Mongabay.co.id

Pangkal Babu: Upaya Jaga Mangrove dan Ancaman Hilangnya Pesisir Timur Sumatera

 

Sulaiman mengayuh sampan membelah alur muara menuju laut. Dia berhenti sejenak menunjukkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang bermain petak umpet di sepanjang hutan mangrove Pangkal babu, Desa Tungkal 1 Kecamatan Tungkal Ilir Tanjung Jabung Barat. Tampak seekor kuntul (Egretta garzetta) terbang rendah dan hinggap di batang bakau.

Sekitar 15 menit, sampan tiba di tepi laut. Ombak menghantam sampan, mengayun ke kanan dan kiri. Sulaiman merapatkan sampan berukuran lebar tubuh orang dewasa ke sebuah kapal nelayan berukuran besar.

“Mansur, Sur,” teriaknya sembari melambaikan tangan memanggil si pemilik kapal.

Seseorang yang dipanggil Mansur tersenyum, dia balas lambaian tangan. Di sebelah tempatnya merapikan jaring, ada ember berisi beberapa ikan senangin dan sembilang. Ember lainnya berisi belanak.

Sampan kami masih menempel di sisi kapal Mansur. Mansur cerita tangkapan udang dan kepitingnya yang barusan dia jual ke tauke di kota Kualatungkal.

“Lumayanlah hari ini tangkapan, ada udang peci, kepiting juga banyak yang kualitas super Harganya 190 ribu per kilogram,” katanya.

Kepiting jadi primadona para nelayan. Harganya menggiurkan, bisa sampai Rp200 ribu/kg. Berat satu kepiting bisa mencapai 700 gram. Hasil laut memang jadi salah satu mata pencarian warga Desa Tungkal I. Warga lainnya hidup dari berkebun kelapa dan pinang.

Desa Tungkal I mulai ramai sejak awal 1980-an. Adapun Pangkal Babu, adalah nama kampung di Tungkal I yang langsung berbatasan dengan pesisir pantai timur Sumatera. Dulu Pangkal Babu dikenal angker, -tempat tinggal orang bunian (mahluk halus). Jika ada yang tenggelam biasanya di temukan di muara sungai.

Baca juga: Menanti Bibit-Bibit dari Mangrove Center untuk Hijaukan Pesisir Indonesia

 

Sulaiman, penjaga mangrove Pangkal Babu. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Menyelamatkan Pesisir, Tanam Mangrove

Sejarah penyelamatan mangrove di Pangkal Babu cukup panjang. Puluhan tahun lalu, tepatnya di tahun 1994 hutan mangrove di daerah ini dialihfungsikan jadi tambak. Tambak ini marak menggerus semua hutan mangrove.

“Cari ikan susah, apalagi udang, kepiting. Kami terasa terusir di kampung sendiri, tambak ini yang punya semuanya orang luar,” kenang Sulaiman.

Kondisi itu berlangsung sampai dua tahun, hingga di 1996 masyarakat Pangkal Babu merasakan dampak yang cukup luas. Semua kebun kelapa mereka terendam selama sebulan. Tak lagi hanya nelayan yang merasakan akibatnya, warga kemudian bersepakat mengusir pemilik tambak dari kampungnya.

“Semua diusir, tambak-tambak itu ditinggalkan. Dibiarkan begitu saja, dan diambil alih desa.”

Di 1997, Desa membuat Perdes tentang alihfungsi kawasan bekas tambak menjadi areal lindung. Sulaiman bersama 17 orang nelayan yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Bakau Lestari mulai menanami areal bekas tambak dengan berbagai jenis tanaman khas mangrove.

Di awal 2000-an kelompok ini mendapatkan bantuan bibit tanaman mangrove sebanyak 150  ribu batang. Mereka dianggap aneh, banyak yang mencibir upaya menyelamatkan mangrove yang dilakukan.

“Dioceh-oceh, banyak yang  belum sadar. Kami dak peduli, yang penting terus tanam mangrove,” tambah Ahmadi sesama anggota Kelompok Tani Hutan Bakau Lestari.

Saat itu banyak warga masyarakat yang menyesalkan bantuan itu berupa bibit tanaman mangrove, mereka berpikir seharusnya yang diberikan bibit kelapa atau pinang yang memang punya manfaat langsung.

Akhirnya buah kesabaran kelompok berbuah hasil. Saat mangrove tumbuh besar, pesisir terjaga. Hasil  tangkapan nelayan membaik. Mereka jadi tidak perlu repot melaut sampai jauh untuk memperoleh udang dan kepiting.

