Mongabay.co.id

22 Tahun AMAN: Terus Berjuang Upayakan Perlindungan Masyarakat Adat

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

 

 

 

Dua puluh dua tahun sudah usia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tepat pada 17 Maret 2021. Upaya mendapatkan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di negeri ini masih terus AMAN perjuangkan, salah satu melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat. Hingga kini, aturan yang diharapkan jadi payung hukum bagi upaya pemenuhan perlindungan bagi masyarakat adat ini tak kunjung hadir, malahan yang terbit berbagai kebijakan yang berpotensi mengacam mereka.

Pada Rabu (17/3/21), AMAN bersama dengan 2.422 komunitas adat berada di seluruh Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dengan mengangkat tema “Tetap Tangguh di Tengah Krisis.”

Masyarakat adat jadi garda terdepan membangun gerakan kedaulatan pangan dan ekonomi dalam kondisi pandemi ini,kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN dalam webinar memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara.

Dalam masa pandemi ini, komunitas-komunitas adat di berbagai daerah, terutama yang bisa mengelola wilayah hidup dengan aman, mampu menciptakan kemandirian pangan bahkan, membantu pasokan pangan wilayah sekitar. Banyak juga pemudi-pemuda adat pulang kampung, dan membangun pertanian dan perkebunan memperkuat ketangguhan pangan komunitas.

Dalam kondisi pandemi pula, malah jadi kesempatan bagi pemodal buat ekspansi dan memperparah perampasan wilayah adat atas nama hukum dan Undang-undang. Terlebih, dalam satu tahun terakhir,UUU Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 3/2020 dan UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 ketok palu.

“UU Minerba dan UU Cipta Kerja ini menyebabkan kondisi lingkungan dan masyarakat adat makin parah dan makin dalam keadaan bahaya,” katanya.

 

Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Pada Mei 2013, atas gugatan masyarakat adat keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 yang menguatkan hutan adat bukan masuk hutan negara. Tetapi, katanya, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, termasuk terhadap wilayah mereka masih jauh dari harapan.

Untuk proses pengakuan saja Rukka nilai masih dipersulit dan bertele-tele, bahkan menghadapi jebakan dengan ada pemaknaan lahan ‘clean and clear.’

Masyarakat adat, katanya, memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi nasional yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup. Ada potensi besar kalau wilayah adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan hingga mereka berdaulat atas wilayah. Dia sebutkan, sumber daya itu antara lain, kebudayaan, ekonomi, spiritual, politik dan lain-lain.

Pada 2018, AMAN pernah meneliti valuasi ekonomi di wilayah adat enam komunitas. Hasilnya, nilai ekonomi di wilayah adat itu lebih tinggi dari produk domestik regional bruto (PDRB) daerah.

Dia sebutkan, masyarakat adat Moi Kelim, Sorong, Papua yang memiliki nilai ekonomi sampai Rp156,39 miliar pertahun dari sumber alam dan jasa lingkungan Desa Malaumkarta.

Angka ini, katanya, belum menghitung nilai ekonomi dari masyarakat adat Moi Kelim yang kini menggunakan pembangkit listrik mikro hidro untuk mendapatkan aliran listrik sejak 2018. Jadi, masyarakat adat bisa mandiri dan berdaulat pangan maupun energi sendiri termasuk di masa pandemi ini.

“Propaganda pembangunan yang pemerintah katakan akan menciptakan lapangan kerja tidak terbukti di masa pandemi ini. Malahan bencana makin rutin terjadi, krisis iklim dan pengangguran terjadi.”

 

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Kampung baru hasil reclaiming Desa Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Rukka ingatkan pemerintah, kalau perlindungan masyarakat adat merupakan bentuk investasi paling murah dan efektif. Dia pun desak agar pemerintah segera mempercepat proses RUU Masyarakat Adat yang sudah menggantung lebih 10 tahun.

Walau RUU Masyarakat Adat kembali masuk dalam prolegnas, dia nilai, masih jauh dari tujuan sebagai upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, langkah masyarakat adat dalam mempertahankan alam, maupun budaya perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan.

“Negara harus benar-benar memastikan hak dan perlindungan masyarakat adat terwujud di nusantara ini,” katanya.

Pemerintah, katanya, perlu melupakan pandangan primitif soal investasi hanya dari korporasi besar. Mereka harus melek dan melihat, ada wilayah adat berdaulat dan merupakan potensi ekonomi juga bisa menyumbang perekonomian nasional kalau mereka mendapat perlindungan serta pengelolaan adil berkelanjutan.

Sayangnya, masyaralat adat akan makin terancam dengan kelahiran kebijakan-kebijakan pro investasi. Tantangan ke depan masih panjang, antara lain, banyak kebijakan mengancam wilayah adat dan konflik masyarakat adat.

Sementara penetapan wilayah adat dari pemerintah pusat, sampai Januari 2021, baru seluas 56.903 hektar dengan 75 komunitas atau 39.371 keluarga serta wilayah indikatif hutan adat seluas 1.090.754 hektar. Sedang peta partifipatif wilayah adat yang sudah diserahkan ke pemerintah hampir 11 juta heltar.

“Kita perlu memastikan pemetaan [partisipatif wilayah adat] 11 juta hektar bisa kembali utuh kepada masyarakat,” kata Kasmita Widodo, Direktur Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

***

Foto utama:  Nasib hutan adat terancam investasi ketika tak ada perlindungan negara. Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

Exit mobile version