Mongabay.co.id

Warga Sikalang Resah Operasi Tambang Batubara Makin Dekati Pemukiman

Warga Sikalang, Sawahlunto, gusar. Dengan tambang batubara di bagian bawah terus membuka lahan, mereka khawatir pemukiman yang berada di dataran atas ambles, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Manap, warga Desa Sikalang, Kecamatan Talawi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, membuat kebun (parak) dengan bermacam tanaman, dari pinang, sampai cengkih. Bagi Manap, ini cara menikmati hari tua setelah pensiun dari perusahaan tambang batubara. Namun Manap dan warga Sikalang ini sedang khawatir pemukiman mereka terancam ambles. Kini, operasi perusahaan tambang makin mendekati lahan dan kebun mereka.

Belakangan ini, Manap mulai merasakan perubahan kesuburan lahan, tanah gersang, tanaman di kebun pun kekeringan. Dia mulai merasakan air juga mulai berkurang. “Kemarin sempat menanam cengkih 300 batang, 200 batang mati,” katanya.

Kami menyusuri kebun Manap seluas 1,5 hektar ini dengan motor. Sampai di ujung kebun, ada tanah menanjak tajam, kemiringan sekitar 80 derajat. Kami turun dan berusaha mencapai puncak untuk melihat apa yang ada di balik tanah menjulang ini.

Sesampainya di atas, pandangan langsung bertemu dengan pinggiran tambang batubara. Dari tempat saya berdiri dapat terlihat tiga danau bekas tambang batubara penuh air berwarna biru kehijauan.

“Dulu itu satu kolam besar. Sekarang dibelah jalan buatan perusahaan jadi dua,” katanya sembari menunjuk ke bawah tempat kami berdiri. Danau itu adalah lubang tambang lama.

Manap bilang, pemerintah sempat berjanji lubang tambang jadi tempat wisata, nanti ada ada sepeda bebek dan janji-janji lain.

Kami melihat dalam cekungan raksasa seperti kuali itu truk pengangkut batubara lewat satu atau dua. Suara eskavator terdengar jelas. Ada suara ribut didominasi mesin di tiga lubang tambang yang mengambil batubara dari dalam tanah. Ya, tambang itu tambang dalam, bukan tambang terbuka.

Melalui lubang-lubang itu dibikinkan kereta lori untuk mengambil batubara di dalamnya. Bila masuk di dalamnya, kata Manap, akan ditemukan banyak lorong dan persimpangan. Cabangnya bisa sampai puluhan.

Cabang-cabang ini yang membuat Manap dan warga khawatir sejak tahun 2018.

Di wilayah sekitar, rumah-rumah warga pernah ada yang amblas terkena tambang lama. Warga, termasuk Manap, berusaha mencari kejelasan soal tambang CV Tahiti Coal karena khawatir mengancam pemukiman mereka.

Warga sempat mendatangi Polres Sawahlunto untuk mediasi dengan perusahaan pada 2018. Mediasi buntu dan masyarakat tidak mendapatkan kejelasan akan keamanan mereka dari dampak aktivitas tambang.

 

Alat berat mengeruk tanah untuk mendapatkan batubara. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

***

Jumat (19/2/21) sekitar pukul 10.00 beberapa perwakilan warga Desa Sikalang sudah duduk di ruangan kepala desa. Mereka menyampaikan kegelisahan tentang aktivitas tambang batubara Tahiti Coal yang dirasa makin dekat dengan pemukiman.

Perwakilan warga ini menyampaikan pada kades tentang apa saja yang sudah mereka lakukan dan menyerahkan surat-surat rekomendasi baik dari ESDM, DPRD Sumbar, hingga Walhi Sumbar.

Ayu, seorang warga mengatakan, pada 31 Januari 2021 beberapa pemuda karang taruna sempat menerbangkan drone untuk melihat posisi pembuatan kandang ternak. Terlihat jarak antara kawasan tambang dan pemukiman hanya sekitar 100 meter.

Padahal, jarak sudah diatur peraturan menteri Nomor 4/2012 tentang indikator ramah lingkungan untuk usaha dan atau kegiatan pebambangan terbuka batubara. Jarak minimal dengan pemukiman 500 meter. “Ini kurang 500 meter.”

Ross, warga Desa Sikalang lain mengatakan kalau ada ganti rugi tidak apa. Kondisi mereka sekarang ini katanya, seperti hidup segan mati tidak mau.

