Mongabay.co.id

Bentuk Kewang Muda, Misi EcoNusa Bentengi Hutan dan Laut Maluku

 

Untuk membangun pengetahuan lokal kepada anak muda agar memiliki tanggung jawab dalam pelestarian lingkungan baik darat maupun laut, Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) bekerjasama dengan Moluccas Coastal Care (MCC) kembali menggelar pelatihan Kewang Muda, dengan melibatkan sebanyak 20 anak muda Maluku.

Para Kewang Muda ini berasal dari Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Kepulauan Aru, dan Kabupaten Maluku Tengah.

EcoNusa dan MCC merasa perlu melakukan pelatihan ini, sebab kerusakan lingkungan di Maluku menjadi keprihatinan berbagai pihak.

Bustar Maitar, CEO EcoNusa mengatakan, pihaknya ingin mendorong kemandirian masyarakat, khususnya anak-anak muda Maluku. Pasalnya, EcoNusa ingin 50 persen anak muda yang menghuni Indonesia menurut sensus, bisa lebih peduli terhadap lingkungan.

“Jadi EcoNusa ingin agar anak-anak muda bisa menjaga alam darat dan lautnya sendiri,” kata Bustar dalam pembukaan pelatihan Kewang Muda, di Kawasan Kampung Laga Gunung Api Banda, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah,  Kamis (11/3/2021).

baca : Sasi, Etika Lingkungan dan Toleransi Satu Bumi Kesultanan Bacan

 

CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar memberikan sertifakat kepada peserta School of Eco Diplomacy Kewang Muda Maluku, di Desa Laga Gunung Api Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Senin (15/3/2021). Foto : Nurdin Tubaka/Mongabay Indonesia

 

Saat ini kondisi lingkungan khususnya laut mendapat ancaman, baik global maupun lokal. Untuk global sendiri, sambung Bustar, yakni naiknya suhu permukaan air laut dan tingginya permukaan air laut. Salah satu ancamannya adalah pulau kecil bisa tenggelam dan terumbu karang bisa memutih.

Nah, inilah yang ingin dilihat oleh EcoNusa, agar teman-teman mudah Maluku bisa mandiri dan paham kenapa itu bisa terjadi, dan bagaimana cara untuk menjaganya,” jelas Bustar.

Bukan saja itu, karena berbagai permasalahan juga timbul dari perilaku manusia, seperti pembuangan sampah plastik di dasar laut, daerah pesisir dan lain-lain.

Kondisi ini, katanya, juga bisa berdampak mengganggu kesehatan manusia. Artinya, jika ikan makan plastik di laut, maka kondisi ini akan berdampak pada tubuh manusia, yang setiap harinya mengonsumsi ikan.

“Kita berharap kegiatan ini bisa membuat teman-teman muda paham dan kembali menjadi kewang-kewang muda untuk melindungi laut dan hutan di Maluku. Dan tidak saja berhenti sampai di sini, namun berkelanjutan,” harapnya.

Bagi EcoNusa sendiri, potensi besar hutan di tanah Maluku dan Papua adalah garda dan benteng terakhir di Indonesia, bahkan dunia. Atas dasar itu, mereka intens bergerak.

Banyak hal sudah dilakukan yayasan ini, termasuk di dalamnya menjembatani komunikasi antara pemangku kepentingan, di wilayah Timur Indonesia (Papua dan Maluku).

Tujuannya, agar memaksimalkan praktik terbaik perihal perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan, dan berbasis penguatan masyarakat lokal.

baca juga : Kolaborasi Adat dan Agama Jaga Bumi, Seperti Apa?

 

Kewang Muda Maluku dalam School Of Eco Diplomacy (SED) yang digelar Yayasan EcoNusa dan Moluccas Coastal Care (MCC), di Kampung Laga Gunung Api Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (11/3/2021). Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Peran Kewang

Bustar mengatakan, Lembaga Kewang merupakan salah satu instrumen masyarakat hukum adat yang berakses secara langsung dengan wilayah hutan masyarakat adat suatu daerah, atau yang biasa dikenal dengan hak ulayat (wilayah petuanan).

