26 Desember 2014. Pagi itu, mendung menyisakan dingin setelah hujan mengguyur Aceh tiga hari terakhir. Baharoeddin berdiri di dermaga kecil dengan sebagian lantai bolong. Di dermaga tempat pendaratan ikan itu, lima kapal nelayan dicat berwarna-warni berderet. Beberapa kapal lain ditambat agak jauh di tanggul sungai.
Pria 60 tahun ini menunjuk cemara laut di kejauhan yang berjejer rapi menutupi pandangan ke laut lepas. Pohon-pohon meninggi menandakan bertahun-tahun ditanam. “Itu sebagian pohon yang saya tanam ketika kami memulai kehidupan kembali di kampung ini setelah tsunami,” katanya.
Beberapa nelayan duduk mengobrol di tempat penjualan ikan yang baru dibangun. Mereka menyapa Bahar dengan panggilan “Pak Keuchik” sebutan bagi kepala desa di Aceh.
Hari ini mereka tidak melaut. Setelah tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004, menjadi hari pantang melaut sesuai hukum adat laut yang disepakati Panglima Laot seluruh Aceh.
Panglima Laot merupakan struktur adat di bawah Mukim yang mengatur pengelolaan laut dan nelayan di Aceh. Baharoeddin selain keuchik juga Ketua Panglima Laot Aceh Besar memimpin lebih 2.000 nelayan dari 14 Lhok (wilayah Laut) di Aceh Besar.
Dia tinggal di Desa Lamtengoh, Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar di pesisir pantai ujung Pulau Sumatera. Ada banyak kampung dengan perumahan padat di garis pantai sepanjang lebih 20 kilometer ini. Jarak hanya setengah jam dari pusat kota Banda Aceh.
Di hari sama 10 tahun lalu, hari paling menyedihkan dalam hidup Baharoeddin. Desember adalah masa menunggu panen padi di Lamteungoh. Pagi itu, Bahar di sawah, mendengar monyet-monyet gunung menjerit bersahut-sahutan. Tak lama bumi berguncang keras. Gempa terbesar yang pernah dirasakan seumur hidup. Tanah merekah.
Bahar segera pulang ke rumah. Tak lama dia mendengar letusan keras sebanyak dua kali dari arah laut. “Bunyi keras seperti ada bom.” Tak ada yang tahu apa yang terjadi sampai warga berlari di jalan sambil berteriak “Air laut naik, air laut naik.”
Di tengah kepanikan ratusan orang mulai berhambur keluar rumah tak tentu arah. Baharoeddin hanya ingat sempat mengambil anak perempuan berumur 11 bulan dari gendongan istrinya dan mencoba berlari ke gunung. Dia tak tahu lagi di mana istri dan empat anak yang lain.
Ketika air laut datang menerjang, anaknya terlepas dari gendongan. “Semua seperti mimpi. Saya menoleh ke kampung dan melihat rumah diangkat air setinggi pohon kelapa.”
Pria ini mengingat banyak apa yang terjadi saat itu, bagaimana dia harus berenang menyelamatkan diri di dalam air yang penuh sampah bangunan dan batang pohon hanyut. Setelah air surut siang hari, mayat dimana-mana. Dia tak menemukan istri dan empat anaknya. Dian, putri kelas 1 SMK sempat ditemukan di dekat gunung, hanya bertahan beberapa jam sebelum meninggal di pangkuannya. Kesedihan begitu mendalam sampai dia menuangkan dalam puisi “Ratapan Sedih Seorang Ayah.”
Dari 1.500 warga, hanya 93 orang selamat. “Sepanjang mata memandang semua rata tak bersisa. Laut langsung nampak tanpa penghalang. Rumah-rumah hanya tinggal lantai. Di tempat kami hanya ada sebatang kedondong besar dan beberapa kelapa masih tegak berdiri. Mayat dimana-mana.”
Bahar mengenang kedasyatan tsunami yang menerjang Aceh dan beberapa negara lain di sekitar Samudera Hindia. Sekitar 800 kilometer pesisir Aceh hancur berikut infrastruktur, rumah, sekolah dan ekosistem pantai dan laut.
Gempa berkekuatan sembilan SR terjadi 26 Desember 2014, sekitar pukul 7:58:53, berpusat pada bujur 3.316° N 95.854° E, sekitar 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Guncangan dasyat ini memicu gelombang panas mencapai 30 meter ke daratan.