Di sekitar mangrove saja mereka sudah peroleh hasil tangkapan udang yang sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sulaiman bilang sejak mangrove dipulihkan, selama sepuluh tahun terakhir ada sekitar 200 meter penambahan daratan.

“Sekarang, dengan keberhasilan kami menanam mangrove, sudah timbul 300 hektar daratan baru,” ucapnya.

Namun sejak 2006 tidak ada lagi penambahan. Pohon mangrove di bagian terdepan bibir garis pantai nyaris jarang bertahan, kerap mati dan tumbang sendiri karena air laut yang merendam. Ada kemungkinan itu memang sudah jadi batas alami area habitat mangrove.

Hasil kerja keras kaum pegiat itu pun mendapat pengakuan. Di tahun 2006 Kelompok Tani Bakau Lestari memperoleh penghargaan dalam kategori penyelamatan mangrove seprovinsi Jambi.

Sulaiman  mengaku, jika prestasi yang ia dapat tak semua membalikan telapak tangan. Merawat mangrove katanya, layaknya merawat anak, perlu menunggu dan penuh kesabaran hingga ia menjadi kuat dan besar.

“Dari puluhan ribu mangrove yang ditanam, hanya beberapa yang hidup. Terus begitu, berulang-ulang, sampai sekarang semua tumbuh besar.”

Baca juga: Ini Upaya Bersama Rehabilitasi Mangrove dalam Meredam Dampak Perubahan Iklim

 

Lokasi ekowisata mangrove Pangkal Babu. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Ekowisata Mangrove

Dengan kerja keras warga, sekarang mangrove pangkal Babu jadi salah satu obyek wisata di pesisir Kota Kuala Tungkal. Luas Hutan Mangrove di Pangkal Babu yang dijadikan kawasan ekowisata mencapai 200 hektar.

Terdapat 11 jenis tumbuhan yang tumbuh di hutan mangrove ini, diantaranya, Api-api (Avicennia sp), Bakau (Rhizophora sp.), Pidada (Sonneratia sp.), Tancang (Bruguiera sp.), Mentigi (Ceriops sp.), Teruntum (Lumnitzera sp.), Buta-buta (Excoecaria sp.) Nyirih (Xylocarpus sp.), Perpat kecil (Aegiceros sp.), Perpat (Scyphyphora sp.) dan Nipah (Nypa sp.).

Di dalam area, pengelola membangun menara pemantauan setinggi kurang lebih enam meter. Dari sini terlihat jelas, jalur tracking yang terbuat dari papan yang mengelilingi hutan mangrove.

Sepanjang menyusuri jembatan kayu, pengelola pun membangun berbagai papan yang berisikan informasi pengetahuan ekosistem mangrove.

Papan tersebut menggambarkan siklus hidup keluarga mangrove, mulai dari sewaktu pasang naik ketika bulan muda hingga saat pasang surut. Beberapa papan dilengkapi dengan permainan interaktif yang menghibur.

Muhamad Nur pengelola ekowisata Hutan Mangrove Pangkal Babu menyebut sejak dibuka secara resmi di akhir 2019, atensi pengunjung cukup tinggi. Namun sayangnya, berselang hanya dua bulan sejak diresmikan, pandemik COVID-19 membuat semuanya tidak bisa berjalan normal lagi.

“Kami tidak menetapkan karcis hanya dari biaya perkir motor saja 5 ribu rupiah per motor dan sewa sampan saja. Lumayan atensi warga waktu awal ekowisata ini dibuka,” jelasnya.

Nur bercerita rencana pihaknya untuk mengembangkan ekowisata berbasis adat yang dipadukan dengan edukasi alam. Sebutnya, di Pangkal Babu ada ritual bentuk syukur atas melimpahnya hasil nelayan dan hasil kebun yang disebut Ritual Magendang.

Disebut Magendang, karena selama acara diikuti dengan ketukan gendang dengan ritme tertentu. Acara biasanya dilanjutkan dengan doa selaat dan santap bubur merah putih bersama-sama.

“Tradisi ini bisa digandengkan dengan keindahan mangrove yang ada di sini. Jadi pengunjung bisa pula melihat ritual adat secara dekat.”

