Mongabay.co.id

Inilah Rencana Aksi Konservasi Perairan dan Perlindungan Penyu Laut di Arafura dan Laut Timor

 

Kawasan Arafura dan Laut Timor (Arafura and Timor Seas/ATS) diperkirakan memiliki nilai ekonomi USD 7,3 miliar.

Berdasarkan analisis, dikutip dari laporan program ini, kontribusi nilai ekonomi tertinggi berasal dari jasa budaya, khususnya pariwisata. Nilai tertinggi berikutnya dari kategori jasa penyediaan, meliputi perikanan, kayu, dan budidaya.

Kawasan ATS disebut kawasan yang sangat penting bagi satwa dilindungi, dugong mencari makan, tempat bersarang dan makan bagi penyu dan lumba-lumba, serta tempat makan dan koridor migrasi penyu, hiu paus, dan cetacea.

Konsultasi Nasional Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Rencana Aksi Regional Perlindungan Penyu Laut untuk Arafura dan Laut Timor, 17 Maret 2021 secara daring. Proyek the Arafura and Timor Seas (ATSEA-2) ini didanai GEF-UNDP.

Handoko Adi Susanto, Regional Project Manager ATSEA-2 mengatakan ini adalah kelanjutan ATSEA pertama. Program ini mengidentifikasi 5 isu utama yang harus ditangani kerjasama 4 negara di wilayah ATS yakni Indonesia, Australia, Papua Nugini (PNG), dan Timor Leste. Di antaranya manajemen perairan, polusi, deradasi habitat, dan lainnya ini berlangsung 5 tahun. Dibagi 3 komponen yakni kerjasama dan kelembagaan, serta perubahan iklim.

Konsultasi regional empat negara akan dihelat 31 Maret 2021. Kawasan ini strategis karena kaya keanekaragaman hayati. Perlindungan penyu laut juga jadi prioritas karena 6 dari 7 spesies penyu dunia ada di perairan ini. Kepulauan Indonesia yang masuk area ini adalah Rote Ndao, Merauke, dan Laut Aru.

baca : Menjaga Laut Arafura dan Timor Tetap Lestari dan Berkelanjutan

 

Anggota Pokmaswas Pedan Wutun bersama nelayan di Kelurahan Ritaebang, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT, sedang menyaksikan seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) yang terjerat di pukat dan berhasil dilepaskan. Foto : Pokmaswas Pedan Wutun

 

Yayan Hikmayani, Kepala Pusat Riset Perikanan BRSDM KP-Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut ekosistem laut di ATS sangat strategis karena berbatasan dengan 4 negara, kaya sumberdaya, dan memiliki ekosistem laut dangkal seperti mangrove, palung, dan lamun. Area ini juga penangkapan pelagis dan udang, destinasi wisata bahari, jalur migrasi paus, lumba, dan penyu laut.

Nilai ekonomi sekitar USD7,3 miliar. Tapi ancamannya perlu ditangani. Misalnya pengambilan hasil laut tak ramah lingkungan, tangkapan sampingan atau by-catch banyak yang bukan target, penangkapan ilegal, dan perubahan iklim. “Megafauna yang bermigrasi paus, hiu, dutung juga terancam, ada ekstraksi minyak dan gas,” lanjutnya.

Yayan menyebut perlu memastikan keberlanjutan untuk berkontribusi pada masyarakat. Isu lintas batas ini perlu kerjasama regional. Konsultasi publik rencana aksi menjadi pemandu kegiatan lanjutan.

Rancangan jejaring KKP di ATS ini upaya menyiapkan perlindungan habitat kunci dan mengatasi ancamannya. Pada 2021-2024, Yayan mengatakan, KKP membuat program peningkatan perikanan budidaya seperti membangun kampung perikanan tawar dan payau.

Yusuf Fajariyanto dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mempresentasikan rencana jejaring KKP di ATSEA. Area ini berdekatan dengan kawasan segitiga karang dunia, salah satu keanekaragaman hayati tertinggi dunia. Salah satu rencana aksi strategis adalah jejaring KKP, perangkat yang dinilai penting untuk melindungi spesies, pemulihan, perikanan tangkap, kesejahteraan masyarakat pesisir, dan adaptasi perubahan iklim.

