Mongabay.co.id

Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini

 

 

Salah satu peluang besar bagi masyarakat untuk turut serta menjaga dan melestarikan hutan Indonesia adalah melalui program Perhutanan Sosial [PS]. Apa keuntungannya?

“Masyarakat harus menjadi unsur utama dalam upaya mengembalikan fungsi hutan seperti semula, yaitu sebagai pelindung dari sisi ekologi maupun ekonomi,” kata Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, saat membuka webinar Perbaiki dan Pulihkan Hutan: Jalan Menuju Masyarakat Desa Hutan Sejahtera yang digelar Mongabay Indonesia, Yayasan KEHATI, TFCA-Sumatera, TFCA-Kalimantan, dan Journalist Learning Forum, Kamis [18/3/2021].

“Peran masyarakat sekitar hutan sangat penting, untuk mewujudkan keberlanjutan dan kemandirian mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari,” lanjut Samedi.

Baca: Ulasan Tutup Tahun: Kala Perhutanan Sosial Tak Masuk Proyek Strategis Nasional

 

Pohon kulit biawak yang terdapat di HKm Bukit Cogong, Sumatera Selatan. Salah satu manfaat ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat dari perhutanan sosial adalah hasil kayu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, berdasarkan publikasi Identifikasi dan Analisis Desa di Sekitar Kawasan Hutan Berbasis Spasial Tahun 2019 oleh BPS [Badan Pusat Statistik], tercatat 39.147 desa [46,76 persen] berada di tepi kawasan hutan, dan sebanyak 3.324 desa [3,97 persen] berada di dalam kawasan hutan.

Dari data tersebut, 1.790 desa berada di tepi kawasan hutan konservasi, 1.717 desa di tepi kawasan hutan lindung, serta 1.038 desa di tepi kawasan hutan produksi.

Sejauh apa program PS melibatkan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan tersebut?

Bambang Supriyanto, Direktur Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan [PSKL], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [19/03/2021], menjelaskan dari target 12,7 hektar, realisasi PS hingga Maret 2021 baru mencapai 4.500.293, 8 hektar melalui 6.892 SK izin atau hak PS. Ini melibatkan kurang lebih 929.892 kepala keluarga.

Luasan pengelolaan PS terbagi dalam sejumlah skema. Ada Hutan Desa [1.706,326,15 hektar], Hutan Kemasyarakatan [820.318,81 hektar], Hutan Tanaman Rakyat [354.202,68 hektar], Kemitraan Kehutanan yang terbagi dalam Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan [441.209,75 hektar] dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial [30.579,49 hektar], serta Hutan Adat [1.147.657,00 hektar].

Capaian luasan tersebut masih jauh dari target pemerintahan Jokowi yang hingga tahun 2024 seluas 12,7 juta hektar.

Dari catatan Mongabay Indonesia, Program PS sudah dijalankan sejak 2007. Namun hingga 2014, akses kelola masyarakat melalui PS hanya seluas 449.104,23 hektar. Dalam tujuh tahun ini, tercapai sekitar 4 juta hektar luasan hutan yang diakses masyarakat melalui program PS.

Baca juga: Peran Media Dibutuhkan untuk Perkembangan Perhutanan Sosial

 

Madu kelulut merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat secara lestari. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harmonisasi alam dan manusia

Fajar Sumantri, Koordinator Konsorsium Kota Agung Utara [Korut] yang memiliki luas areal HKm mitra dampingan seluas 43.945,14 hektar di 14 kecamatan di Provinsi Lampung, menjelaskan strategi mereka mengelola hutan dan melibatkan masyarakat.

Korut melakukan pemetaan dengan mengaitkan tiga isu, yaitu kelola lembaga, kelola kawasan dan kelola usaha, dengan keterlibatan sejumlah mitra strategis.

“Dari tingkat tapak hingga pemangku kebijakan seperti KLHK, TNI, POLRI, DPR, PEMDA, KPH hingga organisai pegiat lingkungan, karena kegiatan pengelolaan hutan, baik itu perbaikan atau konservasi harus melibatkan semua elemen masyarakat,” ujarnya.

Kemudian, penting memetakan potensi jenis tanaman yang masuk dalam kategori MPTS [Multi Purpose Tree Species] atau tanaman serba guna. Artinya dapat menghasilkan kayu maupun bukan kayu [getah, buah, daun, bunga, serat, pakan ternak, dan sebagainya].

“Sejumlah jenis pohon seperti durian, petai, kemiri, jengkol dan duku yang berada di areal dampingan usia tiga tahun, dilakukan intervensi. Harapannya, dapat menggantikan area tangkapan yang sudah banyak hilang akibat perambahan, sekaligus bermanfaat [ekonomi dan ekologi] bagi masyarakat sekitar,” katanya.

 

Salah satu kawasan HKm Bukit Cogong, Sumatera Selatan, yang sempat dirambah namun kembali rimbun setelah masyarakat melakukan penanaman. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Korut juga melakukan kegiatan penguatan lembaga melalui Wanawiyata Widyakarya sebuah Community Forestry Learning Center [CFLC] yang akan mendukung tata niaga HKm [Hutan Kemasyarakatan]. Seperti pelatihan dan pemagangan, pemasaran produk skala kecil dan besar, pengolahan produk HHBK [Hasil Hutan Bukan Kayu], hingga membentuk pasar bersama melalui koperasi.

“Kami mendukung optimalisasi produk unggulan dari masing-masing HKm seperti kopi, kakao, madu, dan HHBK lainnya, yang kemudian dapat distribusikan melalui pembentukan kelembagaan ekonomi seperti 11 koperasi primer dan 1 koperasi sekunder,” lanjutnya.

Hasilnya, dari 27 Gapoktan HKm dampingan Korut, dengan komoditi utama kopi robusta, dengan total luas 43. 645,9 hektar yang dapat memproduksi 34. 916.12 kilogram, dapat menghasilkan uang sekitar Rp698 miliar lebih setiap tahun.

“Angka yang lumayan besar dan menjanjikan bagi ekonomi masyarakat. Ini adalah hutan kemasyarakat, bukannya hutan kopi masyarakat,” ujarnya.

Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan juga meningkat, diiringi bertambahnya tutupan lahan. Ini dapat dilihat dari dominasi tanaman tajuk tinggi berusia di atas tiga tahun sebanyak 4.333.127 pohon, yang bersumber dari 200.000 bibit MPTS, ditanam bersama masyarakat pada 2013-2017 lalu.

“Dengan skema kelola lembaga [Community Forestry Learning Center ] ditambah kelola usaha [Community Forestry Business Center] dan kelola kawasan, kita berharap dapat membangun usaha-usaha kreatif kehutanan guna mensejahterakan masyarakat, serta hutan yang lestari dan bekelanjutan,” katanya.

 

Pondok kebun warga di kawasan HkM Bukit Cogong, Sumatera Selatan. Tujuan perhutanan sosial adalah masyarakat bisa hidup sejahtera dari terjaganya kawasan hutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Upaya konservasi

Dikutip dari laman menlhk.go.id, deforestasi netto tahun 2019-2020, baik di dalam maupun luar kawasan hutan Indonesia sebesar 115,5 ribu hektar. Perolehan angka ini didapat dari deforestasi bruto sebesar 119,1 ribu hektar, dikurangi angka reforestasi [hasil pemantauan citra satelit] sebesar 3,6 ribu hektar.

Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 104,4 ribu hektar, sekitar 58,1 persen atau 60,64 ribu hektar berada di kawasan hutan dan sisanya seluas 43,7 ribu hektar atau 41,9 persen berada di luar hutan.

Kalimantan menjadi wilayah yang kawasan hutannya mengalami deforestasi tertinggi, yaitu 41,5 ribu hektar atau 35,9 persen dari total angka deforestasi.

Di sisi lain, merujuk Kata Data Insight Center [KIC] 2020, Kalimantan Barat menjadi percontohan terbaik dalam implementasi skema Hutan Desa. Indeks Perhutanan Sosial mencapai 81,9, jauh melampaui angka median nasional yaitu 36.

Hingga Oktober 2020, ada 116 izin Hutan Desa dengan luas total mencapai 334 ribu hektar, yang telah melibatkan 235 kelompok usaha [terbanyak se-Indonesia], serta 105 potensi komoditas [terbesar kedua di kategorinya], yang pada akhirnya sangat berperan dalam membangun desa di Kalimantan Barat.

