Mongabay.co.id

Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3

 

 

 

 

Ecy Lamalaoa, masih ingat kondisi kampungnya tiga tahun lalu sebelum sebuah perusahaan pabrik smelter, PT Central Omega Resources Industri Indonesia (CORII), beroperasi di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

“Sebelum ada pabrik, kami bisa hirup udara segar. Sekarang, buka pintu dan jendela setiap pagi asap yang kami hirup. Bikin sakit kepala,” katanya.

Rumah Ecy sekitar 200 meter dari lokasi pabrik. Asap pembuangan pabrik dan PLTU batubara yang menopang kebutuhan listrik pabrik, lepas ke udara mencemari udara di Lambolo. Selain asap, warga juga mengeluhkan suara bising perusahaan karena lokasi pabrik dan pemukiman warga yang sangat dekat.

Nelayan Desa Ganda Ganda pun mulai kesulitan mencari ikan karena laut tercemar.

“Air sudah merah. Ikan tidak ada. Penghasilan dari laut turun,” kata Ecy.

Perusahaan ini sudah berdiri sejak 2013 sebagai perusahaan smelter yang memproduksi ferro nikel (FeNi) sebagai bahan baku produksi stainless steel dengan kapasitas 100.000 NPI/tahun. Kebutuhan bahan baku utama berupa bijih nikel dipenuhi dari perusahaan tambang yang bersebelahan dengan lokasi smelter.

Sejak tahun lalu, warga sudah mengadu ke DPRD Morowali Utara menuntut ganti rugi dampak lingkungan. Tak ada respon dari perusahaan, hingga 16 Maret lalu puluhan warga desa aksi ‘mengungsi’ ke DPRD Morowali Utara.

Dalam aksi warga meminta perusahaan segera ganti rugi bangunan mereka hingga warga bisa mencari tempat tinggal lain yang lebih layak huni.

Sebelumnya, pada 2020, Humas Eksternal PT CORII, Ratnawati Iriani mengatakan, perusahaan akan membayar ganti rugi kepada warga terdampak berdasarkan data valid dari pemerintah desa. Hingga warga memutuskan mengungsi ke DPRD Morowali Utara, perusahaan belum menandatangani kontrak dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang akan menentukan besaran ganti rugi.

Menurut Ecy, hari itu juga, perusahaan berjanji menandatangani kontrak dengan KJPP dan akan penilaian dalam 25 hari ke depan.

“Kini kami menunggu. Kita lihat dulu dalam 25 hari sejak 16 Maret kemarin,” katanya.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit IX dan X. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Apa yang dialami warga Desa Ganda Ganda tak jauh berbeda dengan warga Suralaya, di Banten yang hidup berdampingan dengan PLTU batubara.

Edi Suriani, warga Suralaya masih belum lupa kejadian hujan debu di sekitar rumahnya di Kelurahan Suralaya, Cilegon, Banten akhir Februari 2021. Sekitar 30 menit turun ‘hujan abu’ tebal mengotori rumah dan tanaman warga. Tak lama Edi menyadari hujan abu ini lebih parah dari biasa karena ada kerusakan pada cerobong PLTU Suralaya.

Bukan kali pertama warga Suralaya menanggung dampak polusi udara dari limbah debu PLTU, fly ash dan bottom ash (FABA), delapan unit pembangkit batubara yang berdiri selama 35 tahun di Suralaya.

Edi juga masih ingat bagaimana anak bungsunya yang berusia empat tahun terdiagnosa menderita sakit paru-paru pada 2019. Dia juga masih ingat bagaimana adik iparnya meninggal dunia karena penyakit yang sama di deritanya anaknya.

Edi makin menyesalkan saat tahu pemerintah melalui PP No 22/2021 mengeluarkan limbah FABA dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

“Sesuatu yang mustahil jika debu batubara ini tidak mengandung racun,” kata lelaki berusia 42 tahun ini.

Kesimpulan Edi ini, hanya berdasarkan pengalaman tinggal berpuluh tahun berdampingan dengan PLTU batubara Suralaya unit 1-8. Beberapa studi pun menunjukkan kesimpulan sama. Bahkan, antara lain dampak pencemaran pembangkit batubara itu, riset Univestitas Harvard dan Greenpeace beberapa tahun lalu mengungkapkan kematian dini ribuan sampai puluhan ribu orang.

Batubara, mengandung unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakaran menjadi abu terbang dan abu padat. Ketika abu ini berinterkasi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan termasuk arsenic, boron, cadmium, hexavelant kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thalium ke lingkungan.