Baca juga:  Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

Permukiman di Pangkal Babu yang berada di pinggir kawasan mangrove. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

 

Ancaman Hilangnya Wilayah Pesisir

Tak jauh dari lokasi ekowisata Hutan Mangrove Pangkal Babu ada lahan pertanian yang ditanami sayur dan buah seluas lebih kurang 2 hektar. Kebun ini digarap oleh Kelompok Wanita Tani Taman Sari sejak awal 2020. Namun, saat ini kebun sayur ini kerap diterjang rob atau banjir pasang dari laut.

“Kendala untuk menjadikan ini sebagai kebun sayur dan buah adalah banjir rob, dan juga berbagai hama seperti kupu-kupu kecil yang lengket di daun dan membuat daun kecil dan kering,” jelas Halifah, ketua kelompok itu menyebut.

Tak hanya kebun sayur, namun kebun kelapa warga pun kerap terkena banjir pasang laut. Salah satunya yang dikemukakan Samsudin yang kerap dipanggil Sondo. Air laut yang sering naik ke kebun kelapanya, berpengaruh pada produktifitas tanaman miliknya.

“Kondisi saat ini kebun kelapa saya sering terendam air garam. Ini membuat produksi kelapa menurun dan buahnya kecil-kecil,” ungkapnya. Dia menyebut, harga kelapa itu saat dijual Rp 2.800/kg.

Jika dulu kebun kelapa Sondo bisa menghasilkan 4 ribuan buah per harinya, tapi sekarang Sondo sudah bersyukur jika ada 3 ribuan kelapa per hari yang bisa dia panen.

Untuk menangkal rob, sejak 2008 warga Pangkal Babu mengandalkan beton yang melindungi kebun kelapa milik mereka. Bangunan pelindung ini harus mendapat perawatan setidaknya dua tahun sekali untuk bisa berfungsi menjaga kebun kelapa dari hantaman air laut.

Sulaiman berkata jika pesisir pantai di Pangakal Babu memang sedang dalam ancaman. Pasalnya, hutan mangrove di area itu semakin berkurang.

Jika dulu tutupan mangrove mencapai 1 kilometer dari pemukiman menuju garis pantai, sekarang yang tersisa hanya separuhnya. Padahal akar mengrove amat efektif sebagai jangkar garis pantai, melindungi dari dampak gelombang.

Penyebab berkurangnya hutan dan kerapatan mangrove sebutnya, karena semakin banyak jumlah warga yang mengeksploitasi mangrove untuk kepentingan ekonomi, seperti penebangan kayu untuk kayu bakar, pembuatan arang hingga konstruksi beton.

Data Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) di Kecamatan Tungkal Ilir menunjukkan tren penurunan luas mangrove terus terjadi. Di tahun 1989, luas mangrove seluas 484,25 hektar, tahun  2000 menurun menjadi  265,76 hektar, sedang di 2018 hanya tersisa 92,75 hektar.

 

Kelapa menjadi komoditi utama hasil kebun di Desa Tungkal I. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Saat dijumpai, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Yaya Iya Ulumuddin, menyebut meski terjadi penurunan, namun belum sampai berdampak pada kawasan hutan mangrove Pangkal Babu.

“Kalau dari petanya tidak terlihat abrasi atau kondisi yang mengkhawatirkan. Tutupan mangrovenya masih relatif baik,” jelas Yaya.

Yaya menyebut ada satu keunikan dengan mengrove di Pangkal Babu. Area ini dikelilingi oleh tanah gambut. Untuk itu diperlukan perhatian ekstra, dikarenakan kondisi gambut amat rentan mengalami penurunan muka tanah.

“Berdasarkan sebuah makalah maka subsidence di lahan gambut yang dialihfungsikan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit  yang dikeringkan, pada lima tahun pertama muka tanah akan menurun 142 cm. Dalam satu tahun pertama tanah dapat turun sedalam 75 cm,” jelasnya.

Karena berdampingan dengan gambut, maka hutan mangrove Pangkal Babu harus benar-benar dijaga. Jika tidak penurunannya muka tanah akan terjadi dengan cepat.

Yaya pun melihat  jika tutupan mangrove hilang, wajar saja air laut akan masuk ke lokasi kebun. Dan bisa saja nanti jika tidak dipertahankan kondisi mangrove yang baik, tanaman kelapa juga tidak bisa bertahan dengan naiknya permukaan air laut, apalagi ditambah dengan adanya fenomena perubahan iklim.

“Sederhananya, kalau mangrove dirusak dan digunakan manusia untuk keperluan lain. Nanti suatu saat alam akan mengambilnya kembali.”

 

 

 

Exit mobile version