Mongabay.co.id

Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Satu per satu aturan turunan dari UU Cipta Kerja omnibus law pun keluar, seperti PP No 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam peraturan ini limbah debu batubara (fly ash dan botton ash (FABA) tak masuk lagi ketegori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Berbagai kalangan masyarakat sipil pun protes. Mereka Masyarakat sipil menilai, regulasi ini gegabah, kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat dan masa depan transisi energi terbarukan di Indonesia.

“Refleksi dari keputusan yang gegabah, pemerintah terus berulang dan berlangsung, luput mempertimbangkan risiko pencemaran abu batubara hanya pertimbangan benefit. Risiko sosial, lingkungan dan lesehatan dibebankan pada warga dan alam,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasioal.

Dia bilang, kewajiban tanggung jawab lewat sistem tanggap darurat lenyap, hilang jerat ancaman pidana, tanggungjawab mutlak (strictliability) kabur, keseluruhan akan membuat industri PLTU batubara ugal-ugalan mengurus limbah karena bukan lagi kategori limbah B3 (metode TCLP hanya menguji FABA kering bukan saat berlindi/air).

“Yang akan menerima bebannya adalah warga sekitar  PLTU seperti  di Ombilin, Teluk Sepang-Bengkulu, Suralaya-Banten, di Palu dan Kutai kartanegara bahkan di berbagai wilayah lain.”

Akuntansi dan kalkulasi investasi serta penghematan biaya dilakukan tetapi soal kesehatan tidak masuk hitungan. “Apakah pemerintah siap dalam penanganan dampak kesehatannya? Berapa ranjang rumah sakit yang disiapkan? Apakah warga terdampak dilibatkan dalam pengambilan keputusan?”

Dia bilang, kebijakan seperti ini hanya akan menciptakan masa depan buruk pada transisi energi berkeadilan. “Hanya akan melegitimasi Indonesia terus dalam jebakan energi mematikan ini.”

Khalisah Khalid, Koordinator Bidang Politik Walhi Nasional mengatakant, kebijakan mengeluarkan FABA dari limbah B3 membuktikan kekhawatiran masyarakat sipil tahun lalu menolak keras pengesahan omnibus law.

“Instrumen perlindungan lingkungan dianggap negara dan industri sebagai beban yang harus dikurangi atau dihilangkan. Ini menunjukkan kekhawatiran kita terbukti,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Tak hanya oleh manusia, katanya, 82% PLTU di pesisir pantai juga mengancam ekosistem perairan yang akan kembali dikonsumsi manusia. Dengan kata lain, lapisan dampak buruk makin tinggi. Berbagai penyakit karena limbah B3 seperti paru-paru dan kanker akan berdampak lebih buruk pada kelompok rentan, perempuan dan anak-anak.

 

Baca juga: Terus Bangun PLTU Picu Kematian Dini di Asia Tenggara, Indonesia Terbesar

Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

Tak hanya sifat dan karakteristik FABA, katanya, pemerintah mestinya mempertimbangkan timbunan limbah yang dihasilkan. Menurut KLHK, FABA termasuk 10 jenis B3 yang dihasilkan paling banyak.

Kalau melihat konteks pengaturan sangat longgar, katanya, negara secara sistematis sengaja melakukan kajahatan lingkungan.

“Negara telah sistematis melakukan pemusnahan ekosistem dan pembunuhan terencana bukan hanya generasi ini juga generasi akan datang,” kata Alin.

Mencabut FABA dari daftar limbah B3, katanya, merupakan bentuk kejahatan lingkungan negara untuk kepentingan keuntungan korporasi. Alin juga menekankan, kebijakan ini menunjukkan presiden melakukan tindakan inkonstitusional dengan merenggut hak dasar untuk mendapatkan lingkungan hidup bersih dan sehat sebagai hak dasar warga negara.

Dari segi legalitas, peneliti Indonesia Center of Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhilah menilai keputusan gegabah pemerintah ini adalah lanjutan dari apa yang diputuskan tahun lalu. ICEL melihat pola umum, tak transparan dan minim pelibatan publik.

“Publik akan bertanya pertimbangannya apa?” kata Fajri.

Sebelumnya KLHK sendiri yang menyatakan, kalau FABA hendak dikecualikan dari status limbah B3 harus ada aturan khusus untuk pengujian terkait jenis batubara, filter dan teknologi yang digunakan PLTU penghasil limbah.

Dalam PP ini, kata Fajri, pengujian ini praktis hilang. Konsekuensi lain, dengan FABA keluar dari daftar limbah B3, juga akan melemahkan penegakan hukum bagi perusahaan yang mengelola limbah dengan salah.

Pelanggar pengelolaan limbah B3 bisa kena sanksi pidana. Kalau FABA tak masuk limbah B3, pengelolaan serampangan tak akan bisa mempidana penghasil limbah.

