Mongabay.co.id

Mencari Akar Masalah Banjir di Kota Besar Indonesia

Banjir bandang yang terjadi selain karena intensitas hujan tinggi juga karena disebabkan oleh sampah yang menumpuk di sungai. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

“Banjir Jakarta terjadi persis 400 tahun, tahun 1621. Harusnya, empat abad waktu yang lebih dari cukup untuk kita mengurai masalahnya,” kata Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute for Water Literacy, dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jumat [12/3/2021].

Nila bersama anggota Konsorsium Ground Up, belum lama ini melakukan penelitian di Semarang, terkait akses terhadap air dan risikonya. Konsorsium Ground Up terdiri akademisi dan kelompok masyarakat sipil. Mereka berasal dari IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Amrta Institute, dan Koalisi Rakyat Atas Air atau KruHA.

Mengutip data BNPB, banjir pada 2020 merupakan bencana alam terbanyak di Indonesia yaitu 36,50 persen. Lalu puting beliung [29,80 persen], tanah longsor [19,60 persen], serta kebakaran hutan dan lahan [11 persen]. Empat provinsi tertinggi yang mengalami bencana adalah Jawa Barat [623 kejadian], Jawa Tengah [522 kejadian], Jawa Timur [408 kejadian], dan Aceh [264 kejadian].

Khusus banjir yang terjadi, ada tiga jenis. Pertama, badan sungai tidak mampu menampung air sehingga meluap. Kedua, curah hujan di daerah atas sangat tinggi yang berpengaruh di kota di bawahnya. Ketiga, banjir rob atau limpasan air laut yang masuk ke darat.

Satu temuan penting penelitian mereka adalah, sebagian besar responden menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan harian [79,70 persen]. Dari PDAM hanya 19,70 persen. Pemenuhan kebutuhan air dari air tanah dalam sebesar 48,60 persen dan air tanah dangkal 31,40 persen.

“Mengapa memakai air tanah bisa menimbulkan masalah? Pertama, air tanah langsung digunakan tanpa ada pengolahan. Kedua, di perkotaan kontaminasi sangat tinggi apalagi di kawasan padat. Ketiga, di kota sebaiknya menggunakan air yang diolah. Keempat, penggunaan air tanah berlebihan bisa menimbulkan amblasan yang mempertinggi risiko banjir.”

Baca: Banjir dan Politik Ekologi Perkotaan

 

Banjir bandang yang terjadi di wilayah pantura Lamongan, Jawa Timur, akhir Mei 2020. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Amblasan tanah

Berdasarkan penelitian Ground Up, amblasan tanah [land subsidence] yang terjadi di Semarang, sudah mencakup hampir separuh kawasan ini. Di sekitar Bandara Ahmad Yani misalnya, amblasan mencapai 6 hingga 8 cm per tahun. Di sebuah rumah pompa, amblasan sudah 70 cm.

“Cukup banyak rumah di Semarang juga Jakarta yang ketinggiannya tidak normal. Mestinya genteng di atas kepala, tapi ada beberapa rumah yang kalau mau masuk harus nunduk,” kata Nila sambil memperlihatkan sebuah foto.

Dia juga menunjukkan bukti lain, foto hitam putih bangunan Masjid Layur Semarang. Pada 1910, masjid itu masih berupa bangunan dua lantai. Pada 2007, lantai bawahnya amblas menyisakan anak tangga 9 buah. Saat Nila mendatangi masjid itu pada 2020, anak tangganya tinggal 3, lantai bawahnya amblas.

Penelitian Heri Andreas 2021 menunjukkan, penurunan tanah di Jakarta berkisar 1 hingga 20 cm per tahun. Bekasi [4 cm], Semarang [20 cm], demikian juga Demak. Riset itu mengungkapkan, ada 112 kota atau kabupaten di pesisir Indonesia mengalami rob.

“Penduduk dekat pantai punya risiko tambahan, biasanya kesulitan air bersih terpengaruh air payau. Sayangnya, di lokasi penelitian dekat pantai itu belum mendapat layanan PDAM. Sebanyak 98,8 persen responden menggunakan air tanah. Akhirnya amblasannya paling tinggi dibanding daerah lain.”

Konsorsium Ground Up juga melihat perubahan tata guna lahan meningkatkan risiko banjir. Kawasan yang tadinya jadi resapan berubah jadi perumahan, serta industri.