Kewang juga merupakan pejabat adat yang memprakarsai sasi dan bertindak selaku polisi adat serta bertanggungjawab atas jalannya sasi. Dalam struktur kepemimpinan adat para kewang dipimpin oleh seorang kepala, yaitu Latu Kewano (Bahasa daerah Maluku yang artinya Kepala Kewang). Latu Kewano dipilih dari mata rumah atau garis keturunan tertentu, secara turun temurun.

Kewang identik dengan polisi hutan dan laut. Mereka tidak digaji, tetapi sukarela karena keterpanggilan hati. Kewang tulus menjalankan tugasnya demi penegakan hukum sasi dan ketertiban masyarakat dalam mengelola hutan dan laut.

Kewang juga, katanya, memiliki banyak fungsi termasuk mengawasi penggunaan atas tanah hutan yang baru dibuka agar tidak terjadi pemakaian yang tidak sesuai. Selain itu memberikan informasi kepada Pemerintah Negeri dalam persoalan batas-batas tanah.

Dr. Reny H Nendissa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon mengatakan, persiapan kewang muda sangat penting, karena di satu sisi, ia adalah pranata adat yang mestinya dilestarikan bukan saja soal sisi kelembagaannya, tapi fungsi dan kewenangannya sangat berdampak pada lingkungan, yang sekarang ini menjadi masalah besar.

Tatanan adat ini, katanya, merupakan kearifan sekaligus kehormatan lokal yang sebenarnya punya nilai besar, apalagi dengan adanya kewang muda. Karena beberapa persoalan masyarakat adat di Maluku, khususnya Maluku Tengah, masih bermasalah soal struktur Pemerintah Desa Adat atau negeri.

“Ada juga negeri-negeri yang sampai saat ini masih bermasalah soal mata rumah parentah (turunan yang memerintah), dan akan berdampak pada kinerja dari kewang itu sendiri,” kata Nendissa kepada Mongabay Indonesia, Kamis (11/3/2021).

Dia bilang, berdasarkan struktur lembaga adat, penentuan Kepala Kewang tidak bisa menunjuk sembarangan orang, tetapi bersandar pada marga atau garis keturunan tertentu.

“Tetapi sebagai kewang, semua orang punya tanggung jawab untuk menjaga lingkungan, tinggal bagaimana diberikan pemahaman,” jelasnya.

perlu dibaca : Eliza Marthen Kissya, Penjaga Sejati Negeri Haruku

 

Para nelayan Pulau Rhun melakukan aktivitas nelayan di tambatan perahu desa setempat. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia.

 

Perkuat literasi

Sisi lain, sambung Nendissa, kewang juga harus memperkuat literasi dan memahami permasalahan-permasalahan hukum, serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Karena ke depan mereka tidak saja berhadapan dengan lingkungan secara alamiah, tetapi juga kebijakan-kebijakan serta berbagai aturan lain.

“Yang menjadi bekal penting bagi kewang muda adalah punya literasi dan memahami sungguh tentang hukum dan hukum lingkungan,” kata Nendissa mengajak.

Menurut Ketua Bagian HTN/HAN Dewan Nasional Perempuan AMAN ini, pengetahuan literasi itu penting. Jadi bukan saja soal pengetahuan modern, tapi kearifan lokal sendiri juga harus dipahami.

“Kewang adalah penjaga hutan, penjaga lingkungan, tapi kalau dia tidak tahu tentang nanaku (cara mengamati), tanoar (musim/waktu yang telah dibagi), serta di mana batas-batas batu pamali, juga masalah,” jelasnya.

Sehingga itu menjaga lingkungan butuh literasi, termasuk perpaduan antara adat dan modern. Digitalisasi yang menjadi bagian dari perkembangan modern juga harus dikuasai oleh kewang-kewang muda itu.

“Yang pasti semua orang ingin tahu informasi. Ketika kewang muda ini muncul, saya pikir akan ada apresiasi luar biasa, walaupun nantinya ditata lagi. Para kewang muda ini harus diupdate terus, karena akan menjadi virus kebaikan bagi orang lain,” ajaknya.

baca juga : Berkah Wallacea yang Belum Terpancar di Buano

 

Seorang bocah menenteng ikan, hasil pancingannya. Di Pulau Rhun potensi perikanan sangat berlimpah. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia.

 

Mengelola SDA

Erastus Christelgo Manakena, salah satu peserta Kewang Muda kepada Mongabay Indonesia mengungkap, Desa Lohiatala, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, tempat dia tinggal adalah wilayah dataran, sehingga terkait sektor kelautan dan perikanan jauh dari pandangan mereka.