“Jadi, enak bangetlah bagi perusahaan penghasil FABA ini bisa lepas dari jerat hukum,” ujar Fajri.

Tak bisa dipungkiri, kebijakan ini lahir merespon permintaan beberapa asosiasi industri batubara seperti Asosiasi Pengusaha Batu bara Indonesia (APBI), Asosiasi Penyedia Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan lain-lain, yang berargumen pengelolaan limbah batubara sebagai B3 lebih mahal dibanding kalau tidak termasuk B3. Dengan kata lain, kebijakan ini dibuat dengan pertimbangan keuntungan untuk perusahaan.

“Tapi bahasan bagaimana dampak lingkungan dan kesehatan tak pernah muncul ke publik. Karena itu tak heran publik menilai ini berat sebelah.”

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program dan Kampanye Trend Asia mengatakan, keputusan Presiden Joko Widodo menandatangani aturan ini sebagai kemunduran begitu besar dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, kesehatan masyarakat dan transisi energi.

Dia menilai, kuat terlihat aturan ini mengakomodir keinginan berbagai asossiasi perusahaan yang sudah menyuarakan ini hampir satu dekade. Terlebih, katanya, saat ini, kepentingan batubara masuk terlalu dalam bukan hanya sudah hasilkan kebijakan luar biasa seperti perubahan UU Minera, UU Cipta Kerja, kini aturan turunan.

Baginya, mengeluarkan limbah batubara dari B3 merupakan bagian dari fasilitasi berlebihan dari pemerintah dalam melanggengkan energi kotor ini.“Itu yang pertama.”

Kemudian, soal konten beracun dari FABA yang bisa berdampak kronis jangka panjang. Bukan rahasia lagi, warga di sekitar PLTU, seperti di Cilacap, alami berbagai dampak salah satu polusi udara.

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Surayah mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Aturan ini makin membahayakan terlebih saat ini masa pandemi COVID-19. Dengan aturan makin lemah soal limbah batubara, rawan pencemaran udara dari FABA dan makin berisiko juga warga terkena COVID-19. Pemerintah Jokowi, katanya, menaruh warga dalam kondisi lebih berisiko dengan ada aturan limbah batubara keluar dari B3 ini.

Pemerintah bicara soal pemanfataan limbah batubara ini. Dia juga mempertanyakan kapasitas Indonesia soal alasan pemanfaatan limbah batubara jadi lebih murah kalau keluar dari B3. “Jangan sampai, gagasan sirkular ekonomi malahan bisa jadi sirkular polusi,” katanya.

Andri Prasetiyo, peneliti dan pengkampanye Trend Asia, mengatakan, kebijakan ini bagian dari paket kebijakan besar (grand policy) yang sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilir. Ia dimulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, proyek hilirisasi batubara yang berusaha membajak RUU Energi Baru dan Terbarukan, kini menghapus FABA dari daftar limbah B3.

“Kebijakan demi kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batubara dapat terus mengeruk keuntungan ganda,” kata Andri.

Hal ini penting bagi pengusaha mengingat tren global saat ini membuat harga kelistrikan batubara di bawah pembangkit listrik tenaga surya. Kalau harga PLTU batubara global mencapai Rp1120 per kwh, listrik dari energi surya hanya Rp812 per kwh.

“Mereka bermain dengan cara tidak seharusnya dilakukan supaya bisa menekan harga dan bisa bersaing. Ini harus disoroti. Kalau dalihnya pemanfaatan ini sangat mengada-ada. Ini keputusan berisiko,” kata Andri.

Bagi Trend Asia, ini keputusan buruk bagi transisi energi karena kebijakan penyelamatan industri batubara dari hulu ke hilir ini tak akan pernah jadikan energi bersih sebagai energi yang utama yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir elit.

Romantisme oligarki batubara ini dipandang peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman sebagai legalisme otokratik dan merupakan praktik kejahatan legislasi.

“Aturan diproduksi untuk melayani kepentingan privat dan berelasi dengan menyempitnya ruang demokrasi,” kata Herlambang.

Mengutip Corrales (2015), Herlambang menjelaskan legalisme otokratis ini ditandai dengan tiga elemen. Pertama, penggunaan Undang-undang otokratis yang melibatkan partai berkuasa, dominasi di legisltif, membuat UU yang melayani kuasa eksektutif.

Kedua, penyalahgunaan hukum, tidak konsisten dan bias. Ketiga, non-penggunaan hukum secara paradoks yang melibatkan ketergantungan pada ilegalitas.

Sementara kejahatan legislasi, katanya, ditandai dengan lima hal, orientasi melayani kepentingan ekonomi politik, proses serampangan, manipulatif, minim partisipasi, dan tujuan sengaja melanggar hak asasi.

