Mongabay.co.id

Temuan ESDM soal Gas Beracun Sorik Marapi dan Kejadian di Daerah Lain

 

 

 

 

Hasil tim investigasi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengungkapkan, terjadi mal operasional oleh perusahaan, PT Sorik Marapi Geothermal Power, menyebabkan lima warga tewas terhirup gas beracun di lokasi panas bumi.

Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE, KESDM mengatakan, tim investigasi dan turun lokasi di Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal, Sumatera Utara dan menemukan beberapa kesalahan dalam proses pengeboran panas bumi.

Dia menceritakan, kronologis hingga memperlihatkan letak mal operasional perusahaan. Pada Senin, 25 Januari 2021, jadwal pembukaan sumur baru di lokasi pembukaan sumur perusahaan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Persiapan mulai pukul 11.30, lalu mulai pukul 12.00 buka sumur. Pada tiga menit pertama gas keluar ke silencer lalu dipaparkan ke atmosfer. Pembukaan sumur ini untuk dialirkan ke pembangkit guna menambah arus listrik.

Sumur ini cukup lama ditutup kemudian dilakukan simulasi yang cukup (well-fed simulation) karena sumur tak bisa mengalir sendiri dan harus diberi tekanan. Saat itu, kompresor rusak tekanan tinggi hingga uap dialirkan ke sumur 09.

Lupa dipahami, katanya, sumur 09 untuk menstimulasi supaya uap naik ini hingga gas H2S pindah dari sumur pertama ke sumur kedua. Di sana, masih ada masyarakat beraktivitas di sekitar lokasi pembukaan sumur—berjarak tak sampai 300 meter dari lokasi awal. Di lokasi awal, sudah ada peringatan dari operator.

Seharusnya, kata Dadan, tidak ada orang kecuali yang bertugas tetapi dalam proses petugas tak terlalu teliti memastikan bahwa tidak ada petani di sekitar lokasi. Ternyata, katanya, masih ada bahkan hanya 95 meter dari lokasi pembukaan sumur. Itulah yang menjadi penyebab masyarakat sekitar terhirup dan menyebabkan kematian.

“Kesalahan utama, karena well-fed simulation tidak memastikan keluar H2S. Kedua, kalaupun itu kejadian tetapi jika masyarakat tidak ada di sekitar lokasi, bukan menjadi masalah,” kata Dadan, belum lama ini saat penjelasan dalam pertemuan daring difasilitasi Kawali Indonesia.

Dia mengatakan, tiga jam setelah kejadian langsung memerintahkan semua operasi di Sorik Marapi, setop. Saat ini, tim mengumpulkan temuan-temuan hasil investigasi. Dia melihat perencanaan kegiatan tak matang masyarakat tidak mendengar dengan jelas pada 25 Januari 2021 akan ada pembukaan sumur.

 

Baca juga: Kebocoran Gas Beracun di Pembangkit Panas Bumi Sorik Marapi, 5 Orang Tewas

 

Dari laporan investigasi, katanya, juga ada prosedur tak benar dan peralatan belum siap meskipun bukan peralatan utama. Sekuriti, tidak dilengkapi handy talky dan tidak ada detektor serta koordinasi lemah. “Ini bisa dibuktikan kalau ternyata masih banyak masyarakat berada di sekitar lokasi. Jika dilihat dari sisi penyebab ini urusan-urusan mendasar yang harusnya tak perlu terjadi.”

Berdasarkan SNI diatur soal jenis kecelakaan. Kasus Sorik Marapi ini, katanya, masuk sebagai kejadian berbahaya alias kategori berat dan kecelakaan panas bumi katagori cidera berat. Untuk itu, pemilik izin panas bumi harus bertanggung jawab atas kejadian itu termasuk pada masyarakat sekitar.

Dadan memastikan, penanganan kejadian ini sampai selesai. Urusan hukum, katanya, berada di aparat, KESDM tak ikut proses itu. Perusahaan, kata Dadan, harus melakukan perbaikan dengan benar.

