Mongabay.co.id

Polisi, Mafia Tanah dan Konflik Agraria

Aparat kepolisian menjaga proses penggusuran rumah dan pepohonan warga untuk bandara di Kulon Progo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Presiden Joko Widodo, Menteri Agraria ATR/BPN-RI, Kapolri mengeluarkan pernyataan akan menggulung mafia tanah. Bagaimana kelanjutan dari niatan presiden ini, apakah akan berbuah manis?

Sejak lama praktik mafia tanah menjadi bagian dari persoalan agraria di Indonesia. Masalah-masalah seperti konflik, sengketa dan perkara agraria serta pertanahan selalu mencuat setiap tahun seolah tidak dapat terselesaikan.

Bagaimana mafia tanah tumbuh subur, siapa sesungguhnya mafia tanah yang harus segera diberantas itu? Kasus-kasus macam apa yang seharusnya menjadi prioritas? Di manapun, terjadi praktik persekutuan mafia antara pemodal, birokrasi di berbagai tingkatan dan aparat penegak hukum. Persekutuan ini bahkan tidak segan menggunakan kekerasan oleh organisasi preman. Ironisnya, aparat kepolisian seolah tidak berkutik.

Dalam praktiknya, mafia tanah lazim menggunakan organisasi preman sebagai kepanjangan tangan dari pemodal besar. Mereka, pemodal besar ini, ingin menguasai tanah-tanah di sebuah lokasi dengan menebar teror kepada pemilik sah. Di kemudian hari, setelah menguasai lokasi, menyulap wilayah jadi kawasan industri, pergudangan dan pemukiman dan kawasan bisnis lain.

Dari kasus-kasus yang ada, beberapa praktik lazim yang kerap digunakan mafia tanah, pertama, pemalsuan girik, akta jual beli, dan pengambil alihan dokumen pajak tanah dengan cara bekerjasama dengan oknum di pemerintahan dan pejabat pembuat akta tanah. Kedua, mengganggu pemilik tanah yang sah dengan cara dibuat menjadi tidak nyaman dengan cara seperti: penutupan jalan, membangun bangunan fisik seperti pagar dan seng di sekitar wilayah tanah. Juga menggunakan menekan para pemilik tanah supaya menjual tanah dengan harga murah. Penguasaan fisik dengan cara memasang plang dan tenda diatas tanah yang mengatas namakan oknum preman maupun perusakan batas atau patok pemilik tanah oleh oknum preman.

Para mafia tanah juga melakukan pelaporan dugaan tindak pidana kepada pemilik tanah yang sah di kepolisian. Bahkan, melakukan gugatan pembatalan sertifikat melalui PTUN. Dalam situasi pelaporan atau sedang masa sidang ini, lokasi tanah dikuasai preman. Hingga, terdapat beberapa kasus pada saat pengadilan telah memberikan kekuatan hukum pada pemilik sah, kondisi lapangan telah dikuasai organisasi preman hingga putusan tidak bisa berjalan.

Tidak jarang, di lokasi-lokasi yang sedang diincar mafia tanah, aparat dan preman juga sering hadir untuk menakut-nakuti warga yang mempertahankan tanah mereka.

 

Effendi Buhing, tokoh dari Laman Kinipan, yang ditangkap polisi di rumahnya atas aduan pihak perusahaan. Foto: istrimewa

 

Dengan melihat kenyataan-kenyataan ini, praktik mafia tanah adalah bagian penting penyumbang konflik agraria yang mengakibatkan proses-proses perampasan tanah dengan cara-cara melawan hukum. Situasi semacam ini menjelaskan, mafia tanah adalah praktik persekutuan jahat yang tumbuh subur karena karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik dan penegakan hukum minim.

Perampasan tanah ala mafia tanah semacam ini dapat terurai dan selesai kalau penegakan hukum khusus pendekatan pidana umum dan administrasi berjalan. Bahkan, langkah kepolisian membentuk Satgas Anti Mafia Tanah dapat menjadi pemicu penyelesaian.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan konflik agraria struktural lain yang secara tidak langsung juga terkait mafia tanah dan perampasan tanah? Bagaimana peran kepolisian dapat diharapkan?

Bisa menoleh ke belakang sedikit soal keseriusan kepolisian. Pada saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR-RI, Januari lalu, calon Kapolri Listyo Sigit menjanjikan, tidak akan ada lagi kasus ala Nenek Minah. Sebagai pengingat, kasus ini adalah pemidanaan lansia karena mencuri tiga biji kakao sebagai ekses dari persoalan konflik agraria di wilayah perkebunan.

Awal 2021, Kapolri Idham Azis telah mengirimkan telegram No. ST/41/I/Ops.2/2021 kepada seluruh kapolda dan kapolres guna mendukung reforma agraria dan ketahanan pangan. Telegram ini tindak lanjut atas tiga rapat terbatas Presiden Jokowi dengan berbagai kalangan masyarakat sipil atas lambatnya perkembangan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria.

