Mongabay.co.id

Mengani, Desa Bibit Kopi Kintamani

 

Senyum sumringah petani bibit kopi hadir di Desa Mengani, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Sekitar 2 jam berkendara dari Kota Denpasar ke arah utara.

Hujan badai yang terus datang tak menyurutkan pembuatan ribuan bibit tanaman kopi. Inilah produsen bibit kopi yang didatangi petani kopi Kintamani dari berbagai desa.

Berkendara dari Kota Denpasar ke Desa Mengani adalah melewati desa-desa produsen hortikultura di Badung Utara. Misalnya Pelaga, Petang, dan Belok Sidan. Kebun bunga untuk kebutuhan persembahyangan seperti gumitir, kebun cabai, asparagus, dan lainnya. Sampai tiba di Kabupaten Bangli di dataran lebih tinggi yang cocok ditanami kopi. Mulai dari Desa Catur yang terkenal dengan akulturasi budayanya. Berlabuh di Desa Mengani jika melaju ke arah Timur dari jalan raya utama.

Sebelum sampai Mengani, di desa tetangganya, Batukaang ada pohon leci raksasa menjadi gerbang indah dan sangat rimbun. Persis di tengah jalan dan petigaan desa. Warga setempat menyebut, jika pohon leci ini jika berbuah, warga bersuka cita berusaha menarik buahnya dengan galah. Menikmati kesegaran leci yang manis dan sedikit asam, buah yang tak mudah dibudidayakan.

Memasuki Desa Mengani, di kanan dan kiri jalan desa nampak kebun-kebun kopi, jeruk, dan sayuran. Ada juga petak-petak kebun bibit kopi yang mudah diidentifikasi dari papan-papan nama pemiliknya yang dipasang di depan. Kebun juga terlihat lapang karena jadi etalase ribuan bibit untuk memasok kelanjutan generasi Kopi Kintamani.

baca : Petani Jeruk dan Kopi Kintamani Menyemangati Diri di Tengah Pandemi

 

Sang Ketut Yadnya memperlihatkan bibit tanaman Kopi Arabika Kintamani di Desa Mengani, Bangli. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu petaninya Sang Ketut Yadnya, 40 tahun. Sedikitnya ada 7 petani bibit kopi di Desa Mengani. Membuat desa ini menjadi desa kopi dari bibit sampai siap diseduh. Dari pembuatan bibit, menanamnya di kebun-kebun dengan sistem tumpang sari, sampai mengolah biji jadi bubuk kopi.

Yadnya awalnya hanya menanam dan merawat kopi di kebun, namun ada kebutuhan mendapatkan bibit kopi yang berkualitas untuk kebunnya. Setelah belajar dari petani lain, ia pun makin fokus mengembangkan usaha pembibitan.

Kendaraan pick-up terlihat parkir di kebun-kebun bibit. Para petani yang memulai masa tanam dengan membeli bibit usia 3 bulan seharga Rp2000/polybag. Seorang petani membeli rata-rata 1000 bibit ketika meremajakan kebunnya.

Salah satu pelanggan bibit adalah Made Teken. Ia baru mengolah kembali kebun yang tak terurus setelah berhenti bekerja sebagai penjaja ban kendaraan di kota Denpasar. Menurutnya bibit kopi di Desa Mengani sudah dikenal para petani, terutama petani kopi arabika. Kebunnya yang sekitar satu hektar akan ditanami kopi, jeruk, dan cabe. Kombinasi tanaman umur pendek dan panjang untuk mengisi keberlanjutan pendapatan keluarga.

Kopi dipanen satu tahun sekali, sementara cabe lebih cepat dan bisa beberapa kali dalam satu pohon. Panen jeruk dan kopi pun bergantian. Inilah tumpang sari yang terlihat di kawasan perkebunan kopi kintamani.

Tak hanya tumpang sari kopi dan jeruk, ada juga kopi, jeruk, dan sayur. Petak-petak tiap kebun di Kintamani pun terlihat menarik dengan model tumpang sari ini. Kebun jadi terlihat bersih, rapi, dan estetik.

baca juga : Mengkhawatirkan, Produksi Kopi Kebanggaan Bali Makin Turun. Ada Apa?

 

Biji kopi merah yang akan diolah sebelum disemai jadi bibit. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kopi ini juga mendapat sertifikat Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Kintamani karena ciri khas kopi tumpang sari kopi dan jeruk. Memberikan citarasa khas yang hanya ada di kawasan MPIG Kopi Kintamani.

Desa produsen dan pengolah biji kopi Kintamani di antaranya Desa Ulian, Belantih, Catur, dan Mengani. Untuk menunjukkan asal usul kopi kintamani, https://www.coffeetraceability.tech/ menggunakan teknologi untuk memperlihatkan rantai pasoknya. Project ini memilih Kintamani yang berlokasi di Kabupaten Bangli, karena salah satu kopi “khas” Indonesia, yaitu Kopi Kintamani. Sistem Informasi Ketelusuran ini berusaha mengintegrasikan aktor yang terlibat agar terciptanya keberlanjutan rantai pasokan kopi.

Jumlah petani dicatat lebih dari 500 KK dengan ratusan hektar kebun dan subak dikelola , koperasi yang dikelola MPIG. Rantai pasok ini di antaranya pengolah kopi, roastery, kedai kopi, dan pelanggan.

 

Biji Berkualitas untuk Bibit

Pembuatan bibit kopi dimulai dari pemilihan biji berkualitas yang akan disemai. Yadnya mengatakan biji kopi harus butiran cherry atau merah dan berbiji dua atau biji kopi lanang. Nah, biji ini dicuci kemudian dikeringkan sebentar atau melayukan. Setelah itu, biji disemai di lahan khusus yang gembur dan subur.

