekologi, ekonomi, moral dan rasionalitas politik. “Hingga sustainability bisa didapatkan.”
Pembangunan manusia
Emil bilang, Indonesia tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di tengah potensi sumber daya alam melimpah. Kondisi ini terbukti dari Indonesia masih bergantung impor beras, garam, energi dan keperluan dasar lain.
“Ada kerisauan pembangunan kita terdominasi oleh ekonomi. Saya mendorong aspek lain yakni pembangunan sosial yang menekankan pada human resource development,” katanya.
Model pembangunan pemerintah, kata Emil, mengabaikan sumber daya manusia. Dia bilang, perlu mendorong pembangunan sosial dengan menitikberatkan faktor manusia.
“Jika kita abai, akan hilang kesempatan emas keluar dari perangkap kemiskinan.”
Edukasi, katanya, jadi hal penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah, katanya, perlu memanfatkan ‘bonus’ demografi untuk peningkatan kualitas SDM agar mampu menguasai teknologi dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia mengatakan, investasi Indonesia pada era Jokowi terus menanjak namun pertumbuhan ekonomi terus menurun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono, di angka 5-6% dengan pencapaian tertinggi pada 2011 sebesar 6,5%, terendah 2009 dengan 4,5%. Pada 2015, pertumbuhan ekonomi 4,79% dan naik tidak terlalu signifikan tahun berikutnya, 5,02% (2016), 5,07% (2017), 5,12% (2018), dan 2019 (5,02%).
Kondisi ini, katanya, juga dipengaruhi tekanan ekonomi global dan kebijakan ekonomi presiden.
Dia menilai, investasi Indonesia tak berkualitas lantaran 70% adalah bentuk bangunan, sedang investasi mesin dan peralatan teknologi terbatas, masing-masing 10%. Angka ini, katanya, jauh tertinggal dari Malaysia, Filipina dan Thailand.
Pendapatan devisa negara pun masih bertumpu pada ekspor basis komoditas dengan nilai tambah medium dan berteknologi makin turun.
Dalam World Economic Forum Survei 2017, menyebutkan, masalah tak ada investasi masuk tinggi karena korupsi dan birokrasi tak efisien. Sayangnya, RUU Cipta Kerja menjawab dari isu ketenagakerjaaan yang berada pada urutan 13.
Amanda Katili Niode, Manager Climate Reality Indonesia mengatakan, kalau roda ekonomi jalan seperti saat ini, bumi akan simultan menghasilkan krisis demi krisis, begitu juga dengan wabah penyakit.
“Banyak ilmuan menyarankan untuk melestarikan keragaman endemik yang berada di wilayah geografis tertentu agar prevelansi penyakit menular akan berkurang.”
Menjaga alam dan lingkungan, katanya, jadi kewajiban, kalau mau mempelajari skenario dan strategi masa depan.
“Lebih dari setengah penduduk dunia jarang berbicara masa depan, 10 tahun ke depan. Ini mungkin menjadi kenyataan bahwa banyak yang mengabaikan krisis iklim.”
Krisis iklim ini, katanya, tidak hanya mengurangi kualitas lingkungan tetapi berdampak pada kesehatan manusia, keamanan pangan, kegiatan ekonomi, pengelolaan sumber daya alam dan infrastruktur fisik.
Keterangan foto utama: Lahan gambut yang seharus dilindungi tetapi masih keluar izin kelola kepada perusahaan oleh pemerintah. Kala, kemarau panjang, karhutla menggila, seperti di satu konsesi perusahaan sawit di Jambi ini. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia