Mongabay.co.id

Ancaman Praktik Kerja Paksa dan Perdagangan Orang

 

Praktik kerja paksa dan sejumlah resiko lain saat bekerja menjadi awak kapal perikanan (AKP) di atas kapal perikanan, sampai sekarang masih menjadi hal paling menakutkan bagi warga dunia, utamanya warga Negara Indonesia (WNI) yang akan bekerja untuk profesi tersebut.

Ketakutan tersebut muncul, karena sudah banyak AKP asal Indonesia yang menjadi korban saat bekerja di atas kapal perikanan. Bahkan, di antara mereka ada yang terpaksa harus meregang nyawa, karena praktik tersebut menyebabkan fisik menjadi tersiksa.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menerangkan, resiko terkena praktik kerja paksa dan perdagangan orang saat bekerja pada kapal perikanan menjadi permasalahan yang sedang dicarikan solusinya dengan tepat.

Namun, agar resiko tersebut bisa dihindari, maka setiap orang yang akan bekerja di atas kapal perikanan sebagai AKP, seharusnya bisa mendapatkan bekal berupa pengenalan resiko kerja dan pencegahan kerja paksa, dan perdagangan orang pada sektor perikanan.

“Akan sangat strategis itu dilakukan sejak dari jenjang Pendidikan menengah dan Pendidikan tinggi,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

baca : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menurut Abdi Suhufan, perlunya diberikan pembekalan berupa pengetahuan, karena calon tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan bekerja sebagai AKP akan mendapatkan pengetahuan yang cukup, agar bisa mengenali resiko, indikator, praktik kerja, dan perdagangan di atas kapal perikanan.

Dengan pengenalan tersebut, diharapkan para calon AKP yang sedang menempuh pendidikan mempunyai kesempatan untuk menghindari dan memilih tempat bekerja yang lebih ramah, humanis dan memenuhi unsur legalitas perlindungan AKP.

Bagi dia, praktik kerja paksa modern dan perdagangan orang pada subsektor perikanan tangkap, masih menjadi bahaya laten yang bisa mengancam AKP asal Indonesia. Untuk itu, agar ancaman tersebut tidak sampai ke TKI yang bekerja sebagai AKP, maka diperlukan peran institusi pendidikan dengan baik.

“Perlu peran serta dunia pendidikan untuk mengadopsi bahan ajar yang memuat ketentuan ketenagakerjaan bagi awak kapal perikanan, pengenalan resiko kerja di kapal ikan dan indikator kerja paksa serta perdagangan orang,” jelas dia.

Salah satu upaya yang sedang dilakukan sekarang, adalah melaksanakan uji coba bahan ajar kepada siswa Sekolah Menengah Kejuruan – Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SMK/SUPM) Al-Maarif, Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah.

Kegiatan yang dilakukan secara bersama antara DFW Indonesia dengan Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas) Project tersebut mengadopsi materi pengenalan resiko kerja dan indikator kerja paksa, serta perdagangan orang untuk masuk dalam kurikulum sekolah.

baca juga : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah yang berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok pada November 2020. Foto : Hubla Kemhub

 

Uji Coba

Field Manager DFW Indonesia untuk SAFE Seas Project Amrullah menjelaskan, penyusunan bahan ajar yang diberikan kepada siswa sudah melalui proses konsultasi dengan sejumlah pihak yang terkait seperti tenaga pengajar, AKP, pemilik kapal, agen penyalur (manning agent), dan siswa.

Dengan melaksanakan konsultasi lebih dulu bersama sejumlah pihak terkait, maka bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa menjadi berkualitas dan sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk calon AKP. Bahan ajar tersebut hingga sekarang baru diadopsi menjadi kurikulum oleh SUPM Tegal.

“Ini bisa menjadi contoh dan model bagi sekolah menengah kejuruan dan politeknik perikanan agar muatan perlindungan ketenagakerjaan bisa diberikan pada tingkat Pendidikan menengah dan tinggi,” ungkap dia.

Kepala SMK/SUPM Al Maarif Fahman Hidayat mengatakan bahwa upaya pengenalan materi ketenagakerjaan perikanan yang dilakukan melalui SAFE Seas Project, menjadi sangat relevan jika dihubungkan dengan kurikulum sekolah.

Hal itu, karena SUPM Al Maarif sejauh ini sudah memberikan mata pelajaran yang dibutuhkan untuk subsektor perikanan tangkap, seperti hukum laut dan peraturan perundangan, bimbingan karir, dan simulasi digital.

“Bahan ajar ini sangat relevan dengan kurikulum dan beberapa mata pelajaran tersebut,” ucap dia.

Adanya bahan ajar baru tersebut, diyakini akan bisa mempertajam metode dan materi pelajaran yang sudah ada sekarang. Hal itu bisa terjadi, karena bahan ajar tersebut akan memperbarui regulasi terbaru, meningkatkan kewaspadaan sekolah terhadap ancaman bagi lulusan.