Dua kajian dari ACS Omega dan Atmospheric Environment pada 2018 yang dihimpun koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Bersihkan Indonesia, menunjukkan, potensi bahaya leaching logam berat dari berbagai penggunaan campuran FABA pada semen. Semen dengan campuran FABA yang terkena air berpotensi melepaskan berbagai logam berat, apalagi mengingat konsentrasi logam berat dalam FABA bisa 4-10 kali lebih tinggi dari kandungan batu bara yang dihasilkan.

Selain itu potensi emisi merkuri dari penggunaan semen yang dicampur FABA sangat signifikan berbanding lurus dengan temperatur maupun kelembapan tinggi.

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Surayah mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kajian lain dari Global Pacific Health pada 2017 menunjukkan, bahaya FABA bagi anak-anak. Kajian ini menunjukkan anak-anak yang terpapar FABA mengalami gangguan kesehatan dan gangguan tidur yang signifikan. FABA, bentuk partikulat kecil mudah terhirup dan masuk ke jaringan paru-paru.

Menurut kajian ini, selain menyebabkan inflamasi pada jaringan paru, paparan FABA juga berujung pada kegagalan organ terkait maupun kemampuan kognitif yang rendah.

Selama 35 tahun industri PLTU hadir di Suralaya, Edi menyaksikan bagaimana makin hari debu batubara berdampak pada masyarakat sekitar PLTU. Saat ini , setidaknya ada 14 hektar tempat penampuang debu batubara di Suralaya.

Praktis ia menggerus lahan produktif masyarakat, di luar lokasi PLTU itu sendiri. Seingat Edi, pada 1987, limbah debu ini mulai terbuka.

Masyarakat bukan tak pernah atau tak protes. “Banyak tekanan. Seolah masyarakat dibungkam,” katanya.

Masa pandemi ini, kondisi warga jadi makin rawan hidup di tengah usara tercemar. Saat pemerintah meminta masyarakat menjaga kebersihan dan kesehatan agar terhindar dari virus COVID-19, kata Edi, pemerintah membiarkan pencemaran udara PLTU. Saat ada dampak, seperti hujan abu lalu, katanya, PT Indonesia Power sebagai pengelola PLTU tak memberikan respon.

Menurut Edi, masyarakat terdampak hujan debu sempat dijanjikan diberi ganti rugi. Bagi Edi, berapapun ganti rugi perusahaan tak akan menjadi jaminan di masa depan anak-anaknya dapat menghirup udara bersih.

Lantas, mengapa pemerintah tetap mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3?

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Aksi warga Winong menuntut perusahaan dan pemkab tanggung jawab atas limbah dan polusi PLTU di kampung mereka. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Manfaatkan FABA?

Dalam berbagai konferensi pers baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyatakan, FABA keluar dari daftar limbah B3 agar dapat dimanfaatkan jadi berbagai produk lain.

Rida Mulyana, Dirjen Ketenagalistrikan KESDM mengatakan, setidaknya ada delapan peluang pemanfataan FABA seperti negara lain, misal, sebagai bahan baku infrastruktur, industri cat dan semen, bahan baku pertanian, reklamasi lahan bekas tambang, dan lain-lain.

Untuk itu, kata Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin, pemerintah mengubah tata kelola pemanfaatan FABA dari dilarang menjadi boleh dengan pengawasan dan pembinaan.

“Bukan kita menafikan bahwa ada potensi FABA dari batubara tapi kita ubah tata kelolanya saja,” kata Ridwan.

Rosa Vivien Rahmawati, Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 KLHK, mengatakan, mesikpun sebagai limbah non B3 namun penghasil limbah non B3 tetap wajib memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.

Menurut Vivien, uji prosedur pelidian karakteristik beracun atau toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) terhadap limbah FABA dari 19 PLTU menunjukkan parameter memenuhi baku mutu. Hasil kajian Human Health Risk Assessment (HHRA), kata Vivien juga menunjukkan tak ada parameter yang melebihi toxicity reference value (TRV) yang ditentukan Kementerian Tenaga Kerja dalam Permen Tenaga Kerja No 5/2018.

Argumen ini tak bisa diterima sepenuhnya oleh organisasi masyaraka sipil. Walhi yang mendampingi warga terdampak FABA di berbagai daerah menilai pertimbangan pemerintah mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3 menujukkan kebijakan ini bukan untuk kepentingan rakyat namun kelompok bisnis batibara termasuk pengusaha.

“Ketika masuk kategori limbah B3 saja perusahaan penghasil tak mampu mengelolanya apalagi jika tidak jadi B3. Masalahnya, bukan akan dimanfaatkan untuk apa, ketika ada ketentuan saja tidak dikelola dengan baik apalagi kalau sudah dikeluarkan,” kata Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta.