“Kita hidup di atas, di bawah merong-rong. Tahu-tahu amblas aja nanti rumah kita. Kita ‘kan takut juga, mimpi-mimpi tidur malam tidak nyenyak ‘kan,” kata Ros.

Warga lain, Ujang mengatakan, walau informasi perusahaan lubang-lubang dari cabang sampai ke bawah pemukiman sudah ditutup, tetapi dia ragu.

“Memang sudah berapa kali warga kumpul dan melapor. Sudah dipanggil ke Komnas HAM, sudah ke DPRD, hasilnya masih jauh dari harapan. Sekarang bagaimana tindakan pak desa (kepala desa) dengan temuan yang sudah ada,” kata Titin, warga Sikalang.

Temuan yang dimaksud Titin adalah hasil pemeriksaan lapangan DPRD Sumbar, Dinas Lingkungan Hidup Sumbar dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Hasil pemeriksaan itu menghasilkan beberapa rekomendasi.

 

Lubang tambang di Sawahlunto. yang membuat warga Sikalang, yang berada di bagian atas resah. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Rapat dan temuan

Pada 30 Oktober 2019, warga Desa Sikalang dan Walhi Sumbar dengar pendapat di DPRD Sumbar. Hadir pula Dinas ESDM Sumbar dan Dinas Lingkungan Hidup Sumbar.

Kemudian, pada 12 November 2019 Komisi IV Bidang Pembangunan DPRD Sumbar tinjauan lapangan ke pertambangan Tahiti Coal di Kota Sawahlunto.

Berdasarkan dua kegiatan itu pada 2 Desember 2019, Komisi IV DPRD Sumbar rapat kerja lanjutan dengan ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup Sumbar. Mereka berkesimpulan terjadi pelanggaran hukum oleh Tahiti Coal dalam kegiatan pertambangannya.

Lantas dalam surat itu, ada empat poin dituliskan DPRD. Pertama, karena ada pelanggaran, DPRD menyerahkan segala tindakan yang diperlukan kepada aparat penegak hukum. DPRD hanya mengawasi sebagaimana Undang-undang.

Kedua, Komisi IV menunggu hasil laporan ESDM terkait pelaksanaan pengecekan terhadap dua sisa lubang tambang sesegera mungkin.

Ketiga, Komisi IV merekomendaskan ESDM memastikan ada dokumen bukti pembayaran royalti Tahiti Coal 2018 dan 2019. Menurut DPRD royalti ini merupakan kewajiban yang masuk penerimaan negara bukan pajak.

Keempat, Komisi IV akan melakuan pengawasan bidang pertambangan secara berkala dan berkesinambungan. Surat ini ditandatangani Supardi, selaku Ketua DPRD Sumbar.

Hasil dari tinjauan ini mendapat respon cepat dari Dinas ESDM.Pada 31 Maret 2020, Dinas ESDM Sumbar menyurati Direktur Tahiti Coal perihal tindak lanjut pengecekan lapangan. Dalam surat itu disampaikan, mereka telah memeriksa dua lubang tambang dengan kode THC01-A dan THC02-B pada 19-20 Februari 2020.

Hasilnya. pada lubang THC01-A total panjang lubang utama 421,4 meter. Dari panjang itu ada 325,1 meter terindikasi di luar WIUP. Lubang THC01-A memiliki cabang ke arah lubang tambang lain, cabang kanan ke arah THC 01-C dengan 22 lubang cabang dan kiri ke THC01-B dengan 23 lubang cabang. Pada arah THC01-C cabang 11 sampai 45 terindikasi di luar WIUP.

Pada lubang THC01-B ada 325 meter panjang dan 80 meter terindikasi di luar WIUP. Dari lubang ini ada 29 lubang cabang. Dari lubang 11 sampai 18 terindikasi di luar WIUP.

Saat itu, ESDM meminta Tahiti Coal mengukur kembali, overlay hasil pengukuran dengan batas WIUP dan hasil sesegera mungkin lapor ke ESDM.

Pada 3 Februari. Walhi Sumbar mengirimkan surat permohonan informasi dan laporan kepada Gubernur Sumbar dan Kapolda Sumbar terkait kelanjutan rekomendasi DPRD Sumbar pada Pemerintah dan aparat penegak hukum. Surat ini juga ditembuskan ke Dinas ESDM Sumbar.

