Mongabay.co.id

Pengungsi Gempa dari Rui dan Aholeang Menanti Relokasi [3]

 

 

 

 

Tiba di Dusun Rui, Desa Mekkatta, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Lukdin mengungsi, dan bergabung dengan Jabir dan keluarga. Lukdin menggelar tenda buat tempat berlindung anak dan istrinya.

Lukdin dan Jabir, bersaudara. Mereka juga sama-sama sebagai pengumpul kemiri. Kampung Jabir menjadi satu-satunya tujuan bagi Lukdin setelah longsoran batu di Aholeang, melumat kampungnya. Dari puncak Tanete Bajo, Lukdin bersama puluhan warga lain melipir agar mencapai Rui dengan aman.

Rui, dusun pemekaran Aholeang. Ia berada di dataran tinggi, puluhan menit dari tempat tinggal Lukdin. Perkampungan di Rui terbagi dua blok. Di blok satu, rumah-rumah berderet satu sisi, sepanjang punggungan landai dan melengkung. Blok lain—kampung Jabir, berbidang datar.

Gempa 6,2 Magnitudo, pada 15 Januari lalu, dini hari, merontokkan rumah-rumah orang Rui. Meninggalkan rekahan, memanjang di perkampungan punggungan, tempat Irsan bermukim. Membelah pondasi dan lantai rumah-rumah. “Bisa masuk kaki di retakan itu,” kata Irsan.

Irsan lahir di Rui, 38 tahun silam. Usia muda, dia menikahi Hijrah dan punya lima anak. Saban hari, Irsan mengurus kemiri dan kakao, sebagai penghidupan bagi keluarga. Banyak kenangan dilalui keluarga Irsan di sini tetapi mereka harus pergi. “Takut kita tinggal di sana.”

Irsan bersama tetangganya, mengosongkan kampung, menuju kampung Jabir. Selama tiga hari dua malam, mereka mengungsi dan tak ingin meninggalkan Rui. Tak ada siapapun dari luar datang berkunjung. Mereka juga takut beranjak. Malam hari saat-saat paling menakutkan. Bayangan gempa terus mengusik.

“Menderita mka di situ. Pasang tenda, baru hujan terus. Ndak bisa tidur,” kata Jabir.

Pagi hari nan cerah, warga Rui akhirnya beranikan diri meninggalkan kampung, berpisah dari rumah, ternak, harta benda, dan mata pencarian mereka. Pilihan itu sungguh pahit. Sepanjang perjalanan menuju pusat Desa Mekatta, orang-orang mencari jawaban, apakah kelak mereka bisa kembali?

 

Baca juga: Amuk Lindu di Majene [1]

Relawan medis di Desa Taan periksa kesehatan pengungsi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Awal Februari, saya menjumpai mereka di bukit kebun sawit, puluhan meter belakang Kantor Desa Mekkatta. Di sela tanaman sawit muda, mereka bangun tenda. Berderet dan saling berhadapan. Sudah sebulan kebun sawit ini menjadi tempat suaka bagi orang Aholeang dan Rui. Ikatan warga dua dusun itu, seumpama anak kepada orangtuanya, tak bisa terpisahkan. Dua komunitas ini, satu rumpun keluarga.

Sejak pertama kali saya berkunjung akhir Januari, semak belukar sudah bersih. Musholah berdiri. Tandon air dari bantuan relawan sudah berfungsi. Di halaman tenda, warga berkebun sayur. Ketika malam, orang-orang tak lagi gelap-gelapan. Warga Rui, memboyong panel surya dari kampung dan memasang di pengungsian. Satu panel, sanggup menerangi tiga tenda.

Tenda ungsi juga sudah memiliki pintu dari tirai kain. Para penghuni juga bikin bilik kamar dan dapur di dalam buat masak. Lantai tak lagi beralas tikar lusuh, tetapi dingin malam tetap menembus.

Seperti sebuah kampung, pengungsian ini berdenyut hingga malam suntuk. Bapak-bapak nongkrong di sudut pengungsian. Anak-anak kecil kejar-kejaran. Anjing piaraan mengais sisa-sisa makanan.

Remaja berkumpul bercengkrama. Ibu-ibu yang punya bayi, membujuk agar si kecil berhenti menangis.

Sampah-sampah terlihat menumpuk dan mengepung tenda-tenda ungsi. Bau sampah menusuk. Saban hari, warga bersih-bersih, tetapi percuma angkutan sampah tak ada. Bersyukur pemilik kebun memperbolehkan mereka tinggal.

 

Baca juga: Kalut Penanganan Gempa Mamuju-Majene, Mitigasi pun Minim [2]

Jumriah dan Massagala,di pengungsian. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Aholeang dan Rui, tanah penghidupan

Paras Bukit Tanete Bajo, Aholeang, sekarang membuat siapapun bergidik. Gempa 15 Januari itu mengubah daerah ini jadi ‘situs’ mengerikan. Separuh Tanete Bajo, amblas dan pecah berkeping-keping. Di puncak, bak bolu teriris, berubah jadi barisan tebing cadas yang panjang.

Pohon kemiri, padi, dan segala yang di permukaan tanah terkoyak-koyak bersama batu-batu gamping raksasa. Ia menghujam rumah-rumah dan mengubur apapun sejauh mana longsoran itu berhenti. Kepingan ornamen-ornamen goa yang patah berserakan.

