Mongabay.co.id

Abrasi Mengancam Kehidupan Nelayan di Pulau Bengkalis

 

Pantai di sepanjang Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, terus mengalami abrasi. Hal ini selain mengancam kehidupan petani juga mengancam kehidupan perekonomian nelayan di wilayah tersebut.

Ketua Kelompok Nelayan Jati Indah Meskom, Basri (55) menjelaskan sebelum tahun 2000, pendapatan dari tangkapan ikan melimpah. Namun, belakangan semakin menurun lantaran abrasi yang terjadi di wilayahnya dapat menganggu aktivitasnya dalam menangkap ikan. Dulu, ketika pulang melaut dia masih bisa membawa pulang hasil tangkapan ikan antara 15-20 kilo. Sekarang ini menurun, rata-rata jadi 5 kilo.

Dikatakanya, abrasi terjadi karena tidak ada tanaman bakau dan tanggul pantai. Akibatnya, benih-benih ikan makin hari makin berkurang.

“Sebab ikan-ikan ini tidak punya tempat untuk berkembangbiak. Ekosistem yang dulunya bagus, semakin hari semakin hilang karena minimnya tumbuh-tumbuhan di pesisir,” tutur pria yang mengaku sejak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah melaut tersebut, Senin (08/03/2021).

Basri sendiri merupakan salah satu nelayan laut lepas, yaitu nelayan yang menangkap ikan pada perairan laut lepas pantai. Membutuhkan waktu selama 3 hari untuk mencari ikan di perairan Selat Malaka, dengan tangkapan utama yaitu ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum). Pada bulan-bulan ini hasil tangkapannya lebih beragam seperti ikan parang (Chirocentrus dorab) dan ikan tenggiri (Scomberomoini).  

baca : Abrasi Ancam Lahan Perkebunan di Pesisir Pulau Bengkalis

 

Abrasi selain menyebabkan pendapatan tangkapan ikan menurun juga merusak tempat berlabunya perahu nelayan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Perlu Penanganan

Wilayah pesisir pantai merupakan daerah peralihan laut dan daratan. Dari berbagai aktivitas dan fenomena yang terjadi di daratan maupun lautan tersebut menyebabkan wilayah pesisir menjadi tertekan. Hal sama juga dirasakan nelayan lain, Ishak (45), yang mengaku tantangan yang dihadapi saat mencari udang rebon di laut saat ini makin pelik, salah satunya yaitu abrasi.

Tanah daratan yang terdampak abrasi tersebut bisa masuk ke kantong jaring yang dia gunakan menangkap udang. Karena tekanan jaring yang kemasukan tanah tersebut terlalu kuat akhirnya jaring jebol, bahkan tidak sedikit yang putus.

Pria yang juga ketua Kelompok Nelayan Udang Rebon di Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis ini melanjutkan ancaman lain yang dihadapi nelayan setempat yaitu kondisi cuaca yang tidak menentu. Disaat musim angin utara yang seharusnya menjadi panen raya, tiba-tiba angin barat datang. Arah tangkapan udang di laut menjadi berubah, udang pun ikut berpindah sesuai dengan arah angin.

baca juga : Produksi Terus Menurun, Nelayan Udang Rebon di Bengkalis Hadapi Berbagai Kendala

 

Nelayan menyiapkan perahunya sebelum berangkat mencari udang. Tantangan yang dihadapi saat mencari udang rebon di laut saat ini makin pelik, salah satunya yaitu abrasi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ancaman lain yang dirasakan yaitu adanya perusahaan sawit di wilayah tersebut. Dia menduga limbah berasal dari pemupukan sawit tersebut mengalir ke laut dan membuat udang rebon tangkapannya jadi menipis. Karena berbagai permasalahan yang dihadapi itu, Ishak berharap agar pemerintah melalui Dinas terkait turun tangan mengatasi, lebih-lebih terkait dengan upaya penanggulangan abrasi.

“Apalagi abrasi di Pulau Bengkalis ini kan sudah terjadi puluhan tahun lamanya,” ujarnya. Jika terus dibiarkan selain penghasilan tangkapannya menurun yang dikhawatirkan juga dataran pesisir akan semakin tergerus dan berdampak pada masyarakat luas.

