Mongabay.co.id

Tantangan Sampah di Masa Pandemi, Bagaimana Potensi Pemanfataan?

Pemulung di TPA Kebon Kongok berjalan di atas gunung sampah. Usia TPA Kebon Kongok ini diperkirakan tinggal satu tahun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sudah berlangsung lebih setahun. Pada sektor persampahan, tantangan muncul selain timbunan sampah makin besar, Indonesia juga menghadapi tumpukan limbah medis yang termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3).

Sampah medis berupa bekas alat pelindung diri (APD), jarum suntik, masker, sarung tangan medis, dan lain-lain ditemukan di beberapa tempat bercampur dengan sampah non medis.

Di Bogor, karyawan PT Flobaroma Visco Mandiri, perusahaan penyedia jasa pemeriksaan COVID-19, membuang sampah infeksius di tempat pembuangan sampah sementara di Kelurahan Empang. Yohanes Santoso, karyawan perusahaan ini juga membuang sampah infeksius di rest area Tol Jagorawi.

Di Lampung, Polda juga menemukan limbah medis di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Bandar Lampung.

Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) timbulan limbah B3 medis pada masa pandemi diperkirakan naik 30% dari masa normal.

Saat ini, terdata 2.867 rumah sakit di seluruh Indonesia dengan timbulan jadi 383.058 kg per hari. Jumlah rumah sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3 per 19 Februari ada 120 fasilitas dengan kapasitas 74.570 kg per hari.

Sebuah petisi di platform Change.org meminta pembangunan fasilitas pemusnah limbah medis segera dilakukan di 32 daerah di Indonesia.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2021 mengatakan, pemerintah mengikuti sejak awal potensi permasalahan akan beriringan dengan berbagai kesulitan dampak COVID-19.

Bagi pemerintah, katanya, sampah medis yang tergolong limbah B3 infeksius yang timbul karena penggunaaan alat pelindung diri sangat masif, jadi tantangan tersendiri.

Untuk itu, katanya, KLHK menerbitkan surat edaran tentang pengelolaan limbah infeksius B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan COVID-19.

“Ini jadi pedoman bagi fasilitas pelayanan kesehatan untuk penanganan limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah tangga yang merupakan tempat isolasi mandiri dan sampah rumah tangga dan sampah sejenisnya,” kata Siti.

Sisi lain, jasa pengolahan limbah B3 makin bertambah jumlah dan kapasitas, sekitar 20 perusahaan dengan kapasitas 384.120 kg per hari.

Meski demikian, katanya, sebaran belum merata hingga jadi kendala bagi fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah yang masih terbatas alat pemusnah limbah medis ini.

Untuk mengatasi kesenjangan itu, KLHK membangun enam fasilitas pemusnah limbah B3 medis di Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Barito Kuala (Kalimantan Selatan).

“Hingga akhir 2024 ditargetkan terbangun 27 lokasi lain jadi pengelolaan limbah B3 medis dekat dengan sumbernya dan tak memberi hambatan dari aspek jarak dan biaya pengolahan,” katanya.

Masyarakat, kata Siti, bisa membantu memisahkan sampah medis berupa masker sekali pakai dengan cara menggunting masker, memasukkan ke kantong kertas dan memberi label lalu membuang di tempat sampah khusus pembuangan sampah medis.

 

Baca juga: Buruknya Penanganan Sampah Medis Bisa Perparah Pandemi

Limbah plastik infus, perban, selang infus, kasa dan lainnya yang bercampur dengan sampah domestik di TPA Bakung, Sabtu, 6 Februari 2021. Foto: Derri Nugraha

 

 

Limbah non medis

Selain itu, limbah non medis juga sangat besar. Pada 2020, KLHK mencatat 67,8 juta ton timbulan sampah. Sayangnya, pengelolaan sampah masih di bawah 50% dari target 100% pada 2025.

“Sampah masih akan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup dan kesejahteraan yang makin meningkat,” kata Siti.

Mengutip data Badan Pusat Statistik 2020, katanya, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah tumbuh sangat tinggi mencapai 6,04%. Dengan kata lain, sektor ini adalah usaha yang tahan banting selama pandemi.

