Mongabay.co.id

Tinggalan Purba dan Legenda Si Pahit Lidah yang Jaga Kawasan Kerinci Seblat

 

Desa Napal Licin, Kecamatan Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, berada di bentang kawasan yang berada di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tersebar di area ini masih jelas kita jumpai jejak budaya yang berusia ribuan tahun. Berupa kebendaan yaitu peninggalan batu megalith dan non kebendaan yang mengacu pada legenda  Si Pahit Lidah.

Ada beberapa bukit yang sangat dihormati masyarakat Desa Napal Licin yakni Bukit Sabit, Bukit Batu, Bukit Karangnato, Bukit Payung, dan Bukit Semambang. Semuanya terhubung dengan legenda Si Pahit Lidah, sosok manusia sakti yang dipercaya pernah hidup di masa lalu.

Legenda ini pun dikaitkan dengan keberadaan dua batu peninggalan peradaban megalitikum, yakni Batu Larung (silindrik) yang disebut warga sebagai “Batu Kuning”, dan Batu Megas (berbentuk segi empat) yang berada di kawasan Desa Napal Licin.

Sore di awal Maret lalu, Asnawi, seorang pendidik dan pelestari budaya lokal, mengunjungi sebuah pemakaman desa. Di lokasi itu terletak sebuah batu dengan panjang 192 cm, lebar 97 cm dan tebal 42,5 cm. Batu itu disebut sebagai Batu Megas.

“Batu Megas terkait dengan cerita moyang kami, yang berasal dari Semangus (Muara Lakitan),” sebutnya kepada Mongabay Indonesia.

Baca juga: Membaca Bukit Barisan dan Manusia Sumatera

 

Asnawi di depan Batu Megas. Dipercaya dulunya nasi yang dibungkus daun pisang kemudian menjadi batu karena disumpah Si Pahit Lidah. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dia lalu menjelaskan legenda yang ada di desanya. Sebutnya, seorang leluhurnya beristirahat di Batu Megas. Dia mengeluarkan nasi yang dibungkus oleh daun pisang. Namun, saat menggigit bungkusannya, hutan di Bukit Sabar terbakar. Para jin penunggu hutan pelakunya.

Dia pun bergegas ke Bukit Sabit, dan berkelahi dengan para jin. Dia pun disandera, sehingga tak sempat lagi memakan nasi yang dibawa. Nasi itu pun berubah menjadi batu.

“Ketika nenek kami meninggal dunia, warga ingin menguburnya ke Bukit Sabit. Di perjalanan, di tengah hari panas, turun hujan. Rombongan pengantar jenazah pun beristirahat. Lalu datang Si Pahit Lidah, dia pun menyumpah keranda nenek kami menjadi batu. Batu ini kami sebut Batu Kuning.”

Yacob, warga Desa Napal Licin, yang menemani Mongabay Indonesia menyebut Batu Muning dipercaya “keramat” oleh masyarakat desanya. Jika ada orang yang membuang air kecil di sekitar batu, dia akan sakit.

“Pernah ada yang memecah sebagian batu. Saat pulang dia, dan hari itu juga langsung meninggal dunia,” kata Yacob.

Sementara goa manusia purba di Bukit Batu yang dikenal sebagai Goa Batu, dipercaya masyarakat dulunya merupakan rumah atau hunian. Tapi selanjutnya disumpah Si Pahit Lidah menjadi batu.

Setiap bukit itu juga memiliki gua dengan berbagai ornamen seperti stalagmit dan stalaktit yang mirip manusia, lumbung padi, dan lainnya. Itu dipercaya merupakan benda hidup dan mati yang disumpah Si Pahit Lidah menjadi batu.

Baca juga: Cara Tidak Biasa Menjaga Bukit Barisan

 

Masyarakat di Desa Napal Licin diperkirakan sudah ada jauh sebelum Kesultanan Palembang. Saat VOC masuk ke Sumsel, desa ini sudah didiami puluhan rumah. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lalu siapa Si Pahit Lidah?

Si Pahit Lidah adalah cerita rakyat atau legenda mengenai sosok manusia sakti di masa lalu. Dia memiliki kesaktian untuk menyumpah sesuatu menjadi batu.

Legenda ini dikenal masyarakat yang hidup di pegunungan Bukit Barisan yang merupakan bagian yang menghubungkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat.

“Adanya legenda ini, bagi kami warga Desa Napal Licin, amat menjaga TNKS. Jika TNKS rusak, terutama keberadaan bukit-bukit tersebut, termasuk juga batu peninggalan peradaban megalitikum ini, maka hilang identitas kami,” kata Asnawi.

Sebagai informasi, berdasarkan penelitian arkeologi oleh Balai Arkeolog (Balar) Sumsel, Goa Batu yang berada di Bukit Batu yang ketinggiannya sekitar 189 meter dari permukaan laut, ditemukan 13 artefak batu yang terhubung dengan kehidupan manusia purba sekitar 4.000 tahun lalu. Misalnya kapak perimbas (chopper) dengan bagian tajam melintang.

Kehidupan manusia purba di Goa Batu diduga memiliki hubungan dengan manusia purba di Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi. Selanjutnya dua batu yang dinilai masyarakat Desa Napal Licin keramat sebagai bukti kehidupan masa megalitikum sekitar 3.000 tahun lalu.