“Di kementerian sedang mempercepat penyelesaian penetapan rancangan permen berisi keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan lingkungan panas bumi,” kata Dadan.

Ketika ditanya soal sanksi terhadap perusahaan, Dadan bilang, ada aturan- aturan pemerintah, pertama, peringatan tertulis, kedua, penghentian sementara dan ketiga, pencabutan izin panas bumi.

Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Ditjen EBTKE, KESDM mengatakan soal pengawasan kerja tugas direktorat jenderal EBTKE termasuk di Sorik Marapi.

“Ini pelajaran bagi kami dalam melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Semestinya, pengawasan dan memastikan perusahaan ini mempunyai perlengkapan prosedur. Kemudian kompetensi sesuai standar,” katanya.

Dia bilang, sumber daya panas bumi di dunia, 40% ada di Indonesia dan terbesar. “Kalau, negara lain melakukan itu dengan baik, sedangkan Indonesia tidak, sia-sia dan sangat merugikan. Karena sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat.”

Mengenai panas bumi Marapi, katanya, pada 2020 sudah ada pengawasan lapangan 11 kali dan diketahui perusahaan ini baru beroperasi 2019. Kalau melihat di lapangan, katanya, fasilitas pendukung cukup maksimal.

Riki Firmandha Ibrahim, Direktur Utama UPT. Geo Dipa Energi (Persero), juga mengelola panas bumi di Dieng dan Patuha membahas keunggulan operasional berkelanjutan dalam menjalankan usaha panas bumi.

Keunggulan operasional berkelanjutan, katanya, merupakan manajemen sistematis dari keselamatan, kesehatan lingkungan, keandalan dan efisiensi untuk mencapai kinerja perusahaan berkelas dunia.

Adapun prinsip utama operasi panas bumi, pertama, melakukan sesuatu dengan aman dan tidak dilakukan sama sekali kalau tidak aman. Kedua, operasi selalu dengan batasan desain dan lingkungan. Ketiga, operasi memastikan perangkat keselamatan berada pada fungsi yang baik.

Keempat, operasi memenuhi kebutuhan pelanggan. Kelima, operasi menjaga integritas sistem yang berdedikasi mengatasi kondisi abnormal. Keenam, operasi mengikuti prosedur tertulis untuk situasi berisiko tinggi atau situasi tidak biasa.

 

Area pembukaan sumur baru PT Sorik Marapi Geothermal Power. Foto: Ayat S Karokaro/ Monga Indonesia

 

Hendro Sangkoyo, pendiri Sekolah Ekonomi Demokratik, mengibaratkan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah proyek panas bumi berada dalam sebuah laboratorium percobaan.

“Korban yang jatuh jadi data tambahan untuk perbaikan di dalam operasional panas bumi. Kalau dipikir begitu, wilayah ekstraksi panas bumi jadi kelinci percobaan, bagian tes tidak tertulis dan jika ada apa-apa lantas diumumkan kalau itu akan diperbaiki. Ini tentu tak bisa diterima,” kata Yoyok, sapaan akrabnya.

Kejadian di Sorik Merapi, katanya, mengingatkan kembali hampir setiap tahun proyek panas bumi menimbulkan korban. Bahkan dia menilai ini belum tentu yang paling buruk yang bisa terjadi mengingat sebagian besar wilayah kelola panas bumi berada di jalur patahan gempa.

Masalahnya, kata Yoyok. seringkali risiko ini dianulir seperti kematian anak di lubang tambang batubara yang dianggap sebagai takdir atau dianggap spesifik, hanya masalah satu perusahaan tertentu, demi kepentingan umum lebih besar.

“Untuk kepentingan umum yang lebih besar? Kepentingan siapa? Apakah ini lebih penting dari hilangnya nyawa seseorang? Satu korban itu terlalu banyak.”

Dari proyek SGMP, misal, perlu dipertanyakan untuk siapa listrik PLTP ini kelak. Saat panas bumi disebut sebagai energi bersih, katanya, perlu dipertegas apakah energi ini betul-betul terbarukan dan aman.