Dengan demikian, kapolri yang sekarang memiliki janji politik dan juga komitmen kelembagaan dalam melanjutkan usaha menyelesaian konflik agrarian terkait mafia tanah.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri selama ini aparat kepolisian pada berbagai kejadian konflik agraria lebih sering berhadap-hadapan dengan masyarakat. Tampaknya, kedudukan Polri sebagai penegak hukum di tengah hukum agraria dan pidana– yang umumnya memposisikan masyarakat pada posisi rentan–, membuat institusi ini mudah vis a vis dengan masyarakat lemah.

Selama ini, terdapat beberapa pola keterlibatan Polri dalam konflik agraria dan berhadapan dengan masyarakat. Pertama, keterlibatan di lapangan hingga jadi aktor kekerasan langsung dalam konflik agraria berupa penangkapan, penganiayaan, dan penembakan. Sepanjang 2020, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 239 konflik agraria dan keterlibatan kepolisian dengan serangkaian kekerasan langsung di dalamnya sebanyak 44 kasus.

Kedua, pemidanaan tidak sah yang berpotensi menjadi kriminalisasi. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan, aspek pemidanaan kepada masyarakat lebih untuk meredam, dan menakut-nakuti. Untuk menghilangkan keberanian masyarakat menuntut atas perampasan tanah dan situasi ketidakadilan agraria yang mereka alami.

Enam tahun terakhir (2015-2020), terdapat setidaknya 1.269 kasus yang dikategorikan sebagai kriminalisasi kepada masyarakat dan aktivis (KPA: 2020). Tahun lalu saja, di tengah suasana pandemi ada setidaknya 134 kasus kriminalisasi. Dalam kasus ini, sangkaan yang kerap dilakukan kepada masyarakat adalah pidana dengan menggunakan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan ada 40 kasus, KUH-Pidana 34 kasus dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) 7 kasus. Sisanya, terkait pidana Prp No. 51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, UU Kehutanan, UU Konservasi SDA Hayati, dan UU Minerba.

 

Kepolisian melalui Brimob terkadang turut terlibat dalam upaya penggusuran lahan warga yang berkonflik dengan PTPN. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ketiga, pemidanaan atas kejadian konflik agraria tanpa usaha lanjutan menjangkau penyidikan akar masalah letupan konflik agraria. Pada kasus semacam ini, setelah jatuh korban peristiwa konflik agraria, aspek pidana dari konflik segera ditindaklanjuti seperti perusakan, penganiayaan, dan lain-lain.

Namun, akar masalah utama konflik agraria seperti penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin atau hak yang berakibat pada perampasan tanah masyarakat tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Jadi, letupan konflik agraria setiap saat masih berpotensi meledak kembali di lokasi yang sama jika mendapatkan momentumnya.

 

Pendekatan baru

Dari ketiga pola ini, memperlihatkan bahwa penting dalam jangka pendek ini segera memperbaiki prosedur standar kepolisian melalui Peraturan Kapolri. Juga membentuk direktorat khusus konflik agraria hingga lebih terukur dalam menangani aksi dan proses penyelesaian konflik agraria.

Perbaikan ini membutuhkan peningkatan pemahaman tentang penyebab konflik, jenis konflik, dan mutasi sosial konflik agraria sekaligus memahami relasi kuasa petani, masyarakat adat dan nelayan tradisional yang sangat lemah dalam bingkai besar konflik agraria.

Selanjutnya, penting mengupayakan peningkatan pemahaman kepolisian terkait korelasi antara penyelesaian konflik agraria dengan reforma agraria. Sebagai contoh, kalau tidak memahami reforma agraria, telegram ini dapat secara kontradiktif dengan agenda reforma agraria. Sebab, pendekatan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan bersandarkan pada usaha menciptakan pemulihan hak-hak korban dan keadilan redistributif.

Sementara, dalam kacamata konvensional, penyelesaian konflik agraria bisa saja sebatas penegakan hukum pidana.

Pendekatan pidana dalam konflik agraria perlu pendekatan baru, dengan melihat sebuah konflik agraria dalam gambar besar, mulai dari proses pra-perizinan sampai situasi terbaru di lapangan konflik agraria. Gambaran besar ini menjadi dasar bagi pemulihan relasi sosial ekonomi dan hukum dari sebuah lokasi konflik.

 

* Iwan Nurdin, penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

*****

Foto utama:  Aparat kepolisian menjaga kala alat berat menggusur rumah warga di Kulonprogo.  Warga dipaksa pindah karena lahan ini masuk dalam area bandara baru Foto: Tommy Apriyando

 

Exit mobile version