“Semua proses ini mengikis check and balances. Tak ada lagi keseimbangan. Merusak demokrasi dan konstitusi. Aturan jadi lemah seperti dalam PP ini.”

 

Dokumen: PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlingungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Tak semua limbah batubara

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespon terkait perbincangan pengelolaan FABA yang keluar dari limbah B3 yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal PSLB3 KLHK menyebutkan, tidak benar kalau semua limbah batubara keluar dari limbah B3. “Memang ada yang dikeluarkan dari limbah B3 menjadi non B3 hanya untuk yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal boiler atau chain grate stoker.”

Dia menampik ada anggapan kebijakan ini keluar berdasarkan dari usulan kelompok tertentu. “Kami sebagai instansi teknis punya alasan saintifiknya. Jadi, semua itu berdasarkan scientific based knowledge,” katanya dalam temu media daring Jumat (12/3/21).

Pertimbangan lain, katanya, PLTU dengan sistem pembakaran itu menggunakan temperatur tinggi hingga FABA yang dihasilkan minimum dan lebih stabil saat disimpan. Hal ini yang menyebabkan FABA dan coal combustion products (CCP) bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining), serta restorasi tambang.

Sedangkan, industri yang masih menggunakan stoker boiler atau tungku industri, kategori limbah masih B3 dengan kode limbah B409 untuk fly ash dan B410 untuk bottom ash. Limbah ini masih sebagai limbah B3 karena teknologi masih belum memenuhi syarat dimana pembakaran masih pakai temperatur rendah mengindikasikan pembakaran yang tak sempurna dan tak stabil saat disimpan.

Vivin mengatakan, meski FABA dengan menggunakan sistem pulverized coal boiler tidak masuk dalam limbah B3, pelaku industri harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan. Dia sebutkan soal persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA. Dengan begitu, precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah.

“Tidak boleh dibuang sembarangan dan berceceran. Bagaimana dia (pelaku usaha) harus mengolah ada di dalam persetujuan lingkungan, misal, persyaratan teknis, penghimpunan BAFA, standar pemanfaatan BAFA dan sebagainya.”

Berdasarkan data KLHK, ada 43 pembangkit PLTU, baik milik PLN atau swasta yang tersebar di Indonesia. Antara lain, 13 unit di Sumatera, Jawa (13), Kalimantan (6), Sulawesi (5), Nusa Tenggara (1) dan Papua (1). Dari 43 unit itu, enam masih menggunakan stoker boiler.

 

Data KLHK, total produksi FABA tahun 2020 mencapai 2.938.658,58 ton. Berdasarkan data BPPT dalam pembahasan pengelolaan FABA bersama PLN, pada Juni 2020 lalu menyebutkan, timbunan FABA cukup tinggi hingga 5 juta ton lebih per tahun.

“Jika dibiarkan dapat berisiko tinggi terjadi bencana seperti yang pernah terjadi di Amerika, dimana tanggul penampung FABA rusak hingga FABA tumpah ke sungai berujung pada bencana banjir akibat terjadi pendangkalan sungai. Padahal, dari sisi sustainability consumption and production, FABA ini mempunyai potensi circular economy bagus,” kata Hammam Riza, Kepala BPPT dalam siaran pers.

Sayid Muhadhar, Sesditjen PSLB3 KLHK mengatakan, pengelolaan FABA ini telah diatur dengan ketat dalam PP Nomor 22/2021 itu. Pemanfaatan FABA ini, katanya, bisa lebih luas dengan selalu memenuhi standar-standar yang sudah ditetapkan, lewat mempertimbangkan ketersediaan teknologi, standar produk dan baku mutu lingkungan hidup.

Terkait dampak kesehatan masyarakat dari abu batubara, kata Sayid, sudah ada studi-studi yang membuktikan bahwa tidak ada parameter yang melebihi toxicity reference value. “Referensi dan baku mutu yang dikeluarkan KLHK sudah analisis sampai sana.”

Dia bilang, kebijakan ini akan jalan sesuai pengelolaan limbah dengan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle meliputi, upaya pengurangan limbah atau waste minimisation, pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun atau from cradle to grave. Lalu, pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular atau from cradle to cradle, penghasil bertanggungjawab atas pencemaran atau polluter pay, kedekatan pengelolaan limbah dengan lokasi pengolahan, dan pengelolaan berwawasan lingkungan (environmentally sound management).

Sayid bilang, pengawasan atas dampak kebijakan ini akan dilakukan terhadap industri batubara itu. “Setiap laporan per 6 bulan sekali wajib kita evaluasi, juga akan ada pembinaan sekaligus pengawasan yang bisa dilakukan kapan aja oleh KLHK.”

 

 

*****

Foto utama: Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version