Keempat negara sudah punya rencana KKP masing-masing sehingga perlu dikompilasi untuk merancang rencana aksi. Faktor penting yang jadi panduan adalah di ATSEA adalah tempat penetasan penyu, situs penyelaman, dan koridor migrasi.

baca juga : Lumbung Ikan Nasional Manjakan Industri Skala Besar?

 

 

Ancaman yang sudah nampak misalnya pengambilan telur penyu, dampak PLTU, jalur transportasi laut, tambang minyak gas, dan lainnya. Area yang harus dihindari (locked out) program ini di antaranya kawasan migas dan kabel bawah laut.

Saat ini di Indonesia ada 91 KKP dengan luas sekitar 27 juta hektar. Saat ini ada tambahan 16 area potensial dialokasikan sebagai KKP baru sekitar 2,1 juta ha. Total proyeksi KKP 29 juta ha. Untuk Indonesia ada 20 KKP eksisting seluas 1,9 juta ha, 10 potensial area 1 juta ha, total 3 juta ha.

Menurutnya Indonesia sudah punya EVIKA, alat mengukur efektivitas KKP, memiliki panduan dan contoh desain, dan regulasi untuk merangkum berbagai peraturan sejumlah KKP.

Dari fase I, menurut Yusuf ada target yang tak tercapai seperti gunung laut dan estuari, karena overlap dengan jalur eksisting seperti kabel bawah laut dan tambang gas.

Sementara itu, terkait rencana aksi pelindungan penyu laut di kawasan ATS, Marthen Welly dari CTC memberi catatan, hingga kini data PNG dan Timor Leste sulit didapatkan.

Beberapa spesies dari Australia yang masuk Arafura dan Laut Timor misalnya penyu Pipih (flatback) dan Hijau. Penyu Tempayan (loggerhead) migrasi ke area ATS, sementara penyu Hijau jumlahnya lebih sedikit. Data didapatkan dari satelit telemetri untuk migrasi.

perlu dibaca : Penyu Belimbing Sering Terjaring Nelayan di Kupang. Dimana Saja Habitatnya di NTT?

 

Seekor Penyu Tempayan (Caretta caretta) yang terdapat di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Menurut Marthen ada sekitar 1-30 penyu sebulan di Timor Leste tapi data yang diakses tak berkelanjutan. Sedangkan pengambilan penyu tradisional di selat Torres kebanyakan penyu Hijau.

Penyu Belimbing (leatherbacks) mayoritas tidak bermigrasi ke ATS tapi ke utara sampai Amerika Serikat. Ada 1-2 ekor yang terpantau masuk ATS. Penyu Lekang (olive ridley) masuk ke Laut Aru. Penyu Sisik dari utara Great Barrier Reef masuk ke Laut Aru sampai Merauke, Papua.

“Ada data yang tak dimiliki terkait tren jangka panjang titik peneluran. Kesenjangan data, Australia sangat cukup, beda dengan ketiga negara lain,” tambahnya. Data-data lain yang diperlukan adalah dampak jaring nelayan yang hilang atau rusak dan jadi limbah laut (ghost net), pergerakan penyu antar negara ATS, kapasitas pengelolaan, dampak pencemaran, level pengambilan telur penyu, dan tingkat keberhasilan penetasan.

Rencana aksi regional diharapkan mempertimbangkan habitat peneluran dan jalur migrasi penyu. Selain itu mempertimbangkan ancaman di tiap negara untuk rekomendasi rencana aksi.

Ada 8 topik yang direkomendasikan dalam rencana aksi regional selama 5 tahun ini. Di antaranya memperkuat pengelolaan masyarakat tradisional khususnya Australia karena ada perlindungan warga adat, kajian dan pencegahan tangkapan sampingan di Australia Utara, dan by-catch pukat udang di Laut Rafura. Selain itu, pencegahan pembuangan alat tangkap rusak, survei dasar lokasi peneluran dan penangkapan penyu di Timor Leste dan Indonesia, serta kajian penangkapan penyu dan asal populasinya.