Walhi juga menilai kebijakan ini ambigu dengan tren global yang mengurangi produksi batubara. Keambugian negara, bagi Walhi akan mempengaruhi peta jalan energi terbarukan yang akan terus melanggengkan batubara dan praktis berdampak pada krisis iklim.

“Di berbagai di Sulawesi Tengah, pusat-pusat nikel menggunakan PLTU batubara,” kata Aries Bira, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng.

Menurut dia, perusahaan seperti PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang memproduksi baja, dalam sebuah dengar pendapat pada 2018 mengakui kesulitan mengelola limbah dari produksi ore sekitar 10-11 juta metrik ton limbah per tahun.

Jumlah ini, kata Aries, akan meningkat seiring rencana pemerintah menggenjot industri mobil listrik. “Mereka mengusulkan limbah slag keluar dari B3, padahal mereka tahu ancaman berbahaya bagi yang menggunakan. Jika tak dikelola jadi masalah sendiri bagi perusahaan karena produksi makin besar.”

Di Sulawesi Tenggara, sisa pengolahan nikel bahkan tidak diolah sama sekali. Saharuddin, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, limbah B3 langsung untuk timbunan jalan atau menimbun laut untuk pembangunan smelter.

Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Limbah B3 yang tak dikelola dan dilepas ke lingkungan berdampak pada pencemaran air dan tanah.

Di Cilacap, Jawa Tengah dampak FABA terhadap masyarakat sekitar lebih nyata lagi. PLTU Cilacap menghasilkan 26.000 ton FABA per tiga bulan. Data Walhi Jateng, pada 2018 tercatat 8.0000-an orang di daerah ini menderita ISPA. Jumlah ini meningkat jadi 10.000 pada 2019.

Sudah ada korban meninggal yang sebelumnya tinggal haya 100-200 meter dari kolam abu penampungan FABA PLTU Cilacap.

Tercatat 25 anak yang tinggal sekitar 100 meter dari kolam abu, juga menderita bronchitis. Setahun terakhir, kata Fahmi Bastian Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, kolam abu dikosongkan oleh PLTU karena kasus-kasus kesehatan yang menimpa warga sekitar.

Fahmi khawatir, kalau FABA keluar dari daftar limbah B3, kolam penampungan FABA PLTU akan kembali terisi dan masyarakat kembali teracuni.

 

Baca juga: Terus Bangun PLTU Picu Kematian Dini di Asia Tenggara, Indonesia Terbesar

Nisan, warga Babelan, Bekasi, yang hidup di dekat PLTU batubara. Dia memperlihatkan, tangannya kotor karena debu dari PLTU. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Melihat berbagai fakta ini, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Hidayati menilai, ada salah informasi baik pemerintah maupun perusahaan.

“Seolah-olah kalau untuk dimanfaatkan harus dikeluarkan dari daftar limbah B3,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Padahal, katanya, menurut regulasi sebelumnya limbah B3 pun bisa dimanfaatkan setelah melalui pengujian karakteristik. Dengan kata lain, sebelum dimanfaatkan limbah B3 harus diminimalisir dulu kandungan B3 nya hingga aman.

Dengan tidak memasukkan FABA dalam limbah B3, katanya, praktis kewajiban pengujian ini hilang.

“Ini meningkatkan risiko karena tidak diketahui lagi kandugan apa yang di terdapat dalam limbah ini, dan seberapa besar kemungkinan lepas ke lingkungan,” katanya.

Yaya juga menilai, ini upaya pemutihan bagi pemerintah karena berbagai gangguan lingkungan hidup di daerah yang belum bisa ditangani baik dan efektif oleh pemeritah. Aturan pun dibuat longgar dan meningkatkan risiko.

“Ini tidak etis apalagi dalm situasi pandemi,” katanya, seraya mengingatk banyak studi soal risiko kematian akibat COVID-19 lebih tinggi di daerah dengan udara berpolusi.

Walhi juga tak sepakat kalau kebijakan ini dianggap sebagai penggerak ekonomi sirkular. Sederhananya, karena ekonomi sirkular berprinsip tak bersampah (zero waste).

“Ini hanya semata-mata untuk pemanfaatan limbah, bukan sirkular ekonomi.”

 

Baca juga: Warga Motui Keluhkan Debu Batubara dari PLTU Perusahaan Pemurnian Nikel

Nampak dari kejauhan kepulan asap dan pembakaran forenikel di PT OSS. Foto ini diambil saat malam hari di sekitar perusahaan. Foto Kamarudin/ Mongabay. Indonesia

 

*****

Foto utama: Di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kana asap dari pabrik smelter. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

Exit mobile version