Mongabay.co.id

Angka Deforestasi Indonesia Turun dan Catatan dari Para Pihak

Perambahan yang terjadi di hutan produksi di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah mengumumkan luas deforestasi Indonesia pada periode 2019-2020 mengalami penurunan sampai 75% dibandingkan periode sebelumnya. Meski demikian, luasan deforestasi dalam dua tahun terakhir atau 2018-2020, hampir seluas ibukota Indonesia, Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi bersih pada 2019-2020 seluas 115.459 hektar dibandingkan tahun 2018-2019 sebesar 462.460 hektar. Ini merupakan data deforestasi Indonesia pada 2020 yang disesuaikan dengan peta rupa bumi terbaru di Kebijakan Satu Peta.

Ruanda Agung Sugardiman, Plt Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Ligkungan KLHK mengatakan, pemantauan deforestasi ini mengunakan citra satelit Landsat 8 OLI yang disediakan Lapan. Hasilnya, Indonesia memiliki tutupan hutan 95,6 juta hektar atau 50,9% dari daratan, dari luas itu 92,5% atau 88,4 juta hektar di kawasan hutan.

Kalimantan, menempati angka deforestasi tertinggi seluas 41.500 hektar (35%), diikuti Nusa Tenggara (21.300 hektar), Sumatera (17.900 hektar), Sulawesi (15.300 hektar), Maluku (10.900 hektar), Papua (8.500 hektar) dan Jawa (34 hektar).

Sedang luas kebakaran hutan dan lahan pada 2020 mencapai 296.000 hektar mengakibatkan deforestasi 1.100 hektar. Angka reforestasi pada 2019-2020 sekitar 3.600 hektar dan tahun 2018-2019 sebesar 3.000 hektar.

Belinda A. Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planalogi dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, deforestasi ini merupakan angka penurunan terendah selama ini.

“Banyak yang skeptis mengatakan deforestasi indonesia turun karena hutan sudah habis. Siapa bilang? Hutan alam masih 94 juta hektar. Itu lebih dari 50% luas Indonesia. Jadi tidak benar kalau hutan sudah habis. Tidak betul.”

 

 

Ada juga, katanya, anggapan kecenderungan deforestasi mengarah ke wilayah timur. Menjawab ini, kata Belinda, Indonesia tidak menggunakan konsep nol deforestasi karena dalam kesepakatan nationally determined contributions (NDC) sudah disebutkan, bahwa, Indonesia masih terjadi deforestasi. “Ini karena Indonesia masih membangun dan tentu deforestasi kita tekan seminimal mungkin.”

Sesuai perkembangan teknologi, kata Belinda, perhitungan luas deforestasi sejak periode 2011-2012 merupakan hasil perhitungan bersih yang sudah mempertimbangkan kegiatan reforestasi. Sementara perhitungan periode sebelumnya masih deforestasi bruto.

“Jadi penyajian angka deforestasi adalah deforestasi neto, hasil deforestasi bruto dikurangi angka reforestasi,” katanya.

Menurut Ruanda, penurunan angka deforestasi ini merupakan buah kebijakan KLHK dan penerapan instruksi presiden terkait penghentian izin baru di hutan alam primer dan gambut. “Ini dampaknya luar biasa ke penurunan deforestasi.”

 

Deforestasi hampir seluas Jakarta

Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, presentase penurunan deforestasi itu patut diapresiasi namun tak boleh terjebak angka penurunan persentase tanpa melihat luasan. “Namanya deforestasi tetap ada hutan yang hilang.”

Data dari KLHK, deforestasi neto selama kurun waktu dua tahun, 2018-2020 itu sebesar 570.000 hektar. “Hampir setara luas Jakarta 660.000 hektar,” katanya.

Selain itu, indikator deforestasi juga perlu dilihat lebih menyeluruh, misal, efektivitas perlindungan hutan dari sisi penegakan hukum untuk kasus kebakaran hutan dan lahan maupun pembalakan liar, dan eksekusi putusan pengadilan. Juga implementasi kebijakan hukum lain, seperti setop izin hutan alam primer dan lahan gambut dan Inpres moratorium izin sawit,

KLHK, katanya masih memiliki pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan dengan angka reforestasi sangat kecil.