“Sumatera dari ujung ke ujung, dari Aceh sampai Lampung semua isinya garis patahan,” kata Yoyok.

Dia usulkan, bukan memidanakan siapapun yang menghalangi proyek panas bumi sesuai dengan omnibus law, sebaiknya pemerintah bersama perusahaan dan peneliti membuat peta rencana tata ruang untuk wilayah bawah permukaan tanah. Kemudian, katanya, menentukan proyek yang boleh dan tak boleh dibangun di atasnya.

Muhammad Reza, Koordinator Nasional KruHa, mengatakan, belajar dari kasus semburan lumpur panas Lapindo Brantas, jangan sampai kasus semburan proyek geothermal dianulir jadi kejadian alami.

“Seolah nyawa bisa dikompensasi dengan uang,” katanya.

Selain parameter CO2, menurut Reza perlu parameter lain yang melihat bagaimana dampak proyek panas bumi terhadap tanah dan air. Hal ini, katanya, karena ketersediaan air sangat berpengaruh pada kesehatan masyarakat termasuk tingginya stunting di suatu daerah.

Senada dengan Yoyok, Reza bilang, juga harus mempertimbangkan kerentanan bencana mengingat secara alamiah Indonesia berada di cincin api yang rentan bencana.

Secara alamiah saja, kata Reza, sudah rentan. Sekarang cincin api itu dibongkar-bongkar untuk kepentingan ekonomi.

“Yang sering luput hak korban.”

Warga jadi korban, bahkan, sampai hilang nyawa, katanya, harus ada peradilan tegas dan jelas.

 

Plang peringatan bahaya gas beracun. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 Pemain lama

PT Sorik Marapi Geothermal Power (SGMP) adalah anak perusahaan OTP Geothermal, gabungan Origin Energy (Australia) dan Tata Power (India). Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) OTP Geothermal memegang mayoritas saham (7.000 dari total 15.000 lembar) SGMP.

“Perusahaan ini pemain cukup lama dalam bisnis tambang batubara dan energi,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.

Pada 2016, perusahaan ini diakuisisi KS Orka, pengembang panas bumi patungan Islandia dan Tiongkok yang juga ada saham PT Radiant Utama Interinsco yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi.

Tata Power adalah perusahaan batubara juga membangun PLTU batubara raksasa di pesisir barat India. Perusahaan ini diketahui punya saham di PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin, dua anak perusahaan batubara di bawah Bumi Resources.

Dengan kata lain, kata Merah, ada pola yang menunjukkan pemain bisnis energi terbarukan ini adalah pemain lama bisnis energi fosil dan batubara yang kotor.

“Bagi mereka ini ekspansi bisnis saja. Istilah energi terbarukan adalah ladang bisnis baru bagi sektor tambang.”

Sisi lain, kata Merah, 64 wilayah kelola panas bumi umumnya beririsan dengan kawasan hutan. Dalam UU Cipta Kerja, klaster panas bumi, disebutkan bahwa eksplorasi bisa di hutan lindung maupun kawasan konservasi.

Tak hanya kemudahan izin lokasi, proyek panas bumi juga menyerap makin banyak APBN dengan pagu anggaran meningkat setiap tahun menyesuaikan target rencana umum energi nasional (RUEN).

“Antara target 23% bauran energi, kontribusinya diharapkan diambil dari panas bumi. Mereka juga mengambil rente dari PNBP yang diambil lewat instrumen IPPKH. Hutan dirusak atas nama energi bersih,” katanya.

Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan proyek panas bumi, dia mempertanyakan label energi bersih yang disematkan kepada PLTP.

 

TIM KESDM turun lapangan, untuk investigasi pasca gas beracun yang menewaskan lima warga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Cerita dari berbagai daerah

Pasca kejadian itu masyarakat masih was-was. Masyarakat tak menduga akan ada kejadian yang merenggut lima nyawa dan puluhan lain keracunan gas.