“Respon dominan banjir umumnya melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidrolik. Hal ini sudah dimulai sejak Belanda meluruskan aliran Sungai Garang menjadi Banjir Kanal Barat pada 1850 dan Banjir Kanal Timur pada 1896.”

Baca: Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Banjir yang terjadi di Stasiun Tawang Semarang, pada 7 Februari 2021 lalu. Foto: Dok. Kominfo Jateng

 

Cara yang hampir sama juga diterapkan di Jakarta dengan membangun banyak kanal. Namun hal itu belum terbukti ampuh, tanpa diikuti solusi akar masalah.

“Terkait banjir di Semarang, sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasan rendah, dengan jenis tanah aluvial muda, adanya kenaikan muka air laut, dan konsentrasi penduduk serta aktivitas ekonomi. Cara yang digunakan sekarang tidak lagi tepat sebagai pendekatan utama,” ungkap Nila.

Berangkat dari penelitian itu, konsorsium menyodorkan sejumlah rekomendasi mengatasi banjir.

Pertama, pengelolaan dari sisi permintaan melalui efisiensi penggunaan air. Kedua, pemerintah perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah. Ketiga, pemanenan air hujan pada beragam skala.

Keempat, pengembangan sistem peringatan dini. Kelima, demokratisasi infrastruktur, yaitu meninggalkan mega infrastruktur yang tersentralisasi dan biasanya dipaksakan dari atas ke bawah. Pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari bawah ke atas.

Baca: Longsor Sumedang: Waspada di Tanah Rawan Bencana

 

Inilah Masjid Layur Semarang tahun 1910. Foto: Dok. Tropen Museum, Belanda

 

Saling menumpang

Bosman Batubara, yang juga menjadi narasumber menjelaskan, penanganan banjir selama ini tumpang tindih dengan upaya mengeruk keuntungan ekonomi dari berbagai proyek.

Menjawab pertanyaan peserta diskusi tentang bajir Jakarta, dia menuturkan, sejauh ini tidak ada roadmap banjir yang jelas tiap tahun. Kandidat doktor pada IHE Delft Institute for Water Education University of Amsterdam itu mengatakan, sebenarnya roadmap penanganan banjir di Jakarta telah beberapa kali disusun.

Pada 2011, dikeluarkan dokumen bernama Jakarta Coastal Defence Strategy. Kemudian berubah pada 2014, menjadi National Capital Integrated Coastal Development. Lalu berubah lagi menjadi Updated NCICD pada 2016. Pada 2018 master plan itu menjadi Integrated Flood Safety Plan.

“Cuma, yang saya ragukan sama halnya COVID-19. Isunya terbelah antara penanganan kesehatan atau memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Satu, supaya Jakarta tidak banjir. Kedua, saat bersamaan membayangkan pertumbuhan ekonomi atau penghasilan datang melalui reklamasi pulau.”

Bosman sendiri menolak proyek reklamasi yang menurutnya saling menumpang dengan proyek penanganan banjir.

“Pertumbuhan ekonomi dan penanganan banjir saya pikir selalu berpacu. Kelihatannya, yang “memenangkan” pertarungan adalah kebutuhan untuk menjaga berlangsungnya proses yang menghasilkan keuntungan.”

Baca juga: Masalah Banjir, Peneliti: Jakarta Harus Benahi Kebijakan dan Perilaku Masyarakat

 

Masjid Layur Semarang tahun 2020. Foto: Dok. Ground Up

 

Historis Jakarta, kurang lebih sama dengan Semarang. Data 100 tahun curah hujan bulanan di Jakarta tidak menunjukkan tren meningkat. Sejak 1800-an akhir sampai 2007, trennya mendatar. “Artinya, tidak terjadi perubahan atau peningkatan curah hujan yang kencang,” ujarnya.

Bosman mengungkapkan, data peristiwa banjir tahunan yang tercatat selama itu justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya.

“Data banjir di Jakarta menunjukkan dua kali lipat setiap kurang lebih 50 tahun. Kalau tahun 1800-an akhir atau 1900-an awal terjadi dua kali banjir setahun, 1940 atau 1950 terjadi empat atau lima kali setahun. Pada 2010 bahkan 10 kali banjir setahun.”