Meski demikian, dia mengaku, Lohiatala banyak hasil alam yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti pala, cengkeh dan tanaman jangka pendek semisal ubi-ubian, jagung, kacang dan lain-lain.

Yang jadi masalah saat ini, ada perusahaan asing dari Inggris masuk ke desa itu. Mereka membeli lahan-lahan warga di sana. Satu hektare dijual relatif murah, yakni Rp5 juta, dengan durasi 30 tahun.

“Perusahaan asing itu sekarang masuk dan memanfaatkan lahan warga untuk menanam pisang dolar. Perusahaan beli tanah masyarakat, dan masyarakat jual dengan alibi anak-anak di Lohiatala akan dipekerjakan di perusahaan tersebut,” ungkapnya.

Padahal, dalam kondisi COVID-19 seperti sekarang, katanya, masyarakat bisa manfaatkan dan mengelola lahan untuk kebutuhan sehari-sehari, terutama bagi tanaman-tanaman yang bisa dimakan atau dijual.

“Tanah-tanah dijual murah, Rp 5 juta per satu hektare. Hal ini sudah dilakukan sejak 2015 silam. Saat ini bangunan atau sebagian perkantoran perusahaan sudah dibangun,” katanya.

Menyoal ada motif lain dibalik masuknya perusahaan itu, Erastus mengaku, tidak mengetahui pasti.

“Kalau soal itu saya tidak tahu. Yang jadi persoalan adalah masyarakat akan menderita di negeri sendiri,” ujarnya.

Dengan mengikuti Kewang Muda, dia berharap bisa pulang kampung dan menjadi orang yang bermanfaat untuk melestarikan hutan maupun laut di Seram Bagian Barat.

Meskipun dia menyadari, menjadi kewang itu tidak gampang, karena ada tanggung jawab besar untuk mengurus batas-batas tanah, mengelolah sumber daya alam dan lain-lain.

 

Ikan yang dijemur oleh para nelayan Pulau Rhun, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia.

 

Potensi laut dan teknologi

Faradila Dani, peserta Kewang Muda asal Pulau Rhun mengaku, di desanya memiliki potensi perikanan sangat berlimpah. Di sana nelayan bisa mengambil ikan mulai dari 15 hingga 18 ton per harinya.

“Ada sekitar 6 jaring bobo (mini purse seine) yang beraktivitas. Setiap hari mereka ke laut untuk tangkap ikan,” katanya.

Namun yang menjadi kendala, keterbatasan wadah untuk menampung hasil tangkap nelayan di sana. Sebagian hasil tangkap dijual ke kapal-kapal, dibawa ke Ambon, tapi banyak juga yang terpaksa dibuang dan terbengkalai di laut.

Sejauh ini, katanya, di Pulau Rhun belum ada satupun peraturan desa (Perdes) yang bisa digunakan untuk menata sistem perikanan di wilayah tersebut.

“Kita serba dilema, karena di satu sisi ingin membuat aturan, tapi pada sisi yang lain, itu adalah mata pencaharian nelayan,” ujarnya.

Usai pelatihan Kewang Muda ini, kata Faradila, dirinya akan membangun relasi untuk memperkenalkan teknologi baru tentang pengelolaan ikan. Hal ini agar meminimalisir para nelayan tidak membuang ikan ke laut.

“Ibu-ibu kan buat abon ikan masih pakai cara ditumbuk, makanya mereka malas. Kemudian cara pengemasannya masih manual, tak bermerek dan tidak punya izin. Sehingga mau ekspor ke luar itu susah,” katanya.

Menurut dia, kalau buat ikan asing tergantung garam dan saisnya. Beda dengan abon ikan. Sehingga dia ingin mencari partner, agar usaha masyarakat bisa diperkenalkan dengan teknologi terbaru dan mendapat edukasi yang baik. Sisi lain bisa dibangun UMKM untuk memperdayakan masyarakat mengelola ikan serta dapat dipasarkan ke luar Pulau Rhun.

“Sekarang kalau bikin abon secara manual, lalu mau dijual ke mana. Kan, kita terkendala izin BPOM juga,” ujarnya.

 

Exit mobile version