Rekomendasi rencana aksi untuk mencegah by-catch dari kapal pukat udang di Laut Arafura misalnya dengan mengembangkan penelitian dan pemantauan, memperketat kewajiban laporan dan kepatuhan di semua kapal pukat udang, serta menempatkan pemantau independen pada 5-10% kapal pukat udang. Rencana aksi lain untuk isu by-catch ini adalah kajian kepatuhan penggunaan turtle excluder devices (TED) pada perikanan pukat udang, dan meningkatkan penggunaannya.

baca juga :  Upaya Penyelamatan Biodiversitas Laut Terbesar di Dunia

 

Ilustrasi. Kapal pukat pelagis sepanjang 120 meter bernama Johanna Maria, milik perusahaan Belanda Jaczon berbendera Irlandia yang menangkap ikan di samudera Atlantik di wilayah Mauritania, Afrika Barat pada Maret 2010. Foto : ejatlas.org

 

Untuk isu pencegahan pembuangan alat tangkap ikan yang hilang atau rusak misalnya dengan mengembangkan daur ulang alat tangkap rusak, pemberian insentif pembelian jaring, dan sistem pelaporan kehilangan alat tangkap. Selain itu, menandai kepemilikan alat tangkap dan penelitian alat tangkap yang dapat terurai untuk mengatasi ghost fishing gear.

Survei lokasi peneluran dan penangkapan penyu fokus di Laut Aru khususnya penyu Belimbing, Hijau, Pipih, dan Lekang. Rencana aksinya adalah pemantauan untuk mendapat data tingkat pengambilan telur, dan pelatihan pada masyarakat lokal untuk pemantauan dan pembuatan laporan. Rencana lain, menggabungkan pengetahuan tradisional dengan kajian ilmiah terkait analisis data pengambilan telur dan penyu.

 

Nilai jasa ekosistem ATS

Laporan yang disusun Institut Teknologi Bandung (ITB) dan YKAN menyebut kegiatan antropogenik telah merusak ekosistem laut dan pesisir secara besar-besaran. The Arafura and Timor Seas (ATS), wilayah laut tropis yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Hindia memainkan peran ekonomi dan ekologi yang penting di semua negara yang berbatasan dengan kawasan ATS, yaitu Indonesia, Timor-Leste, Australia, dan Papua Nugini.

Salah satu pendekatannya adalah melakukan penilaian situasi melalui penilaian jasa ekosistem. Estimasi nilai dari semua jasa ekosistem di kawasan ATS adalah USD 7 miliar.

Penilaian jasa ekosistem dalam laporan ini menyajikan hasil-hasil terutama dari perikanan, budidaya perairan, pariwisata, dan karbon biru. Data untuk laporan ini diperoleh terutama melalui studi pustaka dan analisis kumpulan data yang dipasok dari stasiun lapangan. Kumpulan data yang besar, terutama data spasial, diperoleh dari YKAN. Data lain dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk laporan pemerintah pusat dan daerah, FAO, ADB, Bank Dunia, dan makalah penelitian yang diterbitkan.

baca juga : Laut Sawu, Surga Cetacea Mencari Makan 

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Perikanan merupakan sektor terpenting di kawasan ATS. Nilai ekonomi perikanan dari berbagai data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai total USD581 juta per tahun, Australia USD 144 juta per tahun, dan Timor Leste USD16 juta per tahun, sedangkan data perikanan di Papua Nugini belum tersedia. Dengan demikian, total nilai perikanan tangkap laut di kawasan ATS diperkirakan mencapai USD742 juta.

Nilai ekosistem dari budidaya menunjukkan nilai USD 480 juta per tahun di Indonesia, USD159 juta di Australia, dan USD23 ribu di Timor Leste. Dengan demikian, total nilai budidaya untuk wilayah ATS adalah USD640 juta per tahun.

Sedangkan nilai ekosistem dari wisata bahari diperoleh dari beberapa kegiatan seperti rekreasi memancing, wisata bahari dan pesisir, serta kapal pesiar. Total nilai pariwisata mencapai USD5 miliar per tahun. Penangkapan karbon memiliki nilai ekonomi yang penting sebagai jasa pengatur. Penangkapan karbon biru di ekosistem mangrove Indonesia sekitar 52,85 ton CO2. Sedangkan di Australia antara 6,32 hingga 12,70 ton CO2. Ada juga penyerapan karbon dari padang lamun. Estimasi nilainya USD625-663 juta per tahun.

Sementara itu, nilai ekosistem dari jasa budaya meliputi eksistensi, warisan, estetika, dan budaya asli mencapai USD263-897 juta per tahun, sedangkan nilai total keanekaragaman hayati sekitar USD81 juta per tahun.

 

Exit mobile version