“Karena masyarakat tak tahu secara pasti seperti apa kebocoran atau seberapa bahaya kebocoran gas jika kecelakaan terjadi,” kata Saptar, warga Sumut dalam sebuah diskusi daring beberapa waktu lalu.

Sejak awal, katanya, tak ada tranparansi dari perusahaan soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari kegiatan pemboran sumur untuk PLTP. Sedang jarak antara aktivitas masyarakat dengan lokasi proyek sekitar 100 meter dengan pembatas pagar dari seng.

Lokasi pengeboran di tengah area aktivitas masyarakat seperti sawah, ladang, dan pemukiman, bahkan berjarak kurang dari 50 meter.

Saat kejadian 25 Januari lalu, Saptar menyesalkan pemberitahuan pengeboran hanya pada orang per orang. Tak ada pengumuman resmi, lewat pengeras suara rumah ibadah misal, hingga masyarakat bisa awas kalau ada potensi bahaya dan bisa mengurangi kegiatan mereka hari itu.

Kejadian serupa Sorik Marapi, katanya, bukan kejadian pertama. Di Dieng, Jawa Tengah, lokasi rencana PLTP II oleh PT Geo Dipa Energy juga sangat berdekatan dengan pemukiman warga.

PLTP I Dieng di Wonosobo juga pernah mengalami kebocoran yang menyebabkan sumber mata air warga tercemar.

“Mantan kepala dusun bilang air yang keluar dari kran seperti semen,” kata Farik, warga Dieng.

Saat ini, warga juga was-was karena lokasi rencana PLTP II Dieng di atas mata air warga Banjarnegara. Warga masih ingat kebocoran beberapa tahun lalu yang menyebabkan tanaman pertanian warga terkena polusi seperti abu vulkanik. Farik bilang, tanam menanam warga sempat terhenti saat itu.

Di Wae Sano, Flores Barat, masyarakat juga menolak PLTP yang hendak dibangun PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Paling jadi sorotan warga. Selain lokasi pengeboran di wilayah mata pencaharian warga dan dekat kebun, juga dinilai akan merusak keutuhan kosmologi masyarakat adat yang amat menjaga hubungan dengan alam.

“Sampai sekarang perusahaan tak bisa memberikan jawaban siapa yang akan bertanggungjawab memberitahukan kepada masyarakat jika terjadi semburan. Bagaimana jika terjadi malam hari saat masyarakat tak siap? Masyarakat mencoba menanyakan ini kepada perusahaan namun tak ada jawaban meyakinkan,” kata Venan Haryanto, aktivits Sunspirit for Justice and Peace yang mendampingi masyarakat adat Wae Sano.

Hal yang menguatkan masyarakat Wae Sano, kata Venan, terkait peruntukan listrik PLTP, alih-alih untuk masyarakat sekitar tetapi untuk mem-back up investasi pariwisata premium di Labuan Bajo dan sekitar.

Penolakan sama juga terjadi di Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sini sempat terjadi keributan saat PLN hendak sosialisasi pembangunan PLTP.

Masyarakat yang tergabung dalam Forum Pemuda Peduli Lingkungan (FPPL) menolak sosialisasi karena tak menghadirkan camat, bupati dan DPRD sebagai perwakilan pemerintah daerah. Hanya PLN, perangkat desa dan masyarakat pemilik tanah.

Setelah membubarkan sosialisasi, FPPL menemui bupati dan DPRD. Menurut Toni, warga setempat, pemerintah daerah mengatakan tak tahu menahu soal rencana sosialisasi dan menyatakan mendukung penolakan masyarakat. Sejak 2017, Flores sudah dinyatakan jadi Pulau Geotermal.

“Tanpa pernah ada kompromi dengan penduduk Flores sebagai pemilik utuh pulau ini,” kata P. Alsis Goa dari JPIC OFM Indonesia.

Alsis menyayangkan, berbagai proyek PLTP di Flores dengan cara tidak transparan.