“Juga (bisa) membantu sekolah dalam melakukan penelusuran dunia kerja,” tambah dia.

baca juga : Cita-cita Perlindungan Awak Kapal Perikanan Semakin Mendekati Kenyataan

 

Reynalfi dan Joni Juniansyah, awak kapal perikanan kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901 melaporkan kasus perdagangan manusia yang mereka alami kepada petugas keamanan di Batam. Foto : TribunBatam.id/Elhadif Putra

 

Menurut Fahman, materi yang dikembangkan oleh SAFE Seas Project diyakini akan sangat membantu pihak sekolah untuk bisa melacak dan memastikan perusahaan perekrut alumni sekolah adalah perusahaan yang kredibel dan bukan perusahaan bodong.

Diketahui, SAFE Seas Project berupaya memperkuat perlindungan AKP dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong rantai pasokan yang adil dan transparan dalam industri perikanan, di antara sektor swasta dan pemerintah.

 

Tanpa Henti

Sebelum bahan ajar diadopsi SUPM Tegal, berbagai praktik negatif di atas kapal perikanan sering dirasakan para AKP dari Indonesia. Termasuk, yang paling mutakhir dirasakan oleh tujuh orang AKP yang mengalami prakti penelantaran oleh kapal perikanan.

Laporan tujuh orang AKP tersebut diterima Fisher Center yang ada di Kota Tegal beberapa waktu lalu. Dari laporan tersebut, diketahui kalau ketujuh AKP tersebut berada di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan terindikasi seluruhnya mengalami praktik kerja paksa.

Ketujuh orang AKP tersebut dilaporkan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, termasuk dengan diturunkan di pelabuhan perikanan di Merauke, hingga sampai terlantar. Sebelumnya, mereka juga merasakan kondisi kerja tidak nyaman saat bekerja di atas KM Jaya Utama.

“Mereka juga minim mendapatkan bahan makanan saat berada di atas kapal ikan tempat mereka bekerja,” ucap Abdi Suhufan.

Adapun, ketujuh orang AKP tersebut diketahui berasal dari pulau Jawa dan terjebak penipuan lowongan pekerjaan oleh calo yang dipasang pengumumannya pada media sosial. Selain ada yang berasal dari DKI Jakarta, ada juga yang berasal dari sejumlah daerah lain dan direkrut oleh nakhoda di Pekalongan, Jawa Tengah.

Setelah itu, ketujuh orang tersebut kemudian diberangkatkan menuju Sorong, Papua dari Surabaya, Jawa Timur. Sesampainya di Sorong, mereka kemudian mulai bekerja untuk menangkap ikan di peraian Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.

“Kemudian terlantar di Merauke,” sebut dia.

Sebelum mulai bekerja di atas kapal, ketujuh AKP sudah menandatangani perjanjian kerja laut (PKL) dan di dalamnya disebutkan bahwa mereka mendapatkan gaji sebesar Rp30.000 per hari atau sekitar Rp900.000 per bulan. Nominal tersebut belum termasuk bonus penangkapan yang juga disebutkan dalam PKL.

perlu dibaca : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Akan tetapi, Abdi Suhufan menerangkan, jika mengacu kepada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut, pengupahan AKP harus diberikan minimal dua kali upah minimum regional (UMR).

“PKL mereka tidak sesuai dengan Permen KP 42/2016, sebab tidak ada satupun provinsi di Indonesia saat ini yang menetapkan UMR Rp 900.000 per bulan,” ucap dia.

Di luar nominal gaji, ketujuh orang AKP juga melaporkan bahwa mereka terjebak utang kepada nakhoda kapal dan menyebabkan mereka terikat untuk terus bekerja keras selama di atas kapal. Fakta tersebut menegaskan bahwa ada praktik kerja paksa yang berlangsung di atas kapal.

Peneliti DFW Indonesia Baso Hamdani mengatakan bahwa ada ketidaksinkronan pelaksanaan aturan PKL oleh unit pelaksana teknis (UP) UPT Pelabuhan dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan provinsi. Dalam praktiknya, kapal perikanan masih banyak yang tidak patuh melaksanakan regulasi.

Lebih detail, kapal yang belum patuh itu adalah mereka yang berukuran di bawah 30 gross ton (GT) dan izinnya dikeluarkan oleh Provinsi. Kapal-kapal tersebut banyak yang masih belum sepenuhnya patuh kepada Permen KP 42/2016.

“Sehingga awak kapal yang bekerja di kapal ikan dengan izin daerah banyak yang tidak memiliki PKL,” tegas dia.

Tak cuma PKL, AKP juga banyak yang belum memiliki buku pelaut dan sertifikat pelatihan dasar keselamatan (basic safety training). Kondisi tersebut semakin tak terpantau untuk wilayah seperti Papua dan Maluku yang masih banyak keterbatasan akses.

 

Exit mobile version