Kadir (32), nelayan udang di Desa Selat Baru, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis juga mengaku terjadi degradasi lingkungan kegiatan perikanan tangkap menjadi terganggu. Populasi beberapa jenis ikan terus berkurang karena habitatnya rusak dan hilang.

Kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada pergeseran dan menyusutnya daratan saja, melainkan juga mulai mengancam kehidupan hayati di wilayahnya. “Kalau masih ada pohon bakau enak, ikan-ikannya banyak, carinya juga tidak jauh,”ucap Kadir disela menyandarkan perahu di muara Sungai Liong dekat Pelabuhan Internasional Bandar Sri Setia Raja ini.

perlu dibaca : Simpang Siur Data dan Kerusakan Mangrove Riau, Bagaimana Upaya Pemulihan?

 

Nelayan mengaku degradasi lingkungan kegiatan perikanan tangkap menjadi terganggu. Populasi beberapa jenis ikan terus berkurang karena habitatnya rusak dan hilang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Perlu Kajian

Menanggapi permasalahan yang dihadapi nelayan tersebut, Sofyan, Kepala Bidang Pelayanan Usaha Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis, menjelaskan perlu adanya kajian khusus. Dia bilang abrasi yang terjadi tersebut merupakan kerusakan alam, dan berpengaruh ke pendapatan nelayan. Sebab bakau sebagai habitat ikan di pinggir-pinggir pantai yang menjadi tempat pemijahan dan berkembang biak itu sudah tidak ada lagi. Selain dijadikan rumah ikan, bakau juga merupakan sumber makanan. Sehingga dampak abrasi perlu dipulihkan kembali.

Adanya Undang-Undang No.23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara ini membuat pihaknya tidak bisa memulihkan, pihaknya hanya bisa melakukan sosialisasi, menghimbau kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan.

“Kita menghimbau kepada kelompok-kelompok yang ada di pesisir itu bagaimana peran mangrove ini terhadap sumber daya ikan,” ujar Sofyan.

Sebelum UU No.23 tahun 2019 itu ditetapkan, ada juga upaya pemulihan yang dilakukan DKP setempat dengan menanam pohon mangrove di wilayah-wilayah pesisir pantai yang tergerus abrasi. Pihaknya juga memberikan reward berupa alat tangkap baik itu jaring, mesin perahu dan juga armada tangkap kepada nelayan yang berhasil secara swadaya memulihkan kawasannya.

 

Warga berfoto di kawasan nelayan yang terdampak abrasi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Secara teknis, katanya, penanaman bakau ini tidak semuanya berhasil. Hal ini karena dibeberapa wilayah ada yang karakternya berlumpur dan banyak serasah, sehingga bibit bakau yang sudah ditanam tidak bisa bertahan.

Terkait dengan tangkapan ikan yang menurun, menurut dia sebagai alternatif bisa saja nelayan membuat usaha budi daya ikan seperti ikan lele (Clarias), ikan gurami (Osphronemus goramy) atau ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan sistem bioflok.

“Kita bisa memberi bantuan ke masyarakat yang memang betul-betul melakukan usaha ini. Ada nelayan yang mau dialihkan menjadi pembudidaya, tetapi tidak berlanjut dan terbengkalai,” kata Sofyan.

Jika diperhatikan, lanjut dia, di Pulau Bengkalis ini animo masyarakat mengkonsumsi ikan hasil budi daya meningkat. Hal ini bisa dilihat makin menjamurnya warung-warung pecel lele yang menjual ikan-ikan hasil budi daya. Animo masyarakat itu berkembang berdasarkan sumber daya yang ada. Kalau di laut ikan sudah menurun, trend masyarakat dalam mengkonsumsi ikan itu bisa diubah jadi mengkonsumsi ikan hasil budi daya.

 

Keadaan pantai di Desa Teluk Papal yang amburadul karena abrasi, dipenuhi bongkahan tanaman kelapa dengan kondisi akarnya terangkat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version