People Resources and Conservation Foundation [PRCF] melakukan pengelolaan hutan desa di jantung Kalimantan, tepatnya di Desa Nanga Lauk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dengan luas mencapai 1.430 hektar atau 18 persen dari total luas desa, yang dihuni 706 jiwa atau 197 KK.

“Aktivitas pengelolaan yang didesain oleh komunitas Nanga Lauk, mengedepankan masyarakat agar terlibat mencegah, atau mengurangi angka deforestasi disekitar kawasan hutan,” kata Imanul Huda, Direktur Eksekutif PRCF, dalam ac.ara yang sama.

Kawasan hutan Desa Nanga Lauk merupakan ekosistem rawa gambut yang menyimpan 130.000 ton karbon dalam bentuk biomassa kayu.

“Keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan yang efektif, diperkirakan dapat mencegah emisi karbon sebesar 1.500 ton per tahun dari hilangnya pohon. Bahkan, bisa lebih jika menghitung pengeringan gambut yang umum terjadi,” lanjutnya.

HOB [Heart Of Borneo] merupakan kawasan hutan hujan terluas di Asia Tenggara [22 juta hektar]. HOB adalah rumah bagi 6 persen keanekaragaman hayati dunia, yaitu 221 jenis mamalia seperti orangutan dan langur, 620 jenis unggas, hingga 15.000 jenis tanaman berbunga.

“Edukasi dini terhadap masyarakat di sekitar hutan sangat penting. Agar, mereka tergerak menjaga dan melestarikan potensi keanekaragaman hayati, juga memberikan dampak dari segi ekonomi,” jelasnya.

 

Kijang sumatera [Muntiacus montanus] merupakan salah satu satwa yang hidup di kawasan hutan Sumatera. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kayu dari hutan lestari

Manfaat hasil hutan juga dapat diupayakan melalui program PS. Ini sebagaimana yang dilakukan Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, Yogyakarta.

“Koperasi kami bertujuan sebagai unit usaha kelompok tani hutan rakyat dan perhutanan sosial,” kata Sudarmi, Ketua Koperasi Wana Mangunggal Lestari.

Koperasi ini berdiri sejak 2006 dan memperoleh sertifikasi VLK [Verifikasi Legalitas Kayu] namun tidak melakukan surveilence, menerapkan sistem serba usaha, yang artinya menerima berbagai macam produk hasil hutan, baik itu berupa hasil kayu, maupun bukan kayu.

“Penentuan komoditi tergantung dari potensi HKm-HTR yang telah kami petakan sebelumnya. Kawasan yang kami dampingi mempunyai potensi hasil kayu, seperti jati, mahoni, sengon, kaliptus dan akasia,” kata Sudarmi.

Ada juga produksi hasil bawah tegakan, yang meliputi tumpangsari seperti jagung, kacang, jahe, kunir dan garut.

“Hasil olahan seperti aneka kripik dan empon-empon berupa wedang uwuh dan serbuk jahe instan, juga kami produksi. Tentunya sangat menghasilkan dan bermanfaat saat pandemi ini,” katanya.

Saat ini, 42 pemegang IUPHKm mengelola kawasan hutan seluas 1.284,45 hektar yang meliputi dua kabupaten, Gunung Kidul dan Kulon Progo. Pemanfaatan hasil kayu yang diolah Koperasi Wana Manunggal Lestari juga didukung kebutuhan industri kayu yang cukup tinggi di Yogyakarta dan sekitarnya, sebagai mebel, bahan bangunan, kerajinan, dan ekspor.

“Kegiatan koperasi juga memberikan edukasi kepada masyarakat, mulai dari proses identifikasi jenis pohon siap tebang, teknik penebangan, pengolahan hingga proses penjualan, seperti negosiasi, perkiraan harga, hingga cara menjalin kerjas ama untuk dukungan operasional,” kata Sudarmi.

Agar koperasi dapat berjalan baik, kekompakan antaranggota sangat penting. Semakin banyak kelompok HKM bergabung, koperasi kian eksis.

“Lestarinya hutan sepenuhnya sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version