- Bukit Barisan yang membentang dari Aceh hingga Lampung melahirkan peradaban luhur terhadap lingkungan.
- Banyak persoalan yang dihadapi lanskap Bukit Barisan. Mulai degradasi hutan dan lahan, terancamnya kehidupan satwa endemik seperti harimau dan gajah sumatera, hingga krisis air.
- Para pekerja teater di Sumatera belum melihat Bukit Barisan sebagai tema penting yang harus disajikan dalam karya seni.
- Persoalan ekologi dapat diangkat melalui karya seni guna menyelamatkan alam sekaligus menjaga keluhuran kebudayaan Indonesia.
Bukit Barisan yang membentang dari Aceh hingga Lampung melahirkan peradaban luhur terhadap lingkungan. Berbagai suku, mulai dari Lampung, Semende, Pasemah, Manak, Rejang, Kerinci, Minangkabau, Tapanuli, hingga Gayo, hidup dan berkembang karena lanskap Bukit Barisan. Bagaimana kelompok seni teater di Sumatera memaknai bentang alam ini?
“Jika diukur dari festival teater Sumatera, tampaknya masih jauh perihal Bukit Barisan diangkat, baik kekinian maupun masa lalu,” kata Conie Sema, pekerja Teater Potlot, usai Festival Teater Se-Sumatera di Taman Budaya Jambi, baru-baru ini.
Lanjut Conie, saat ini, banyak persoalan yang dihadapi lanskap Bukit Barisan, mulai degradasi hutan dan lahan hingga krisis air. “Jika dibiarkan akan mengubah bentang alam. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin menggusur atau mengubah peradaban luhur yang hidup di masyarakat Bukit Barisan,” katanya.
Baca: Perempuan Hebat Penjaga Kaki Bukit Barisan

Teater Potlot membawakan naskah “Talang Tuwo: Glosarium Project”, sebuah pertunjukan teater kontemporer yang mencoba mencatat diksi-diksi ekologi di Sumatera, yang kemungkinan besar di masa mendatang akan terlupakan. Pesannya, mencemaskan kondisi yang ada tidak akan bertahan dari tekanan perkebunan, HTI, dan pertambangan.
Festival teater yang mengambil tema “Alam Terkembang Jadi Guru” ini diikuti sembilan kelompok di Sumatera. Hari pertama, Teater Satu [Lampung] tampil dengan naskah “Jalan yang Tak Ditempuh”. Kemudian Teater Air [Jambi] dengan naskah “Sebutir Kepala Seekor Kucing”, dilanjutkan Teater Senyawa [Bengkulu] dengan “Pelukis dan Wanita”.
Hari kedua, dimulai Teater Salembayung dengan naskah “Situs” lalu Teater Potlot, dan dilanjut Teater B3Mime [Padang Panjang] dengan naskah “Tua di Tui”.
Hari terakhir, tampil Teater Rumah Mata [Medan] dengan “Kisah-Kisah Tembikar”, dilanjutkan Teater Aceh dengan naskah “Nomophobia”, dan ditutup “Kakitau” oleh Teater Tonggak [Jambi].
Baca: Pendekatan Lanskap Sebaiknya Tidak Utamakan Kepentingan Ekonomi

Tema ekologi
Meskipun tidak ada yang mengeksplorasi lanskap Bukit Barisan, sejumlah teater tetap menampilkan persoalan ekologi. Misalnya, Teater Tonggak yang mengisahkan persawahan tergusur pembangunan. Kemudian Teater Selembayung mengangkat keresahan manusia di Sumatera karena berbagai persoalan sosial, meskipun hidup di alam yang kaya.
Lalu Teater B3Mime dari Padangpanjang menampilkan “Tua di Tui” yang mengisahkan eksplorasi pertambangan batu kapur di Sumatera Barat. Pesannya, demi revolusi kehidupan manusia agar lebih sejahtera menggali sumber daya alam, justru membuat manusia tidak merdeka.
Teater Rumah Mata coba menampilkan lumpur dan bambu yang selama ratusan tahun telah membangun peradaban Melayu di Sumatera. “Lumpur dan bambu banyak jasa bagi kehidupan masyarakat Melayu,” kata Agus Susilo selaku sutradara dan penulis naskah.
Baca: Bentang Alam Rusak, Bela Diri Silat Terancam Kehilangan Guru. Maksudnya?

Bahas Bukit Barisan
Fedli Aziz dari Teater Selembayung menyadari minimnya perhatian pekerja seni teater Sumatera terhadap lanskap Bukit Barisan. “Peradaban Melayu banyak dilahirkan dari bentang alam yang kaya flora dan fauna. Sudah seharusnya persoalan yang terjadi menjadi fokus atau tema bersama, guna dikaji dan disajikan dalam karya seni,” katanya usai diskusi, awal Agustus 2019.
Conie Sema berharap, para pekerja teater di Sumatera tidak terlalu jauh dari Bukit Barisan yang telah membangun peradaban Melayu. Sehingga, tidak terjebak dengan persoalan perkotaan yang sebetulnya bagian kecil dari permasalahan bangsa ini, yakni rusaknya alam Indonesia.
“Membaca persoalan lingkungan dalam karya seni merupakan bagian dari strategi kebudayaan negara ini. Saya percaya, pemerintah akan mendukung upaya para pekerja seni di Sumatera, menyelamatkan Bukit Barisan,” ujarnya.
Baca: Seniman Harus Berperan Dalam Penyelamatan Bentang Alam, Caranya?

Agus Susilo menambahkan, sudah seharusnya Bukit Barisan dijadikan bahasan. Butuh dukungan banyak pihak agar upaya ini berjalan. “Kita harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang peduli dengan persoalan yang terjadi.”
Didin Siroz, sutradara dan penulis naskah dari Teater Tonggak menyebutkan, sudah banyak seniman, termasuk pekerja teater yang mengkaji persoalan lingkungan. Tapi, memang belum ada yang fokus pada Bukit Barisan. “Melihat apa yang terjadi pada Bukit Barisan pada saat ini, sangat penting untuk mengkaji dan menampilkannya sebagai karya seni guna membangun kesadaran bersama agar lestari,” ungkapnya.
Baca juga: Menjaga Kehidupan Harimau Sumatera Adalah Amanah

Aktivitas ekonomi yang merusak hutan dan tidak lestari, seperti perkebunan skala besar, penambangan batubara dan emas, serta perburuan satwa dilindungi, seperti harimau sumatera terus terjadi.
“Hilangnya satwa dan rusaknya sungai menyebabkan tradisi di masyarakat yang arif terhadap hutan luntur. Mereka akhirnya turut merambah karena hutan tidak lagi dijaga harimau. Peradaban luhur hancur, diganti yang tidak lestari,” lanjut Conie.
Baca: Akankah Tiga Taman Nasional Situs Warisan Dunia Ini Keluar dari Status Bahaya?

Pembangunan infrastruktur seperti jalan, permukiman baru, dan pabrik, juga menyebabkan rusaknya Bukit Barisan. “Pemerintah harus menjalankan komitmen seperti yang dicanangkan para gubernur Se-Sumatera beberapa tahun lalu: Peta Jalan Menuju Penyelamatan Ekosistem Sumatera: Visi Sumatera 2020,” kata Didin Sirojudin.
Persoalan harimau sumatera dan sungai, dapat diangkat menjadi tema kawan-kawan teater di Sumatera. “Persoalan ini jelas nyata, di bentang Bukit Barisan,” tandasnya.