Dari catatan itu, curah hujan selama satu abad tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Bosman menengarai, hal itu juga terjadi dengan kota lain seperti Semarang.

Mengapa? Ini terkait bagaimana sebuah kota tercipta.

“Kita bicara urbanisasi, bukan bagaimana orang pindah ke kota, tapi juga bagaimana sebuah kota tercipta. Lalu ada amblasan tanah, pengambilan air tanah dalam.”

Di kota-kota pesisir seperti Pekalongan, Semarang, dan Jakarta, ekstraksi air tanah menyebabkan amblasan tanah dan memperparah banjir. Kota-kota itu juga semakin gampang terkena rob.

“Daerah-daerah yang tadinya hijau semakin dipenuhi bangunan atau permukaan yang tidak bisa ditembus air. Kemampuan bentang alam meresapkan air semakin berkurang, sehingga dalam suatu waktu tertentu masuk celah-celah, kemudian mengumpul di sungai, dan banjir. Saya kira cerita tadi terjadi di banyak kota di Indonesia.”

 

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor, pada Rabu [1/1/2020] lalu. Aliran air ini disebut selalu membawa banjir ke Jakarta melalui Sungai Ciliwung. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Repolitisasi

Bosman mengajak semua pihak untuk mengurai penyebab lain banjir selain curah hujan.

“Saya pikir tidak ada solusi instan untuk masalah ini.”

Jika kota-kota di pesisir Pulau Jawa makin amblas dan banjir tak juga terselesaikan, ditambah dampak perubahan iklim, apakah tidak sebaiknya disiapkan sebagai kota air?

Menjawab pertanyaan Mongabay itu, Nila menerangkan sebaiknya kawasan-kawasan rendah yang biasa menjadi tempat air, tidak diperuntukkan bagi aktivitas yang berdampak.

“Kalaupun sudah berubah peruntukkannya, jangan ditambah lagi. Saya lihat bagus di Jakarta, contohnya Pacuan Kuda Pulo Mas. Itu kawasan yang sudah cukup dalam. Sebenarnya tempat parkir air, tapi tidak dimanfaatkan untuk bangunan.”

Tata guna lahan penting sekali. Seperti di Semarang, Simpang Lima, dari dulu itu tempat parkir air. “Sekarang, sudah jadi hutan benton. Hujan sedikit terendam.”

Terkait banjir Pekalongan yang foto-fotonya viral karena berwarna merah akibat bercampur pewarna batik, menurut Nila peristiwa itu penting menjadi perhatian bersama. Terlebih, angka amblasan di sana tinggi dan lajunya tergolong cepat.

“Beberapa peneliti melihatnya karena pengambilan air tanah yang cukup banyak. Kami dengar di setiap RW di Pekalongan sekarang ada sumur dalam bersama. Ini potensial menimbulkan amblasan tanah yang akhirnya meningkatkan risiko banjir. Sama dengan Jakarta atau Semarang.”

 


 

Bosman dalam diskusi itu juga menyoroti sikap yang ditunjukkan pemerintah dan netizen dalam melihat persoalan banjir. Menurutnya, respon pemerintah terlihat sebagai depolitisasi masalah banjir melalui teknifikasi. Yaitu, analisis yang memperlakukan banjir sebagai masalah apolitis teknis, berujung pada solusi teknis.

Sementara netizen melakukan repolitisasi dengan analisis ekonomi politik, bahwa banjir adalah peristiwa politik teknis. Konsekuensinya, bisa melahiran solusi politis.

“Analisa yang dilakukan menteri dan gubernur akan berujung pada solusi teknis. Tidak heran proposal mereka adalah normalisasi sungai, pembangunan infrastruktur, seperti Tol Tanggul Laut Semarang Demak. Sementara yang dilakukan netizen, selain teknis juga politis. Konsekuensinya terhadap manajemen banjir, kalau ada yang melanggar ruang terbuka hijau ya harus dikembalikan.”

Menurut Nila, Indonesia bisa belajar dari Kota Tokyo, Jepang. “Mereka tahun 1960-an mengalami banjir dan amblasan tanah cukup dalam. Pemerintahnya secara bertahap membuat program pembatasan penggunaan air tanah. Di Indonesia kelihatannya sebaliknya, makin banyak kota yang banjir dan amblas,” paparnya.

 

 

Exit mobile version