Mongabay.co.id

Masa Depan Berkelanjutan di Asia Pasca COVID-19: Berkaca dari Pengalaman Aktivis Lokal

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Judul buku     : Civic Engagement in Asia: Lessons from Transformative 
Learning in the Quest for a Sustainable Future

Editor         : Mochamad Indrawan

Isi Buku       : xvi + 324 halaman

Tahun Terbit   : Edisi Pertama September 2020

Penerbit       : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

***

Hampir tak ada ruang hidup manusia yang tak tersentuh oleh dampak pandemi Covid-19.

Walau jelas terlihat dampak buruknya pada kesehatan, keuangan dan berbagai sektor lainnya, namun pandemi ini juga memunculkan bagaimana seluruh elemen masyarakat terpanggil untuk bersiap siaga menghadapi bencana. Pembatasan gerak yang memaksa para pekerja diam di rumah, mempererat ikatan keluarga dan menjungkirbalikkan cara kerja lama. Pekerjaan lebih bergantung pada telekomunikasi, tapi pada saat yang sama menurunkan jejak karbon setiap individu.

Kesiapsiagaan bencana merupakan peluang untuk mendorong perubahan dan kemajuan, seperti yang terjadi saat terjadinya bencana Fukushima di Jepang pada tahun 2011. Bencana berurutan itu, gempa bumi dan tsunami yang menyebabkan kecelakaan nuklir besar, berdampak pada lebih dari 150.000 orang.

Masyarakat korban bencana di sekitar Prefektur Fukushima perlu mengetahui tingkat radiasi di lingkungan mereka sebelum kembali ke rumah dengan selamat. Informasi yang sangat dibutuhkan masyarakat ini tidak mungkin diberikan oleh pemerintah pada waktu yang tepat. Tapi tanpa berdiam diri menunggu, puluhan inisiatif masyarakat bermunculan untuk mempercepat pemulihan mereka sendiri.

Inisiatif masyarakat serupa pernah kita saksikan pasca tsunami dan gempa bumi pada tahun 2004 yang merenggut lebih dari 200.000 jiwa di provinsi Aceh di Indonesia.

Kerja sama masyarakat dan seringkali juga tindakan perorangan, dalam menanggapi masalah yang menjadi perhatian publik seperti ini merupakan keterlibatan sipil yang sangat diperlukan dalam menghadapi bencana besar dan berbagai tantangan dalam masyarakat.

baca : Cerita dari Kampung Tsunami di Aceh

 

buku Civic Engagement in Asia: Lessons from Transformative Learning in the Quest for a Sustainable Future

 

Belajar dari Pejuang Lokal

Pada tahun 2015, dua pemerhati sosial dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand – Surichai Wun’gaeo dan Michiko Yoshida – merasa prihatin setelah menyaksikan banyaknya krisis yang dihadapi dunia saat ini, mulai dari penyakit yang muncul hingga pembangunan kota yang tidak berkelanjutan dan kualitas pendidikan yang buruk. Keduanya memfasilitasi dialog para tokoh masyarakat dan akademisi dari Asia dan bekerja sama untuk membangun komunitas yang adil dan berkelanjutan secara ekologis di Asia.

Perjalanan mereka dimulai dengan lokakarya di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 2017. Pertemuan tersebut meluncurkan serangkaian kerja kolaborasi seperti lokakarya dan seminar.

Kumpulan pengalaman dan pelajaran dari masyarakat yang dipresentasikan dalam lokakarya awal tersebut diterbitkan dalam buku berjudul “Civic Engagement in Asia: Lessons from Transformative Learning in the Quest for a Sustainable Future” — Keterlibatan Sipil di Asia: Pelajaran dari Pembelajaran Transformatif dalam Pencarian Masa Depan Berkelanjutan”, yang diedit oleh Mochamad Indrawan dari Universitas Indonesia.

Buku ini mengisahkan inisiatif-inisiatif luar biasa dari Asia, mulai dari pengalaman para aktivis masyarakat sipil di Vietnam dalam melestarikan dan membangun nilai-nilai kelestarian adat yang berlanjut pada pengesahan pengakuan hukum atas hak-hak adat di hutan leluhur mereka hingga upaya aktivis Indonesia, Chandra Kirana Prijosusilo, melalui Yayasan Sekar Kawung, yang mendukung pengrajin tenun di Pulau Sumba sampai mendapatkan pengakuan internasional.

baca juga : Merawat Alam Sumba Lewat Tenun Pewarna Alami

 

Tahapan mengikat benang pada proses pembuatan kain tenun ikat Sumba. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Salah satu penulis, Dicky Sofjan dari Universitas Gadjah Mada misalnya, berpendapat bahwa istilah ‘keberlanjutan’ terlalu abstrak bagi masyarakat umum. Padahal keberlanjutan tidak hanya upaya konservasi yang dilakukan pemerintah, tapi bisa juga strategi mempertahankan hidup di tengah deru modernisasi, intrusi ekonomi global dan pengenceran sosial budaya.