Pada 18 Februari 2021. Dinas ESDM Sumbar mengirimkan surat tindak lanjut informasi dan laporan untuk Walhi Sumbar. Surat itu menyebutkan soal status lubang tambang Tahiti Coal yang terindikasi berada di luar area yang diizinkan.

Surat itu bernomor 540/129/MB/DESDM-2021. Ada empat poin disampaikan Dinas ESDM Sumbar, yakni, tentang dugaan beberapa cabang dari tambang dalam tanah Tahiti Coal berada di luar izin atau IUP. Juga, soal pembayaran royalti tahun 2018, 2019 dan 2020 hingga penghentian kegiatan perusahaan yang terindikasi berada di luar WIUP Tahiti Coal.

 

. Jumat (19/2/21) perwakilan warga Desa Sikalang mendatangi kantor desa untuk menyampaikan lagi kegelisahan tentang aktivitas perusahaan tambang batubara, CV Tahiti Coal, yang dirasa makin dekat dengan pemukiman. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Kemudian, soal dugaan cabang tambang berada di luar izin, melalui surat 540/634/MB/ESDM-2020 tertanggal 31 Maret 2020 perihal tindak lanjut pengecekan lapangan ada tiga sub poin permintaan ESDM untuk Tahiti Coal.

Pertama, pengukuran kembali dengan menggunakan peralatan yang sesuai SNI dan dilakukan personil tersertifikasi.

Kedua, overlay antara hasil pengukuran dengan batas WIUP operasi produksi Tahiti Coal dan menuangkan dalam peta overlay atau tumpang susun.

Ketiga, sesegera mungkin melaporkan hasil pengukuran dan overlay ke Dinas ESDM Sumbar. Surat ini ditandatangani Herry Martinus selaku Kepala Dinas ESDM Sumbar.

 

Mulai periksa

Sementara Polda Sumbar mulai memeriksa dugaan pelanggaran Tahiti Coal pada Senin, (1/3/21). Kombes Stefanus Satake, Humas Polda Sumbar membenarkan, tindak lanjut aduan Walhi terkait dugaan pelanggaran Tahiti Coal.

“Pemanggilan Walhi kemarin, intinya menindaklanjuti dumas (pengaduan masyarakat) dari Walhi. Jadi masih dilakuan penyelidikan,” katanya via telepon, Selasa (2/3/21).

Stefanus mengatakan, Polda akan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan.

Uslaini, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar memenuhi panggilan Polda Sumbar. Uslaini diminta datang guna memberikan informasi, keterangan dan bukti dokumen terkait aktivitas tambang batubara Tahiti Coal yang diduga melanggar hukum.

Uslaini mengatakan, pemeriksaan ini punya beberapa manfaat. Pertama, ada proses penegakan hukum atas pelanggaran perusahaan tambang tersebut dalam menjalankan aktivitas tambangnya.

Kedua, penyetopan aktivitas produksi pertambangan batubara di luar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) agar kerusakan lingkungan hidup dan kerugian keuangan negara tak makin besar dan meluas.

Ketiga, agar masuarakat yang berdomisili di sekitar WIUP terlindungi. “Walhi Sumbar berkomitmen terus bersinergi dengan penegak hukum demi terwujudnya keadilan ekologis di Sumbar,” katanya.

Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar mengatakan, proses ini juga akan berguna bagi pemerintah dalam menimdak sesuai kewenangan.

“Dalam melindungi dan memulihkan wilayah kelola masyarakat yang termasuk pemukiman, areal perkebunan dan air bersih, yang sudah terdampak aktivitas tambang Tahiti Coal.”

Proses hukum ini, kata Tommy merupakan peringatan bagi semua pemegang IUP di Sumbar. “Jangan sesekali mengorbankan lingkungan apalagi masyarakat di sekitar izin usaha pertambangan hanya demi keuntungan,” katanya.

Mongabay berupaya mengkonfimasi dengan menghubungi Ismet, Komisaris Tahiti Coal via telepon. “Nanti saya hubungi lagi, saya sedang rapat,” katanya. Sampai berita ini terbit, belum ada respon.

 

Warga Sikalang, Sawahlunto, gusar dan was-was. Tambang batubara di bagian bawah terus membuka lahan, mereka khawatir pemukiman mereka yang berada di dataran atas ambles, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version