Annisa Rahmawati dari Mighty Earth pun mengapresiasi terkait penurunan deforestasi ini. Dia berharap, tidak ada kenaikan lagi di tahun-tahun berikutnya. “Kuncinya, jadi penting hutan moratorium itu harus tetap dilindungi,” katanya.

Dalam upaya ini, katanya, penting transparansi agar publik mudah melakukan pengawasan.

Berbicara soal deforestasi, katanya, tak hanya terkait tutupan hutan yang bisa diselamatkan, juga konflik-konflik sosial seperti kasus agraria, perampasan lahan antara masyarakat dengan swasta, negara dan lembaga juga ikut terselesaikan.

Mengacu pada data KPA, konflik agraria terus meningkat dalam 2020, sebanyak 241 letusan konflik tersebar di 30 provinsi.

“Kalau berbicara angka, jelas itu turun. Dengan satellite image ya memang turun. Masalahnya, apakah ini memang benar-benar merefleksikan perlindungan hutan secara keseluruhan dari hutan-hutan yang kita punya atau tidak?”

Sementara itu, Forest Watch Indonesia mengatakan, klaim KLHK ada penurunan laju deforestasi itu perlu dibuktikan dengan membuka akses infomasi mengenai data spasial penutupan lahan di Indonesia. Jadi, katanya, publik bisa turut menguji dan meningkatkan kepercayaan atas data yang kementerian keluarkan.

Aktivitas ekonomi terganggu dampak pandemi COVID-19, seperti produksi kayu alam cenderung menurun. Pada 2019, produksi kayu hutan alam (hak pengusahaan hutan/HPH, izin pemanfataan kayu/IPK, dan pembersihan lahan perkebunan kayu) sebesar 8,4 juta hektar, turun jadi 6,6 juta hektar pada 2020.

 

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang ditebang, karena diklaim masuk dalam konsesi perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Kebijakan tak lindungi hutan

Terpisah, Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University mengatakan, pengawasan penting bahkan faktor kunci dalam menekan deforestasi dan korupsi di sektor sumber daya alam. Penegakan hukum, katanya, tidaklah cukup.

“Masalah saat ini, jumlah izin keluar tak pernah dihubungkan dengan kemampuan pengawasan. Apalagi, dengan ada UU Cipta Kerja, semua dimudahkan dan muncul pertanyaan siapa yang akan mengawasi?”

Annisa juga khawatir kebijakan pemerintah di masa pandemi ini bisa menimbulkan keterancaman terhadap hutan itu sendiri, salah satu UU Cipta Kerja. “Akan terjadi potensi deforestasi lebih besar lagi setelah implementasi dari omnibus law dan pelepasan izin.”

Untuk mendapatkan nol deforestasi, katanya, perlu usaha lebih keras dalam mengintegrasikan usaha-usaha dari berbagai pihak. Dia bilang, perlu ada peran dari swasta agar menjalankan kebijakan nol deforestasi ini dan tak hanya komitmen. Hingga kini, masih banyak perusahaan belum bisa melepaskan diri dari pembabatan hutan.

Ninda dari ICEL mengatakan, dalam Peraturan Pemerintah UU Cipta Kerja muncul ketentuan baru terkait kawasan hutan untuk ketahanan pangan yang khusus mengakomodir food estate. “Food estate ini khawatir akan menimbulkan potensi deforestasi terutama dalam ketentuan Permen Nomor 24/2020 yang dapat dilakukan di kawasan lindung, padahal pemanfaata kawasan lindung itu sangat terbatas.

Apalagi, terkait KLHS cepat untuk proyek food estate ini yang potensi menyalahi prinsip kehati-hatian. Hal ini didukung dengan Perpres 109/2020 dimana food estate masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional, di mana UU Cipta Kerja akan banyak memberikan kemudahan dalam proses tata ruang untuk PSN.

“Misal, jika proyek ini tidak sesuai tata ruang, pemerintah pusat bisa mengeluarkan surat rekomendasi kesesuaian pemanfaatan ruang, jadi tetap bisa dilanjutkan.”

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, ada inpres Moratorium Sawit saat ini belum berjalan maksimal. “Jika inpres ini dilaksanakan, akan berkontribusi besar. Karena kita lihat banyak sawit yang masuk kawasan hutan, baik perusahaan atau petani itu sendiri.”

 

 

*****

Foto utama:  Pembabatan hutan Aceh. Foto: Junaidy Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version