Baca juga: Bukit Barisan Selatan, Situs Warisan Dunia yang Ada Badaknya

 

Goa Batu merupakan tempat tinggal manusia purba. Ornamen stalagmit dan stalaktit merupakan benda hidup atau benda terkait manusia yang disumpah Si Pahit Lidah menjadi batu. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Si Pahit Lidah Penjaga Bukit Barisan

“Legenda Si Pahit Lidah ini yang menjaga keberadaan goa dan artefak dari peradaban megalitik,” tutur  Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah, Palembang.

Jika melihat sebaran budaya purba, maka wilayah permukiman yang berada di batu megalit dan batu andesit atau karst di Sumsel, Bengkulu dan Lampung terkait dengan legenda ini.

“Terjaganya ribuan artefak megalitikum di Sumsel, seperti di Kabupaten Lahat, Pagaralam, Empat Lawang dan Muaraenim, tidak lepas dari legenda Si Pahit Lidah. Begitu pun keberadaan goa manusia purba seperti Goa Harimau dan Goa Putri di Padangbindu, Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), berbagai ornamen batu di Bukit Batu di Kecamatan Tulungselapan, Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir) yang jauh dari Bukit Barisan,” lanjut Yenrizal.

Bagi masyarakat di Pasemah misalnya, Si Pahit Lidah dipercaya sebagai sosok yang pernah hidup di masa lalu.

“Menjaga artefak megalitik juga penghormatan terhadap Si Pahit Lidah. Sebagian besar masyarakat percaya jika arca dan artefak megalit lainnya itu karena disumpah Si Pahit Lidah,” kata Mario Andrakmartik, seorang budayawan Lahat.

Bagi masyarakat di sekitar Danau Ranau, baik di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumsel, maupun Kabupaten Lampung Barat, Lampung merupakan pantangan jika mengolok atau mengejek Si Pahit Lidah.

Di sekitar Danau Ranau ini dapat dijumpai berbagai peninggalan artefak dari masa megalitikum.

“Jika puyang kami diejek atau dihina, kami yakin pelakunya akan mengalami sakit bahkan dapat meninggal dunia jika tidak segera diobati orang pintar dan melakukan sedekah,” tutur seorang warga Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, beberapa waktu lalu kepada Mongabay Indonesia.

Baca juga: Air Terjun Batu Betiang di Situs Warisan Dunia

 

Masyarakat Desa Napal Licin percaya semua artefak megalitik maupun batu-batu mirip benda hidup merupakan hasil sumpah Si Pahit Lidah. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peduli Lingkungan dan Budaya di Wilayah Bukit Barisan

Meski demikian, saat ini kondisi TNKS mulai mengalami kerusakan. Mulai dari perambahan, penambangan emas liar, perburuan satwa langka, serta perilaku jahil pada benda-benda bersejarah.

“Mungkin ini dikarenakan mulai hilangnya keyakinan masyarakat terhadap legenda tersebut, termasuk juga para pendatang yang terkadang tidak menghormati tradisi atau nilai-nilai yang dijaga masyarakat lokal,” kata Yenrizal.

Keprihatinan ini lalu mendorong warga di Desa Napal Licin menyusun dan membentuk lembaga kemasyarakatan yang peduli lingkungan dan budaya.

“Tujuan pendirian lembaga ini untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya menjaga TNKS dan nilai budayanya berdasarkan legenda Si Pahit Lidah. Kegiatan utamanya arahnya ke ekowisata yang memanfaatkan goa batu, artefak sejarah, dan keindahan alam,” tutur Asnawi.

Devi Suhartoni, Bupati Musi Rawas Utara yang baru terpilih pada 2020 menyebut tentang potensi yang ada di wilayahnya.

“Wilayah TNKS yang ada di Kabupaten Musi Rawas Utara ini, mayoritasnya ada di wilayah Kecamatan Ulu Rawas. Wilayah ini merupakan tempat yang amat menarik dari keindahan dan nilai sejarahnya. Harapan kami, masyarakat dapat dilibatkan untuk menjaga TNKS, tanpa mengabaikan sumber ekonominya,” jelas Devi.

Kecamatan Ulu Rawas mencakup Desa Napal Licin, Muara Kulam, dan Kuto Tanjung, sambung Devi adalah daerah sangat indah yang diapit hutan tropis TNKS.

Tuturnya, masyarakat pun perlu diedukasi untuk tetap menjaga keutuhan TNKS. “TNKS ini sumber dari segala kehidupan di masa mendatang. Tidak hanya untuk Kabupaten Musi Rawas Utara, tapi juga buat dunia.”

“Saya juga menghimbau kepada seluruh masyarakat agar TNKS, jangan dirusak. Kita ke depan akan bersama-sama memanfaatkan TNKS, tapi tetap terjaga. Harus ada kegiatan ekonomi yang tidak merusak, dan kita gali budayanya.”

Dr. Najib Asmani, pegiat lingkungan dari Universitas Sriwijaya, mengatakan apa yang disampaikan Devi Suhartoni merupakan peluang bagi para pegiat lingkungan dan budaya untuk menyelamatkan TNKS dari kerusakan yang lebih parah.

“Ini peluang bersama. Saya pikir para pegiat lingkungan, budayawan, arkeolog, beserta masyarakat bekerjasama dengan TNKS dan Balar Sumsel bersatu menyusun agenda bersama, dan melakukan berbagai upaya agar TNKS terjaga dari berbagai aktifitas yang merusak seperti penambangan liar dan perambahan,” sebutnya.

 

Aktifitas penambangan emas rakyat di Sungai Rawas yang tidak jauh dari pemukiman Desa Napal Licin. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

***

Foto utama: Batu Muning atau keranda yang dinilai keramat oleh masyarakat Desa Napal Licin. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version