“Ini perwujudan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan waste to resource melalui ekonomi sirkular dan sampah menjadi sumber energi.”

Saat ini, sudah ada dua provinsi dan 39 kota/kabupaten yang mengeluarkan kebijakan daerah terkait pelarangan dan pembatasan plastik sekali pakai. Pemerintah pusat, katanya, juga mengeluarkan tiga skema subsidi, dana alokasi khusus (DAK), dana insentif daerah (DID), dan bantuan biaya layanan pengolahan sampah (BPLS) untuk daerah-daerah ini.

KLHK juga terbitkan beberapa peraturan sebagai dasar penerapan sampah sebagai bahan baku ekonomi, baik dari sisi sirkular maupun sumber energi.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, mengatakan, KLHK sudah menindaklanjuti SKB tiga menteri dan kapolri melalui surat Menteri Perdagangan Nomor 482/2020 tentang pelaksanaan impor limbah non B3 sebagai bahan baku industri. KLHK, katanya, melakukan pemetaan terhadap sebaran sumber bahan baku untuk industri daur ulang plastik dan kertas dari bank sampah, tempat penampungan sampah sementara, sektor informal dan usaha daur ulang.

“Tercatat 241 industri daur ulang plastik dan 52 industri daur ulang kertas yang diharapkan dapat mempercepat ketersediaan bahan baku industri dalam negeri sebagai pengganti bahan baku impor limbah non B3,” kata Vivien.

KLHK, katanya, juga terus mendorong perusahaan penghasil sampah plastik agar bertanggungjawab atas sampahnya.

 

Baca: Laut Indonesia dalam Ancaman Sampah Medis COVID-19

 

 

Berbagai potensi pemanfaatan

Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK mengatakan, terbuka potensi pemanfataan sampah jadi berbagai hal, seperti biomassa. “Ada potensi 20.000 ton per hari sampah kita jadi biomassa,” katanya.

Sampah, katanya, bisa menjadi substitusi atau co-firing batubara di industri semen atau PLTU. Indonesia, tahun lalu baru saja memiliki tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) refuse-derived fuel (RDF) di Cilacap, Jawa Tengah.

RDF merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers yang membuat sampah berukuran lebih kecil. Hasil dari teknologi RDF ini memungkinkan sampah sumber energi pengganti batubara.

Selain RDF, potensi pengelolaan sampah untuk jadi pupuk cair dan pakan ternak. Novrizal menyebut, teknologi pengembangan black soldier fly (BSF) atau lalat tentara hitam.

Dengan maggot BSF, sampah organik bisa diurai jadi kompos lalu maggot bisa menjadi pakan ternak. “Ini jadi solusi sampah kita yang mayoritas organik, jadi potensi besar dengan teknologi BSF ini kita dapat pupuk cair dan maggot,” kata Novrizal.

Berdasarkan data KLHK pada 2019, timbulan sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton per hari atau 64 juta ton pertahun. Sekitar 50% dari timbulan itu didominasi sampah organik.

Dengan memanfaatkan teknologi BSF, katanya, sektor peternakan pun bisa diuntungkan dengan hasil maggot. Terlebih, katanya, sekitar 60% kebutuhan protein pakan unggas dari impor. Umumnya, peternak pakai kedelai dan tepung ikan untuk pemenuhan protein ternak.

Dia menyebut, pemanfaatan maggot sebagai pakan ternak ini sudah dilakukan di Payakumbuh, Sumatera Barat. Sebelum memakai maggot, para peternak di sentra peternakan unggas harus merogoh kocek Rp15 juta untuk pakan. Kini, pengeluaran itu bisa ditekan hanya Rp1 juta dengan memanfaatkan maggot.

“Kita memiliki 514 labupaten/kota, kalau teknologi ini didorong, maka bisa menyediakan maggot untuk peternak,” ucap Novrizal.

Pengelolaan sampah pun berpotensi untuk jadi pemasok kebutuhan bahan baku daur ulang kertas dan plastik dari dalam negeri. Selama ini, kebutuhan industri ini banyak dipasok dari luar negeri.

Novrizal menyebut, bahan baku industri kertas untuk scrap paper mencapai 7 juta ton pertahun. Biasanya, industri kertas sanggup membayar Rp2,5 juta per ton scrap kertas.