Ketika biji sudah tumbuh dengan dua daun, baru dipindahkan ke polybag. Bibit siap dijual ketika berusia 3-4 bulan atau tingginya sekitar 30 cm.

Yadnya memulai usaha bibit setelah belajar di kebun pembibitan petani lain. “Saya ingin melestarikan kopi Kintamani,” ujarnya. Keberlanjutan kopi ini tergantung pada ketersediaan bibit berkualitas.

Terkait keberlanjutan, kopi Kintamani juga menyangkut petani jeruk dan pengolahannya. Di Desa Mengani, sejumlah warga melakoninya dengan tekun.

perlu dibaca : Desa Wanagiri: Air Terjun dan Harumnya Kopi Bali

 

Bibit dibuat dari biji merah yang disemai. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satunya petani jeruk, Komang Alit yang melakukan budidaya jeruk. Ia memilih jeruk siam karena lebih laku. Panen raya sebelumnya harga di tingkat petani sekitar Rp5000 per kg. Tanaman jeruk bisa dipanen setelah 4 tahun, dan Alit meyakini hasilnya cukup baik jika dirawat.

Kopi dan jeruk adalah duo aromatik yang menghasilkan citarasa khas Kopi Kintamani. Musim panen kopi biasanya April sampai tengah tahun. Warga turun ke ladang memetik biji kopi untuk diolah sepanjang tahun.

Para petani memelihara ternak sapi untuk mendapatkan pupuk kandang bagi tanaman kopi dan jeruk. Kandang ternak ada di dekat kebun untuk memudahkan. Sapi juga bisa jadi tambahan penghasilan jangka menengah.

 

Sejarah Kopi Kintamani

Laman indikasi geografis Indonesia https://ig.dgip.go.id/detail-ig/5#proses-produksi menyatakan sumber-sumber bibliografi menunjukan bahwa kopi telah ditanam di pulai Bali sejak awal tahun 1800-an atau sudah sekitar dua abad yang lalu. Setidaknya di dalam buku Verslag over de Koffiecultuur in Amerika, Azie en Afrika (Laporan tentang Budidaya Kopi di Amerika, Asia dan Afrika) karya KF. van Delden Laerne (1885) disebutkan bahwa pada tahun 1825 telah dilakukan ekspor kopi Arabika dari Jawa sebanyak 10.377 picols (638 t; 1 picol = 61,5210 kg) yang kopinya berasal dari Bali dan Palembang.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pada tahun 1853 kopi Bali, Sumatera, dan Sulawesi diekspor dari Jawa dan Makassar masing-masing sebanyak 69.974 picols (4.305 t) dan 6.000 picols (369 t). Produksi kopi ini berlangsung selama abad 19, namun sebuah penyakit tanaman (karat daun kopi) menghancurkan perkebunan kopi Jawa dan Bali pada akhir abad.

Kopi ditanam lagi di Bali, khususnya di daerah Kintamani pada awal abad ke-20, setelah penyakit karat daun masuk ke Indonesia (pulau Jawa) pada tahun 1878. Penyakit ini rupanya juga telah menghancukan perkebunan-perkebunan besar kopi Arabika swasta di Bali. Penjajah Belanda menggunakan sampai dengan 13.000 ha di pegunungan Kintamani hanya untuk memproduksi kopi.

baca juga : Indikasi Geografis Belum Berdampak pada Petani Kopi. Benarkah?

 

Tanaman tumpangsari berupa kopi dan jeruk di Desa Mengani, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kedatangan Jepang pada pertengahan abad XX (1942) di Indonesia termasuk di Bali membuat pengurangan lahan kopi karena ada kebijaksanaan Pemerintah Jepang menyiapkan bahan pangan untuk perang, sehingga kopi diganti dengan tanaman jagung. Dengan meletusnya Gunung Batur beberapa kali (tahun 1917, 1948 dan 1977) dan disusul dengan meletusnya gunung Agung (tahun 1963) membuat lahan kopi Arabika semakin mengecil.

Akibatnya, produksi semakin menurun sehingga nama kopi Kintamani Bali terutama di pasaran dunia kurang dikenal. Mulai akhir tahun anggaran 1978/1979 Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Bali mulai berusaha untuk membangkitkan kembali budidaya kopi Arabika di Kintamani melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Pada tahun 1990, harga kopi dunia sangat rendah dan berdampak terhadap tekanan harga di tingkat petani. Oleh karena itu pada periode ini sebagian petani mulai menanam jeruk di areal perkebunan kopi. Sebagian petani menanam secara tumpang sari dan sebagian yang lain mengganti tanaman kopi dengan jeruk dan sayuran.

Karakteristik Kopi Kintamani Bali adalah kopi Arabika yang ditanam di dataran tinggi Kintamani dengan ketinggian di atas 900 mdpl, di lereng-lereng gunung berapi Batur yang tanah serta iklimnya sangat mendukung bagi tanaman kopi.

Kepala Desa Mengani I Ketut Armawan juga seorang petani kopi. Ia berharap bisa mengembangkan desanya jadi sentra dan ekowisata kopi dan jeruk. Terlebih saat pandemi ini, sebagian anak muda yang merantau bekerja di luar desa kini pulang kampung. Saat ini, ia sedang menyiapkan strategi pengelolaan sampah untuk mengurangi cemaran limbah di ladang pertanian.

 

Exit mobile version