Menurutnya, unsur-unsur utama dari yang disebutnya sebagai pendekatan ‘heartware’ atau dari hati, yaitu nilai-nilai, keyakinan, agama dan spiritualitas, telah terbukti memiliki konsekuensi langsung dengan bagaimana masyarakat merasakan dan mempraktikkan keberlanjutan ekologis.

Dicky Sofjan melakukan riset di lima lokasi di Asia, di Kali Code, Yogyakarta; Tasik Chini di Malaysia; Khiriwong, beberapa desa yang terletak di lembah di bagian Selatan Thailand; provinsi Batanes di utara Filipina; dan daerah Biwako di Jepang yang dikenal karena sistem tradisionalnya dalam mengelola sumberdaya alam. Sebagian masyarakat di kelima tempat ini memperlihatkan ikatan kuat dengan lingkungan ekologi sekelilingnya dan sangat antusias mempertahankan keseimbangan antara alam dan budaya.

Buku ini berharga karena mencakup beragam pengalaman para aktor masyarakat sipil Asia mulai dari upaya-upaya berani dalam reformasi perkotaan, dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, serta upaya kreatif dalam mengatasi bahaya kesehatan lingkungan.

menarik dibaca : Mengenal Kampung Wisata Sungai Code

 

Bantaran Sungai Code yang dipenuhi perumahan warga dipinggirannya, berisiko bencana banjir dan longsor. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Ahmad Rifai, pendiri dan direktur Yayasan Kota Kita di Solo misalnya, berbagi mengenai bagaimana organisasinya mendukung pembangunan kota dengan memfasilitasi partisipasi masyarakat dan kegiatan bersama. Kegiatan-kegiatan ini antara lain pemetaan masyarakat di Kota Solo pada tahun 2010. Bersama pemerintah kota saat itu, Kota Kita melakukan mengumpulkan data mengenai akses air bersih, sanitasi, tingkat kemiskinan dan jumlah anak-anak yang bersekolah. Informasi penting bagi pembangunan tingkat lokal ini ditampilkan dalam mini-atlas yang digunakan sebagai referensi dalam rapat musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) tahunan.

Yayasan Kota Kita juga mempromosikan sepeda bagi perempuan dan anak-anak perempuan dalam usaha lebih terlibat dalam kegiatan sosial dan ekonomi dan sekaligus mempromosikan kehidupan yang berkelanjutan di Kota Solo.

Berbagai gerakan ini mengacu pada konsep pembelajaran transformatif, bahwa pada hakikatnya pembelajar akan mengevaluasi gagasan dan pemahamannya sendiri, serta menggeser pandangannya setelah memperoleh informasi baru dan melalui refleksi kritis.

Kumpulan pengalaman pribadi masyarakat umum dari berbagai penjuru Asia ini dapat menginspirasi kita untuk bekerja sama sebagai masyarakat dalam menghadapi tantangan bersama seperti pandemi COVID-19, dan untuk mempercepat pemulihan kita sendiri bangkit dari dampak bencana global ini.

 

Sejumlah pelajar bersepeda melintasi Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, akhir tahun lalu. PBB mendorong negara-negara anggotanya untuk mempromosikan penggunaan sepeda sebagai sarana untuk memperkuat pendidikan jasmani, khususnya untuk anak-anak dan kaum muda. Foto: Djoko
Subinarto

 

Keterlibatan Sipil

Dari beberapa sisi, dunia terasa lebih dekat dengan meningkatnya penggunaan teknologi komunikasi yang canggih dan karenanya kehidupan kita tidak akan pernah sama lagi. Namun, kita masih belum tahu tingkat kerugian sebenarnya dari pandemi pada masyarakat dan lingkungan kita.

Para penulis buku ini mengidentifikasi kecemasan akan krisis yang membayangi kita saat ini dan nanti setelah pandemi ini berakhir, sebuah era baru krisis yang ditandai dengan “meningkatnya proteksionisme, ekstremisme etnoreligius, perubahan iklim dan degradasi lingkungan serta persaingan geopolitik antara negara-negara besar”.

Meningkatnya kompleksitas lingkungan, sosial, dan ekonomi, menuntut para pengambil keputusan untuk menyadari bahwa kebijakan yang ada tidak memadai dalam menghadapi krisis yang akan datang ini. Meningkatnya kesadaran dan penggunaan teknologi yang dipercepat oleh keterbatasan fisik akibat pandemi COVID-19, juga mendorong lebih cepatnya datangnya disrupsi digital.

Mengatasi kebutuhan masyarakat membutuhkan pendekatan inovatif untuk pengembangan kebijakan. Para pemimpin layanan publik dapat mengambil manfaat dari buku ini dengan pengalaman orang-orang yang telah bekerja, berpengalaman, berhasil dan tidak berhasil dalam berbagai isu di Asia. Dengan merangkul terbukanya peluang baru menggunakan teknologi baru, pemerintah akan dapat melibatkan publik dan merancang bersama kebijakan yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat.

 

*Nabiha Shahab, pemerhati keberlanjutan dan praktisi komunikasi Asia Comms Lab, Jakarta

 

***

 

Keterangan foto utama : Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau pada Oktober 2019. Foto :  Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version