“Berarti, kalau dikalikan, ada peluang hampir Rp20 triliun dari industri ini kalau kita bisa masuk di sini. Itu baru kertas, belum plastik.”

Untuk mencapai ini, katanya, perlu upaya buat memaksimalkan kapasitas penyedia bahan baku industri ini dari sampah. Untuk itu, pemerintah berencana meluncurkan peta jalan penyediaan bahan baku kertas dalam negeri.

 

Kerajinan dari limbah kayu sampah laut di Tegalalang. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dorong sirkular ekonomi

Melihat potensi pengelolaan sampah ini, pemerintah jadikan konsep sirkular ekonomi sebagai pendorong pengelolaan sampah di masa depan. Dengan begitu, sampah memberikan kontribusi bagi ekonomi mulai dari usaha pengumpulan dan pengangkutan, industri dan mesin pengolah sampah. Kemudian, industri daur ulang, industri komposting dan biogas hingga industri sampah menjadi energi.

“Kita harus perkuat posisi sampah sebagai pendorong ekonomi Indonesia sekaligus sebagai perwujudan waste to resource sebagai bagian dari sirkular ekonomi,” kata Vivien.

Dia menyebut momen HPSN menjadi satu pendorong perubahan paradigma kumpul, angkut dan buang dari sampah. Sudah saatnya, sampah jadi babak baru ekonomi Indonesia.

Untuk itu, sesuai Undang-undang Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, semua pihak diminta terlibat. Pemerintah daerah, katanya, diminta berperan aktif, partisipasi publik didorong, serta pemaksimalan bank sampah.

“Terpenting komitmen pelaku green business dengan jadikan sampah sebagai bahan baku industri.”

Perusahaan juga mulai peka atas sampah yang mereka produksi. Satu contoh, PT Coca Cola Indonesia mulai mengganti kemasan botol salah satu minuman, Sprite, yang sebelumnya identik dengan warna hijau, jadi botol bening agar lebih mudah terdaur ulang.

“Ini dirancang untuk membantu meningkatkan laju daur ulang kemasan plastik di Indonesia,” kata Fitriana Adhisti, Senior Brand Manager PT Coca Cola Indonesia.

Dengan mengganti kemasan botol hijau dengan botol jernih, jadi langkah konkret perusahaan untuk mencapai visi global World Without Waste, sebuah komitmen mengumpulkan atau mendaur ulang setiap kemasan botol produk yang dijual akhir dekade ini.

“Di Indonesia ini dilakukan dengan peningkatan laju pengumpulan dan daur ulang sampah serta penguatan industri daur ulang dan infrastruktur pengumpulan yang ada selama ini,” kata Triyono Prijosusilo, Direktur Hubungan Masyarakat, Komunikasi dan Keberlanjutan PT Coca Cola Indonesia.

Dalam rantai daur ulang plastik, kata Triyono, botol PET jernih ini lebih ringan, mudah dibentuk dan lebih mudah didaur ulang serta tidak mudah pecah. Botol yang dikumpulkan dan terdaur ulang dengan baik dapat dikonversi berulang kali jadi botol PET berkualitas tinggi dan produk bermanfaat lain.

“Botol PET jernih adalah produk yang dibutuhkan industri daur ulang, jika dikelola dengan baik dapat menggerakkan ekonomi sirkular,” kata M. Bijaksana Junerosano, Managing Director Waste4Change.

Sebagai mitra pengumpulan sampah, Sprite dan Waste4Change tengah menggelar proyek #LihatDenganJernih untuk mengajak konsumen mengirimkan sampah kemasan botol PET mereka ke bank sampah mitra. Botol ini kemudian akan didaur ulang dan menjadi kacamata berbahan dasar daur ulang.

Kacamata hasil daur ulang ini, katanya, akan dibagikan untuk membantu mereka yang membutuhkan kacamata melalui Yayasan Sejuta Kacamata untuk Indonesia. Proyek ini akan berlangsung hingga April 2021.

 

Pengolahan sampah organik menjadi kompos (Foto : Daru Setyorini).

 

 

 

****

Foto utama: Pemulung di TPA Kebon Kongok berjalan di atas gunung sampah.  Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version