 

Informasi terbuka

Soal transparansi informasi mengenai dampak operasi PLTP, tahun lalu Komisi Informasi Pusat mengeluarkan putusan bahwa laporan terkait masalah dan dampak proyek geothermal merupakan informasi terbuka sepanjang tak termasuk tentang metode kerja dan soal keuangan.

Putusan ini menyusul gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mendampingi warga Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Mereka menggugat KESDM, meminta informasi laporan hasil evaluasi panas bumi di wilayah yang mengalami kerusakan.

“Dokumen KIP memutuskan laporan hasil evaluasi panas bumi di wilayah yang mengalami kerusakan adalah informasi terbuka,” kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.

Meskipun semula gugatan ini dilayangkan warga Gunung Talang,  katanya, dalam gugatan eksplisit beberapa wilayah kelola panas bumi lain juga terdampak, jadi objek gugatan. Dengan kata lain, masyarakat di sekitar PLTP Lahendong (Sulawesi Utara), Lebong (Bengkulu), Mataloko (NTT), Rimbo Panti (Sumatera Barat), dan Sarulla (Sumatera Utara) yang terdampak proyek panas bumi bisa gunakan putusan ini untuk meminta informasi evaluasi proyek panas bumi di wilayah mereka.

Dalam sidang gugatan, jelas Era, ada argumen bahwa proyek panas bumi dinilai tak akan menimbulkan dampak pada permukaan bumi. Luas konsesi yang diberikan juga tak akan sepenuhnya digunakan, seperti yang selalu disosialisasikan perusahaan kepada masyarakat Gunung Talang. Disebutkan, dari 27.000 hektar konsesi hanya 20.000 hektar akan digunakan.

Namun luas lahan yang akan digunakan merujuk pada rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang bisa diubah setiap tahun.

“Realitas di lapangan kita temukan dampak terjadi,” kata Era.

Hal lain yang disoroti YLBHI terkait wewenang antar kementerian saat dampak lingkungan terjadi. Dalam persidangan, KESDM menyebut, dampak lingkungan dari proyek ini menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Argumen ini, katanya, tak bisa diterima oleh penggugat, karena dalam logika hukum, pihak yang mengeluarkan izin harus bertanggungjawab mengevaluasi izin yang mereka berikan.

“Jadi aneh dan lucu sekali dalam persidangan KESDM mengatakan itu bukan kewenangan mereka.”

Kalau melihat dari sisi politik hukum, bagi YLBHI, masalah ini timbul sejak ada UU Panas Bumi 2014 yang tak hanya mengeluarkan panas bumi dari sektor pertambangan, juga mengaburkan aturan wajib mendapat persetujuan masyarakat dalam setiap proyek panas bumi.

UU ini, kata Era, kemudian dipelintir lagi dengan beberapa peraturan Menteri ESDM yang membangun narasi bahwa kewajiban perusahaan hanyalah sosialisasi terhadap proyek yang akan dilakukan.

Permen ESDM No 33/2018, misal, jelas-jelas menyatakan, laporan investigasi kecelakaan dalam proyek panas bumi adalah data tertutup, dengan pertimbangan penyalahgunaan data untuk membentuk persepsi buruk soal proyek panas bumi.

Jal itu, katanya, sejalan dengan UU Cipta Kerja yang memberikan sanksi pidana hingga tujuh tahun bagi setiap orang yang menghalangi proyek panas bumi.

“Sementara sosialisasi tak mensyaratkan setuju atau tidak setuju. Hanya menyampaikan informasi,” kata Era.

Dengan putusan KIP tahun lalu, katanya, masyarakat sekitar proyek panas bumi dapat menggunakan putusan ini untuk meminta dokumen evaluasi proyek yang berdampak pada wilayah mereka.

 

 

******

Foto utama:

Hasil investigasi Dirjen EBTKE menyebutkan, mal operasional oleh PT Sorik-Marapi Geotherma; Power-menewaskan lima warga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version