Ketika berdiri di bukit seberang, longsoran Tanete Bajo begitu panjang dan luas. Rumah kebun di puncak, tempat Lukdin mengungsi masih berdiri dan hanya terpaut belasan meter dari tepian longsor. Di sisi kiri longsoran, adalah titik di mana Nurlia bersama putri dan suaminya tertimbun. “Kalau jalan ki ke Rui, ada ji dilewati rumahnya,” kata Fachri, dari relawan CKCK.

Relawan CKCK, adalah gabungan relawan dari mahasiswa juga pencinta alam di Tanah Mandar. CKCK adalah slang untuk patung-patungan duit. Nyaris tiga bulan, mereka mendampingi warga Aholeang dan Rui untuk relokasi.

Aholeang dan Rui, kini tanpa penghuni. Beberapa warga kembali sebentar, sekadar memberi makan hewan peliharaan dan ternak yang mereka tinggal. Di Aholeang, saya bertemu seorang warga yang datang mengecek rumahnya. Rumah masih berdiri, tetapi tembok dan langit-langit hancur tak karuan. Di belakang rumah, longsoran Aholeang membentuk bukit baru.

Terlepas dari paras yang sekarang, Aholeang sesungguhnya kampung yang menyenangkan dengan hamparan tanah subur dan sejuk sepanjang waktu. Rumah-rumah berdiri rapat saling berhadapan, di antara jalan setapak yang meliuk. Di sepanjang jalan, ada banyak batu gamping menyembul dari tanah.

Kampung ini ditemukan para peladang nomaden dari Tamaindung, kampung teratas di Mekkatta. Mereka lalu mendirikan perkampungan dan meneruskan tradisi berladang nomaden. Sampai tahun 60-an, ketika tradisi itu tergerus praktik pertanian baru, Aholeang, seumpama tempat persinggahan bila masa jeda berladang tiba.

Aholeang adalah bentang alam karst. Menurut peta geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), diperkirakan berumur tersier. Puluhan goa menyebar di sembarang tempat hingga ke Rui. Goa-goa ini jadi identitas kampung bagi pemukim awal. Aho berarti ‘di atas’ dan Leang berarti ‘goa’. “Jadi, kami sebenarnya ini, mendirikan kampung di atas goa,” kata Jumaluddin.

Sebagian goa diberi nama. Goa Tallu Lotang, salah satunya. Dalam Tallu Lotang ada aliran sungai bawah tanah. Ia berasal dari Rui, masuk ke goa, keluar dari mulut Tallu Lotang.

 

Baca juga: Bencana Sulawesi Barat: Ada Potensi Gempa Susulan, Bagaimana Kondisi Pengungsi?

Rumah rusak kena hantam hempa di Majene. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Kala kemarau, orang-orang Aholeang menyusuri goa itu, untuk berburu udang dan ikan sidat. Beberapa goa bernasib naas jadi tempat buangan sampah. Relawan CKCK, menemukan 22 goa. Empat masuk dalam batas administrasi Dusun Rui.

“Seandainya tidak ada kejadian ini, kami tidak keluar. Kami dengan Aholeang, sudah terikat. Karena sumber kami semua dari Aholeang,” kata Jumaluddin. Di Aholeang, Jumaluddin sudah generasi keempat.

“Kenapa mau tinggalkan Aholeang?” tanya saya.

“Perasaan kami, setiap kembali, pokoknya gelisah. Kami, khususnya masyarakat Aholeang, sudah trauma untuk kembali ke kampung. Kami sangat ketakutan. Banyak orang dulu, setiap datang di kampung kami, bilang, ‘Kamu tidak takut tinggal di sini, karena kamu di atas goa?’

dia bilang, ada sempat terpikir kalau gempa bisa tenggelam. “Karena kita berada di atas goa. Ya mau diapa lagi. Tidak ada tempat lain. Apalagi tempat mata pencarian kami di sana.”

Orang Aholeang, percaya, ada goa melintas di bawah perkampungan. Menurut dugaan mereka, bakal amblas bila kembali terguncang gempa. Meskipun, katanya, belum ada penelitian menguatkan dugaan itu. Sementara di bawah Tanete Bajo, kata warga, tak kurang 10 goa amblas.

Belum ada penelitian, memperlihatkan, kalau di Sulbar zonasi rawan bencana spesifik perwilayah belum ada. Saya menunjukkan kondisi dan titik kordinat Aholeang ke Adi Maulana, dari Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, sekaligus dosen Geologi. Katanya, di bawah permukaan tanah Aholeang, banyak gua-gua yang terbentuk dari pelarutan batuan karbonat.

 

***

Kebun sawit ini seluas sekitar dua hektar. Lahan inilah rencana bakal diajukan ke pemerintah, sebagai tempat hunian baru bagi orang-orang Aholeang dan Rui.

Usulan relokasi diterima pemerintah tetapi belum tahu hasil akhir seperti apa. Permintaan mereka jelas dan sederhana. “Kami itu nak, yang penting ada lahan. Kalau rumah biar kami yang usaha,” kata Jumaluddin.

Saya juga bertanya ke warga lain. Jawaban sama. “Kalau tidak ada rumah, lahan saja. Yang penting ada tempat dulu,” kata Irsan.

“Kalau tidak ada relokasi, mau merantau. Mau ke mana lagi?” (Selesai)

 

 

 

****

Foto utama:  Pengungsi korban gempa. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version