Ia tercatat sebagai gempa terdahsyat dalam 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, sebagai negara terparah yang terdampak tsunami.
Data Departemen Sosial pada Januari 2005, korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 105.262 orang. Dari kejadian gempa dan tsunami itu, sekitar 500-an ribu jiwa melayang di seluruh dunia yang berbatasan dengan Samudra Hindia.
Bahar dan warga mengungsi ke Lampeneurut, kawasan di Banda Aceh yang tidak terkena tsunami. Namun di hari ketujuh dia mengajak warga laki-laki pulang ke kampung mengevakuasi mayat-mayat. Tiap hari mereka pulang pergi sejauh 10 kilometer berjalan kaki.
Sebulan melakoni itu, Februari 2005, Bahar mengajak 40 warga nelayan pulang ke kampung yang hancur dan mendirikan pondok darurat dari sisa kayu-kayu bangunan. Lelaki tidur di tapak kampung hancur, sedang para perempuan ke tenda pengungsi di Lampeunerut jika malam. “Tiap pagi kami mengevakuasi mayat, malam tidur di pondok yang kami buat di atas lantai masjid.”
Bahar dan warga Lamteungoh menjadi korban tsunami pertama di Aceh Besar yang pulang ke kampung mereka dan mendirikan rumah dalam kondisi darurat. Mereka mendirikan bangunan darurat dari papan dan kayu sisa tsunami. Tak lama ada larangan daerah radius dua kilometer dari pantai tidak boleh lagi didiami.
Awal rehabilitasi dan rekontruksi Aceh, pemerintah membuat cetak biru pembangunan Aceh pasca tsunami. Salah satu rekomendasi, kawasan pesisir Aceh yang kena tsunami jadi green belt dengan melarang ditinggali.
Para pejabat seperti Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Sri Mulyani dan Gubernur Aceh Azwar Abubakar, pernah khusus mendatangi Bahar dan warga yang nekat tinggal di kampung yang hancur.
“Mereka tanya apa tidak takut tinggal di sini lagi. Saya jawab sejak belum lahir saya sudah ke laut sama orangtua, sudah besar jadi nelayan, sampai tsunami sayapun dibawa air laut, jadi tidak takut lagi sama air laut.”
Ketika pemerintah menawarkan mereka pindah ke kawasan aman dari tsunami, Bahar dan warga menolak. “Selaku warga pesisir kami tidak mau direlokasi ke tempat jauh dari laut. Sebagai nelayan kami melaut pulang dapat uang. Kalau menjadi petani harus menunggu berbulan.”
Akhirnya, pemerintah memutuskan mereka boleh tetap tinggal di sana. Pada 2007, bantuan untuk para nelayan mulai datang. Ada yang membantu kapal dan alat pancing. Sebagian warga mulai kembali ke sawah, menanam padi dan semangka. Sawah-sawah direhabiltasi dengan bantuan Usaid. Rumah-rumah di Lamtengoh dibangun pemerintah Jerman.
Tsunami menghancurkan ekosistem pantai dan terumbu karang. Banyak mangrove tercerabut dan pohon-pohon hilang dari pinggir pantai. Terumbu karang tertutup pasir. Ikan makin jauh dari pantai dan nelayan makin sulit. Dengan bantuan LSM, warga mulai menanami pantai dengan cemara laut dan mangrove.
Setahun terakhir, Panglima Laot Aceh Besar menetapkan kawasan konservasi laut di lepas Pantai Ujung Pancu. Mereka hendak melindungi terumbu karang di sekitar Pulau Tuan agar terumbu karang bisa terlindungi dan pulih. Hingga ikan banyak bertelur.
“Kami membuat larangan mengganggu terumbu karang, tidak boleh membuang jangkar di dekat terumbu karang.”
Setelah tsunami sulit mendapat regenerasi pawang ikan. Dari 22 pawang di Lhok Lamteungoh, hanya tiga orang selamat. “Sulit mendapatkan pawang ikan, karena ilmu diturunkan dengan waktu tak lama,” kata Bahar.
Dia sendiri tidak lagi melaut setelah tiga kapal ikan hilang kala tsunami. Namun, dia tetap bersemangat membangun kembali kehidupan para nelayan binaan. Bagi warga Lamteungoh, laut adalah kehidupan yang tidak tergantikan meski pernah murka dan menghancurkan kehidupan.